Menukar Surga dengan Sekop Tambang

129 views

Malam itu, sunyi nyaris seperti ruang kosong di antara dua detak jam. Tik-tok. Saya sedang tenggelam dalam kerja sunyi menerjemahkan Islāḥ al-Māl untuk sebuah penerbitan buku.

Sampailah saya di halaman 92, hadis nomor 302. Jari saya berhenti mengetik. Mata saya tak lagi menelusuri kalimat. Bukan karena lelah, tapi karena hati ini tersentak oleh sebaris percakapan yang begitu dalam—terlampau dalam untuk tidak dikaitkan dengan luka zaman ini. Rasanya seperti ada notifikasi dari langit, membangunkan jiwa aktifis yang sekian lama menahan suara.

Advertisements

Malam itu, saya seperti ditarik oleh sesuatu yang lebih besar dari pekerjaan: panggilan nurani untuk tidak diam. Karena bagaimana mungkin saya tetap mengeja kata demi kata, sementara di ujung timur Indonesia, Raja Ampat sedang dijadikan komoditas seperti papan reklame di atas tanah yang tak mereka miliki?

Inilah hadis yang membuat saya tertahan:

[٣٠٢] الحديث: حدثني محمد بن زياد الباهلي، حدثنا الحسن بن حامد، أن معاوية سأل بعض المعمرين، قال: “أخبرني أي المال أفضل؟ قال: عين خرارة بأرض خوارة تعول ولا تعال. قال: ثم ماذا؟ قال: ثم فرس في بطنها فرس يتبعها فرس، والأرض مقبلة معقبة. قال: أين أنت من الغنم؟ ما أراك تذكرها! قال: تلك لغيرك يا أمير المؤمنين، تلك لمن يباشرها بنفسه. قال معاوية: فما تقول في الذهب والفضة؟ قال: يا أمير المؤمنين، جبلان يصطكان، إن أنفقتهما نفدا، وإن تركتهما لم يزيدا.”

(Muawiyah bertanya kepada seorang yang sangat tua, “Ceritakan kepadaku, harta apa yang paling baik?”

Ia menjawab: “Mata air yang memancar di tanah yang subur, menghidupi tapi tidak membebani.”

Muawiyah bertanya: “Lalu apa lagi?”

Ia menjawab: “Kuda betina yang sedang bunting dan diikuti oleh anaknya, dan tanah yang terus memberi hasil.”

Muawiyah berkata: “Mengapa kamu tidak menyebut kambing?”

Ia menjawab: “Itu untuk orang lain, wahai Amirul Mukminin, hanya cocok bagi orang yang mau langsung mengurusnya.”

Muawiyah bertanya lagi: “Lalu bagaimana dengan emas dan perak?”

Ia menjawab: “Dua gunung yang saling bergesek, jika engkau belanjakan maka habis, jika disimpan tidak bertambah.”)

Intisari dari percakapan ini seperti mengutuk kekayaan yang pasif dan membela sumber daya yang hidup dan menghidupkan. Air yang mengalir. Tanah yang subur. Hewan yang berkembang. Bukan emas atau perak yang membatu dan membungkam.

Malam itu, saya tidak bisa melanjutkan kerja sebelum mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di Raja Ampat. Jari saya membuka tab baru. Mata saya membaca dengan cepat, tapi hati saya marah dengan perlahan—amarah yang tertahan, bukan karena tidak peduli, tapi karena ingin meresap dan menuliskannya dengan akal yang jernih. Karena tak semua kemarahan harus ditumpahkan lewat teriakan—ada yang lebih dalam dari itu: tulisan. Tulisan inilah bentuknya.

Bayangkan sebuah surga laut yang bukan hanya memesona mata manusia, tapi juga menggoda lensa satelit NASA. Itulah Raja Ampat, gugusan pulau di Papua Barat Daya yang menyimpan 75% spesies karang dunia, ribuan jenis ikan, dan ekosistem tropis paling padat di muka bumi. Saking berharganya, kawasan ini ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark—semacam “gelar kehormatan” bagi lanskap alam yang memiliki nilai geologi, ekologis, dan budaya tingkat tinggi. Tapi belakangan ini, surga itu mulai disekop.

Di balik poster promosi wisata yang menggoda di bandara dan video drone Instagram yang sinematik, Raja Ampat ternyata sedang dirayu oleh dunia industri. Bukan rayuan lembut, tapi semacam pinangan agresif yang datang dalam bentuk izin tambang nikel. Menurut data yang beredar, sedikitnya 5 perusahaan telah mendapatkan izin tambang di pulau-pulau kecil di wilayah ini. Pemerintah memang mulai mencabut sebagian izinnya. Tapi jangan cepat lega dulu: Pulau Gag, salah satu permata Raja Ampat, masih jadi ladang nikel yang “aktif dan berizin”.

Kita tentu paham: nikel sedang jadi primadona. Bahan baku baterai kendaraan listrik, katanya. Demi energi hijau, katanya. Tapi kalau caranya adalah dengan mengebor paru-paru laut dan menggerus tanah adat, maka “hijau” itu hanyalah pewarna pada laporan CSR. Bahkan anak SMA tahu: jika Anda menambang di pulau kecil yang rentan, efeknya bisa sangat besar. Apalagi UU Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tegas menyatakan bahwa pemanfaatan pulau kecil harus memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan ekosistemnya. Tapi mungkin, undang-undang kita hanya dibaca saat konferensi pers, bukan saat menandatangani izin.

Kita bisa bertanya: siapa yang sebenarnya mendapat manfaat dari tambang ini? Apakah nelayan yang perahunya karam karena tumpahan limbah? Ataukah investor yang tak pernah datang ke Papua kecuali lewat dashboard laporan kuartal? Padahal dalam bahasa dunia pesantren fikih klasik, ada satu kaidah emas yang relevan: “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” – mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengejar keuntungan. Bahkan jika keuntungan itu mengilap secerah nikel di bawah sinar mentari tropis.

Lalu ada pula kaidah yang lebih sosial: “al-maslahah al-‘āmmah muqaddamah ‘ala al-maslahah al-khāṣṣah” – kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Maka pertanyaannya: tambang ini milik siapa? Dan siapa yang harus menanggung risikonya?

Jika yang cuan korporasi, dan yang kena limbah masyarakat adat, jelas itu bukan keadilan, tapi kolonialisme edisi baru. Hanya, alih-alih pakai meriam dan VOC, kini datangnya dalam bentuk izin usaha pertambangan dan proposal investasi lalu disusul dengan alat-alat berat yang menghujam di tanah yang seharusnya kita cintai karena bagian dari iman.

Anehnya, banyak dari kita justru terpukau dengan angka investasi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Seolah kekayaan itu hanya bisa diukur dengan cadangan logam dan nilai ekspor. Padahal, ribuan tahun lalu, seorang lelaki tua pernah ditanya oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan tentang jenis kekayaan terbaik. Jawabannya sederhana dan jenius: “Tanah subur yang mengalirkan air, yang bisa menghidupi orang lain, dan tidak menjadi beban.” Bukan emas. Bukan perak apalagi nikel. Tapi tanah yang produktif, yang terus memberi manfaat.

Kita bisa bayangkan jika lelaki tua itu hidup di zaman sekarang, ia pasti akan menunjuk Raja Ampat dan berkata, “Nah, ini dia kekayaan sejati.” Tapi seandainya kita sodorkan tambang nikel dan tumpukan logam sebagai simbol kemajuan, mungkin dia akan mengulang jawaban lamanya: “Emas dan perak itu seperti dua gunung yang saling bertubrukan. Kalau kau belanjakan, habis. Kalau kau simpan, tidak bertambah.” Sebuah filosofi ekonomi berkelanjutan dari abad ke-1 Hijriyah, yang ironisnya masih jauh lebih bijak daripada banyak kebijakan modern.

Anehnya, sebagian pihak justru menyamakan pertambangan dengan bentuk pembangunan. Ini seperti menyamakan bor tanah dengan cangkul tani. Sama-sama menggali, tapi niatnya beda. Petani menggali untuk menanam, penambang menggali untuk mengeruk. Petani berpikir tentang panen dan keturunan, penambang berpikir tentang ekspor dan saham. Maka logikanya pun berbeda: satu ingin hidup berkelanjutan, yang lain ingin hasil cepat walau tanah tinggal kenangan.

Jika pertanyaannya adalah “Apakah kita rela menukar surga biodiversitas dengan lubang tambang?” maka jawabannya bukan soal pro atau kontra, tapi soal akal sehat. Apa gunanya mobil listrik jika jalan menuju masa depan penuh lubang ekologis? Apa faedahnya jadi negara maju industri jika laut kita mati dan nelayan kita migrasi? Bukankah sudah jelas bahwa investasi yang merusak adalah bentuk perampokan yang dibungkus rapih dengan istilah legal?

Apalagi jika kita mengaku negara beragama, yang percaya pada amanah bumi. Dalam Islam, bumi bukan barang mati yang boleh dikeruk semaunya. Ia adalah titipan yang harus dijaga. Kalau tanah bisa bicara, mungkin ia akan berkata: “Aku sudah cukup memberi. Tapi mengapa kalian malah merobek-robek tubuhku hanya untuk menyuapi pasar global?” Sebuah pertanyaan retoris yang bahkan undang-undang pun seringkali tak mampu menjawab.

Sayangnya, dalam banyak rapat elite, tanah dianggap benda mati. Ia dibagi-bagi lewat koordinat GPS, bukan lewat rasa tanggung jawab ekologis. Dalam dokumen perizinan, nama-nama pulau itu hanya deretan angka. Pulau Gag, misalnya, terlihat seperti objek statistik, padahal di sana ada warga, kebudayaan, dan lanskap spiritual. Tapi ya, bagaimana mungkin spreadsheet bisa mencium wangi terumbu karang? Atau mendengar suara nyanyian adat di pagi hari?

Padahal dalam sistem hukum nasional kita sendiri, perlindungan terhadap pulau-pulau kecil sudah diatur dengan cukup tegas. Pasal 23 UU Nomor 27 Tahun 2007 menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya boleh dilakukan untuk kegiatan ramah lingkungan seperti pariwisata bahari, konservasi, dan perikanan berkelanjutan. Tambang nikel bukan hanya tidak termasuk dalam daftar itu—ia justru kontradiktif secara prinsipil. Tapi entah mengapa, pasal-pasal ini kadang diperlakukan seperti janji kampanye: hanya dibaca saat perlu, dilupakan setelah lobi selesai.

Menariknya, masyarakat sipil bukan tinggal diam. Gerakan #SaveRajaAmpat menggema di media sosial dan ruang-ruang advokasi. Para pemuda adat, aktifis lingkungan, bahkan ilmuwan kelautan bergandengan tangan dalam satu suara: jangan biarkan investasi jangka pendek merusak kekayaan jangka panjang. Karena begitu tanah itu rusak, tidak ada undang-undang atau dana CSR yang bisa mengembalikan terumbu karang berusia ribuan tahun. Planet tidak mengenal restorasi by PowerPoint.

Apakah kita benar-benar butuh tambang nikel di surga ekologi seperti Raja Ampat? Apakah tidak ada tempat lain yang lebih logis, lebih sesuai, dan lebih aman secara ekologis? Mengapa yang dikorbankan selalu wilayah adat, wilayah pesisir, dan masyarakat yang paling minim suara politik? Bukankah ini bentuk ketimpangan struktural yang terus direproduksi dengan jargon pembangunan?

Di sinilah letak relevansi atsar klasik yang tadi disebut. Sang lelaki tua menjawab, “Tanah subur yang bisa menghidupi orang lain, tidak menjadi beban.” Coba bandingkan dengan tambang: ia tidak menghidupi, tapi mengisap. Ia bukan keberlanjutan, tapi ekstraksi-eksploitatif. Ia bukan aset jangka panjang, tapi utang ekologis. Maka, siapa sebenarnya yang waras: lelaki tua dari masa lampau, atau para pengambil kebijakan yang percaya bahwa nikel bisa menggantikan nilai tanah hidup?

Dan jawaban atas pertanyaan Mu’awiyah tentang emas dan perak juga sepatutnya membuat kita berpikir ulang. “Kalau kau keluarkan, ia habis. Kalau kau simpan, ia tak bertambah.” Bukankah ini sindiran keras pada logika ekonomi ekstraktif kita hari ini? Zero some games? Di mana tanah dikuras, hasilnya dijual, dan setelahnya kita hanya punya kenangan dan lubang? Tambang bukan aset, tapi kenangan buruk dengan aroma zat kimia.

Kalau logika keuangan modern terus didahulukan atas prinsip keberlanjutan, maka dalam satu dekade ke depan, kita mungkin hanya bisa menikmati Raja Ampat lewat AI-generated virtual reality. Kita akan bercerita pada cucu kita bahwa dulu, sebelum drone dan tambang datang, ada surga di timur Indonesia tempat ikan-ikan berenang di bawah langit merah muda. Dan mereka akan menjawab, “Ah masa sih, kok sekarang cuma ada berita konflik dan lubang raksasa?”

Dan ketika itu terjadi, Raja Ampat bukan sekadar jadi kenangan, tapi jadi catatan kaki dalam sejarah bencana peradaban. Kita akan memproyeksikan gambar-gambar digital tentang keindahan bawah laut yang dulu nyata, tapi kini cuma bisa disaksikan lewat kacamata virtual. Mirip seperti bagaimana arkeolog kini meneliti Sundaland—sebuah kawasan luas yang dulu membentang dari Sumatra hingga Papua, penuh kehidupan dan hutan tropis, sebelum ditelan lautan akibat naiknya permukaan air pasca Zaman Es.

Sundaland adalah peringatan keras dari masa lalu. Kawasan yang kini menjadi lautan dangkal di Laut Jawa dan Laut Cina Selatan itu dulunya adalah daratan yang kaya, tempat berkembangnya komunitas manusia awal di Asia Tenggara. Tapi perubahan iklim, kenaikan air laut, dan ketidaksiapan manusia mengubah segalanya. Suara peradaban itu menghilang, ditelan gelombang, digantikan oleh pasir laut dan reruntuhan tak bernama—bukan soal benar atau tidaknya, tapi tentang pola berulang: peradaban yang sombong terhadap alam biasanya tidak panjang umur.

Jadi, jika Raja Ampat hari ini dihancurkan demi nikel, dan dalam beberapa dekade ke depan tenggelam karena kenaikan air laut atau kerusakan ekosistem, jangan salahkan Tuhan. Salah kita yang tidak belajar dari sejarah. Salah kita yang lebih percaya pada angka ekspor ketimbang hikmah geologi. Salah kita yang tidak paham bahwa tanah yang diberi kehidupan justru kita bunuh duluan.

Kalau Sundaland bisa tenggelam dan hilang dari peta karena ulah alam dan mungkin kesalahan manusia zaman dulu, apa jaminan Raja Ampat tidak akan menyusul? Apa kita pikir kita lebih canggih dari peradaban yang telah musnah? Justru karena kita tahu lebih banyak, tanggung jawab kita lebih besar. Dan kalau tetap kita abaikan, maka barangkali kita sedang dengan sadar menciptakan “Atlantis versi Indonesia”—dengan spreadsheet, izin tambang, dan pidato pejabat sebagai prasasti keruntuhannya.

Dan ketika itu terjadi, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali diri sendiri. Karena kita memilih diam. Karena kita terlalu mudah silau dengan janji ekspor dan cuan cepat. Karena kita membiarkan pejabat—yang bahkan belum tentu bisa berenang—memutuskan nasib laut tropis yang tidak mereka pahami. Karena kita tidak menjalankan kaidah dasar yang mestinya jadi fondasi moral: cegah kerusakan dulu, baru bicara manfaat.

Bukankah Tuhan sudah beri kita modal alam yang luar biasa? Air yang jernih, tanah yang subur, kekayaan laut yang tiada duanya. Tapi entah mengapa, kita malah sibuk menggali tanah seolah Tuhan keliru menaruh kekayaan di permukaan. Kita korek bumi, tebang hutan, lalu heran kenapa banjir datang dan nelayan melarat. Kita seperti anak kecil yang diberikan mainan, lalu memilih menghancurkannya karena penasaran apa isinya.

Aneh memang. Ketika dunia sedang sibuk menyelamatkan planet, kita justru mengajukan proposal tambang. Ketika negara-negara maju mulai bicara ekonomi sirkular dan restorasi alam, kita malah menegaskan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah jalan masuk ke dalam perut bumi. Padahal bumi ini sudah cukup tua untuk tahu: manusia yang tidak tahu cukup, akan dihukum oleh kerakusannya sendiri.

Maka, mari kita perjelas satu hal: melindungi Raja Ampat bukan sekadar aksi lingkungan. Ini adalah bentuk keberadaban. Ini adalah ujian moral kita sebagai bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai agama, keadilan sosial, dan harmoni dengan alam. Dan ujian ini, sejauh ini, hasilnya belum terlalu membanggakan.

Kita bisa berbeda pandangan tentang jenis pembangunan, tapi kita tidak bisa berbeda fakta bahwa kerusakan ekologi itu nyata, menyakitkan, dan mahal. Jadi sebelum ada yang menuding gerakan #SaveRajaAmpat sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi, mari kita balik tanya: Pertumbuhan seperti apa yang ingin Anda capai jika harga yang dibayar adalah kepunahan?

Jika masih ada logika waras yang tersisa di ruang-ruang kekuasaan, maka satu-satunya keputusan bijak adalah menutup semua aktivitas tambang di Raja Ampat, secara permanen. Karena tanah ini terlalu berharga untuk dijadikan eksperimen korporasi. Karena laut ini terlalu suci untuk dilumuri logam berat. Dan karena warisan terbaik yang bisa kita tinggalkan pada generasi berikutnya bukanlah lubang tambang, tapi tanah subur yang terus memberi kehidupan.

Jadi, bilamana Raja Ampat akhirnya bernasib seperti Sundaland—tenggelam, hancur, atau sekadar menjadi legenda alam yang dibicarakan dalam seminar lingkungan—maka biarlah itu menjadi warisan kita: sebuah prestasi bangsa yang berhasil menukar surga nyata dengan laporan laba rugi.

Kepada para pemangku kebijakan, mungkin sejarah akan mencatat Anda bukan sebagai pembangun negeri, tapi sebagai ahli waris peradaban yang bangkrut nurani. Bukan karena tak tahu hukum, tapi karena terlalu pintar memutar tafsirnya. Dan untuk kedua kalinya saya bertanya, masihkah cinta tanah air bagian dari iman? Antara iman dan Investasi, ke mana cinta tanah air ini berkiblat?

Cipasung, 9 Juni 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan