Menukar Surga dengan Sekop Tambang

93 views

Malam itu, sunyi nyaris seperti ruang kosong di antara dua detak jam. Tik-tok. Saya sedang tenggelam dalam kerja sunyi menerjemahkan Islāḥ al-Māl untuk sebuah penerbitan buku.

Sampailah saya di halaman 92, hadis nomor 302. Jari saya berhenti mengetik. Mata saya tak lagi menelusuri kalimat. Bukan karena lelah, tapi karena hati ini tersentak oleh sebaris percakapan yang begitu dalam—terlampau dalam untuk tidak dikaitkan dengan luka zaman ini. Rasanya seperti ada notifikasi dari langit, membangunkan jiwa aktifis yang sekian lama menahan suara.

Advertisements

Malam itu, saya seperti ditarik oleh sesuatu yang lebih besar dari pekerjaan: panggilan nurani untuk tidak diam. Karena bagaimana mungkin saya tetap mengeja kata demi kata, sementara di ujung timur Indonesia, Raja Ampat sedang dijadikan komoditas seperti papan reklame di atas tanah yang tak mereka miliki?

Inilah hadis yang membuat saya tertahan:

[٣٠٢] الحديث: حدثني محمد بن زياد الباهلي، حدثنا الحسن بن حامد، أن معاوية سأل بعض المعمرين، قال: “أخبرني أي المال أفضل؟ قال: عين خرارة بأرض خوارة تعول ولا تعال. قال: ثم ماذا؟ قال: ثم فرس في بطنها فرس يتبعها فرس، والأرض مقبلة معقبة. قال: أين أنت من الغنم؟ ما أراك تذكرها! قال: تلك لغيرك يا أمير المؤمنين، تلك لمن يباشرها بنفسه. قال معاوية: فما تقول في الذهب والفضة؟ قال: يا أمير المؤمنين، جبلان يصطكان، إن أنفقتهما نفدا، وإن تركتهما لم يزيدا.”

(Muawiyah bertanya kepada seorang yang sangat tua, “Ceritakan kepadaku, harta apa yang paling baik?”

Ia menjawab: “Mata air yang memancar di tanah yang subur, menghidupi tapi tidak membebani.”

Muawiyah bertanya: “Lalu apa lagi?”

Ia menjawab: “Kuda betina yang sedang bunting dan diikuti oleh anaknya, dan tanah yang terus memberi hasil.”

Muawiyah berkata: “Mengapa kamu tidak menyebut kambing?”

Ia menjawab: “Itu untuk orang lain, wahai Amirul Mukminin, hanya cocok bagi orang yang mau langsung mengurusnya.”

Muawiyah bertanya lagi: “Lalu bagaimana dengan emas dan perak?”

Ia menjawab: “Dua gunung yang saling bergesek, jika engkau belanjakan maka habis, jika disimpan tidak bertambah.”)

Intisari dari percakapan ini seperti mengutuk kekayaan yang pasif dan membela sumber daya yang hidup dan menghidupkan. Air yang mengalir. Tanah yang subur. Hewan yang berkembang. Bukan emas atau perak yang membatu dan membungkam.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan