Mengulik Kembali Ihwal Ushul Fikih

636 kali dibaca

Gap antara nabi—sebagai satu-satunya entitas paling otritatif ihwal hukum Islam—dan kita hari ini semakin jauh. Semestinya, kesadaran akan gap itu senantiasa dimunculkan di setiap kepala. Bahwa kita tidak pernah dekat dengan nabi, sementara beliau hanya mewarisi Quran dan sunnah.

Kemudian secara tidak langsung saya akan mengajak pembaca meletakkan kedua hal tersebut sebagai sesuatu yang terbatas. Dalam artian ada hal-hal baru yang tidak akan bisa dijangkau oleh keduanya secara eksplisit. Di sini, saya hendak menyodorkan ushul fikih sebagai sebuah jalan. Ini adalah pembahasan yang banyak sekali diulas dan ditulis berulang-ulang. Tapi saya mencoba untuk menengahkan kembali.

Advertisements

Secara gampang kita akan memahami ushul fikih sebagai sebuah metode untuk melahirkan hukum. Jika Anda tertarik untuk mencapai takrif yang lebih luas, barangkali bisa ditelusuri lebih lanjut. Namun pertanyaannya, mengapa hukum harus digali?

Di sini sebagian kita seringkali salah persepsi. Makanya, tak ayal jika Quran dan sunnah ditelan mentah, tanpa melihat aspek apapun. Dalam ushul fikih tidak seperti itu, ia sebagai sebuah metode selalu melihat aspek lain dari apa yang tampak dari keduanya. Sebagai contoh, jika ada perintah di dalam Quran itu tidak serta merta dianggap sebagai suatu hal yang wajib. Di sini ushul fikih dan kaidah-kaidahnya bekerja.

Kembali lagi kepertanyaan di atas dan jawabannya, yaitu hukum dalam Al-Quran tidak selalu ekplisit. Itu tidak melulu terang-terangan. Bahkan, tak jarang kita hanya akan menggali dan mengeluarkan spirit dari apa yang tampak.

Sebagai tamsil, dalam Al-Quran dilarang mengucapkan kata ‘uf’ kepada orang tua. Sejatinya  bukan hanya itu yang dimaksud, melainkan sprit yang terpendam, yakni dilarang menyakiti hati orang tua bagaimana pun bentuknya.

Ushul fikih bisa berpikir jauh sampai ke situ, makanya saya jelaskan di atas bahwa ia sebagai sebuah alat penggali. Sementara hukum-hukum dalam Al-Quran dan sunnah seringkali terpendam. Di tambah lagi jika kedua entitas tersebut masih terbatas dan tidak secara langsung menjelaskan hal baru.

Maka ushul fikih dibutuhkan untuk kebuntuan hal tersebut. Sebagai tambahan tamsil, kita tidak akan memahami bagaimana sesungguhnya keharusan bervaksin jika kita tidak menggunakan ushul fikih sebagai pembedah. Secara literal nas-nas warisan rasul tidak pernah menyebut bagaimana hukum menggunakan vaksin pada era pandemi. Tetapi, di sisi lain nyatanya ada nas yang secara implisit menyebutkan keharusan menjaga badan atau kesehatan.

Dari titik ini, kita dengan metode ushul fikih bisa sampai di satu kesimpulan di mana bervaksin itu menjadi hal yang harus karena menjaga badan. Begitulah kira-kira ushul fikih bekerja menghadapi hal-hal baru dengan tetap menggali dari sumber lama.

Di luar itu semua, realitas sungguh berkembang pesat. Beberapa bulan lalu ramai pembahasan ihwal mata uang digital (crypto). Lagi-lagi ini menjadi polemik yang cukup ramai diperbincangkan ditambah beberapa organisasi keagamaan mengeluarkan statmen berbeda.

Dengan kentara, kita akan melihat bagaimana ushul fikih bekerja di sana. Saya tidak akan menjelaskan secara detail, namun ringkasnya seperti ini; Al-Quran dan sunnah tidak pernah secara gamblang menyebut lema ‘crypto’ dan hukumnya. Tidak pernah. Sementara usul fikih berusaha mengulik itu semua. Bukankah sampai di sini kita lalu sadar kalau ushul fikih memang urgen?

Kenyataan yang kita hadapi kadangkala memang di luar nalar dan tidak bisa terjangkau. Realitas yang kemudian berkelindan erat dengan persoalan-persoalan hukum Islam itu juga kadang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, begitulah kenyataan dan kita dipaksa untuk menerimanya. Ushul fikih sebagai sebuah metode yang cukup andal, di pikiran saya, lumayan adaptif untuk zaman yang terus melaju.

Dengan ushul fikih kita tidak hanya melihat nas dari apa yang tampak, melainkan lebih jauh melangkah. Metode ini sudah dipakai ulama-ulama—dari klasik sampai kontemporer. Fakta otentiknya, metode ini sungguh memerhatikan perkembangan zaman dan waktu. Itu juga adalah kabar baik, bahwa hukum Islam tidak akan pernah lekang oleh waktu. Hukum Islam akan menyesuaikan di mana ia berpijak, selama usul fikih di situ diberi tempat yang seluas-luasnya.(*)

Multi-Page

Tinggalkan Balasan