Menggugat Pendidikan untuk Membangun Bangsa

Setiap kali mendengar slogan “Pendidikan untuk Membangun Bangsa”, kita langsung mengangguk setuju, seakan frasa itu adalah doa sakral yang tak boleh digugat. Tapi, pernahkah kita bertanya: membangun bangsa yang seperti apa? Membangun seperti tukang yang menata batu bata demi rumah yang teduh, atau seperti arsitek istana asing yang tak kita pahami denahnya?

Dalam realitas pendidikan hari ini, kita dihadapkan pada dilema sunyi: apakah pendidikan membangun jembatan—yang menghubungkan dunia luar dengan nilai-nilai lokal—atau malah membangun tembok—yang menjauhkan kita dari akar sendiri? Bagaikan seseorang yang kembali dari sekolah dengan ijazah, tapi lupa jalan pulang ke rumah sendiri.

Advertisements

Jembatan yang baik memungkinkan lalu lintas pengetahuan lintas zaman dan budaya. Pendidikan menjadi teras rumah bersama, tempat tradisi dan modernitas bisa duduk bareng sambil menyeruput teh. Tapi tembok yang tebal dan menjulang, justru membuat anak-anak bangsa terasing di tanah sendiri. Seolah kita sedang “membangun bangsa”, tapi malah menelantarkan jiwa bangsanya.

Lihatlah kurikulum kita: begitu banyak istilah asing, akronim rumit, target kompetensi global, hingga anak-anak mulai lebih akrab dengan tokoh-tokoh dari Silicon Valley ketimbang cerita Kiai Hasyim Asy’ari. Seolah-olah pendidikan itu sedang menyiapkan kita untuk pergi, bukan untuk kembali. Apa jadinya jika bangsa besar lebih bangga jadi warga global daripada warga desa sendiri?

Ada pepatah Arab yang bijak: “Man laa ashla lahu, laa far’a lahu” — siapa yang tak berakar, tak akan pernah bercabang. Pendidikan yang tak terhubung dengan akar budaya, sejarah, dan nilai spiritual masyarakatnya hanyalah rumah kaca yang indah tapi tak berdaya di musim badai. Ia mungkin bisa panen cepat, tapi tanahnya tandus.

Ironisnya, atas nama “kemajuan”, pendidikan sering menjauh dari hal-hal yang membumi. Kita sibuk mengajar anak-anak coding sejak dini, tapi lupa mengajarkan mereka adab makan bersama keluarga. Kita ajarkan mereka berpikir kritis tentang struktur DNA, tapi tidak sempat menyinggung pentingnya menjaga struktur keluarga.

Jika pendidikan dijadikan kendaraan menuju “taqarrub” (kedekatan) kepada Allah dan sesama, maka ia akan menjadi jembatan yang menyambung antara langit dan bumi, antara akal dan qalbu. Tapi bila hanya mengejar prestise, ranking, atau kapital semata, maka pendidikan jadi tembok: angkuh, tinggi, tapi dingin dan bisu.

Mari tengok hadis Nabi: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju surga.” Hadis ini tak menyebutkan Harvard, ranking PISA, atau skor TOEFL—tapi menyebut jalan menuju surga. Artinya, tujuan pendidikan bukan cuma kerja dan gaji, tapi keridhaan dan kedekatan kepada-Nya.

Di pesantren-pesantren tradisional, para kiai mendidik dengan hikmah dan teladan. Ilmu bukan ditransfer, tapi ditanamkan. Anak-anak tak hanya belajar “apa itu zakat”, tapi juga diajak menyaksikan, menyentuh, bahkan membagikan. Di situlah jembatan dibangun: antara ilmu dan amal, antara kata dan kasih.

Namun kini, banyak guru lebih takut pada supervisi birokrasi ketimbang keluhan batin muridnya. Waktu habis untuk administrasi, bukan asuhan. Kita sibuk mengejar standar luar, padahal yang paling dibutuhkan adalah kehadiran dalam ruang-ruang kecil: ruang tanya, ruang menangis, ruang belajar yang jujur.

Pertanyaannya: apakah kita sedang membangun manusia merdeka yang mencintai bangsanya, atau justru mencetak produk yang siap ekspor tapi enggan pulang? Apakah sekolah adalah ruang tumbuh akar atau justru tempat merapikan pot-pot plastik bernama prestasi?

Jembatan dan tembok hanya berbeda sedikit dalam proses pembangunan—sama-sama butuh semen dan batu bata. Tapi tujuannya beda: satu untuk menyambung, satu untuk memisahkan. Di sinilah pentingnya niat epistemik: apa dasar pengetahuan kita, dan ke mana ia diarahkan?

Maka, jika benar kita ingin membangun bangsa, bangunlah jembatan-jembatan. Bangun ruang belajar yang menghidupkan, bukan mengasingkan. Pendidikan harus menjadi jalan pulang, bukan jalan hilang. Dan satu pertanyaan terakhir untuk kita semua: jika anak-anak kita tak mengenali rumah budaya dan nilai leluhurnya, untuk siapa sebenarnya kita mendirikan sekolah?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan