Menggugat Legalitas Ijazah Pesantren

952 kali dibaca

Seorang santri Mbah Moen atau KH Maimoen Zubair, menjadi trending topik beberapa waktu terakhir ini terkait dengan ijazah pesantren yang ia miliki. Adalah Akhmad Agus Imam Sobirin (41) yang berdomisili di Desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, gagal dilantik sebagai perangkat desa karena, menurut panitia rekrutmen perangkat desa tersebut, ijazah yang Agus miliki tidak formal atau tidak legal (bukan illegal). Maka sesuai dengan Peraturan Bupati (Perbub) setempat, ijazah pesantren tersebut tidak absah dalam perekrutan perangkat desa. Sehingga, Agus pun gagal dilantik, meskipun nilai dari berbagai tes lainnya sangat memuaskan.

“Sesuai Peraturan Bupati (Perbup), ijazahnya harus formal,” kata Ani Wahyu Kumalasari, Camat Jepon Kabupaten Blora ketika dikonfirmasi wartawan terkait dengan ijzah Agus Imam Sobirin.

Advertisements

Persoalan ini berbuntut panjang dan menjadi polemik di antara pemerhati kearsipan dan administratif. Bagi Agus, persoalan ini sangat merugikan baik secara fisik, mental, dan dana. Seharusnya, menurut alumnus Pesantren Sarang, Rembang, ini, jika memang tidak boleh, sejak awal sudah ditolak.

“Mulai pendaftaran, administrasi, semuanya telah disahkan. Terus saat tes komputer saya mampu lulus, dan saat tes tertulis saya juga lulus. Nilai saya 80, dan di bawah saya nilainya 78,” ujar Agus seperti dikutip dari liputan6.com, Sabtu (1/5/2021).

Atas kasus yang tak lazim ini, pihak Agus tidak tinggal diam dan akan menggugat kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena pada hakikatnya, jika memang ijazah tersebut tidak formal dan dianggap tidak sah, sejak semula sudah ditolak, bukan dijegal pada saat akan terjadi pelantikan.

“Harusnya jika ingin menggagalkan itu dari awal, tapi ini saya dijegal sesaat sebelum dilantik,” demikian menurut Agus yang juga jebolan pesantren Salaf Nganjuk, Jawa Timur, ini.

Menjadi Polemik

Masalah ijazah pesantren yang menimpa Agus Imam Sobirin terus bergulir dan menjadi polemik dan diskusi pelik. Wakil Ketua DPRD Blora, Mostopa, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap kasus ini. Menurut pimpinan Dewan ini, seharusnya tidak perlu terjadi rekrutmen yang melahirkan masalah. Menurutnya, rekrutmen perangkat desa di Blora ini telah merugikan salah satu peserta, dan harus dikaji kembali agar hak-hak peserta yang merupakan santri Mbah Moen ini dapat terpenuhi.

Sementara, anggota DPRD Blora lainnya, Ahmad Labib Hilmy, menegaskan bahwa ijazah Pesantren Salaf Nganjuk Jawa Timur itu sudah setara dengan ijazah formal. “Injeh (iya), itu berarti sudah mu’adalah. Maksudnya itu sudah setara dengan formal,” ungkap Gus Labib, sapaan akrabnya.

Jadi menurut anggota Dewan yang juga jebolan pondok pesantren ini, ijazah Agus sudah disetarakan dengan ijazah formal dan seharusnya tidak menjadi masalah. Tetapi kenyataannya, Agus tidak jadi dilantik menjadi perangkat desa karena ijazah pesantren yang ia miliki dianggap tidak formal.

Ijazah diperlakukan sebagai sebagai dokumen formal-legal dalam suatu perekrutan perangat desa ini menjadi sebab seseorang gagal dilantik. Padahal, seharusnya yang diutamakan adalah skill atau keterampilan dan karakter dari personel itu sendiri. Akan tetapi, entah dengan pertimbangan apa, selembar ijazah mengalahkan kemampuan seseorang. Sehingga pada hakikatnya, formalitas menjadikan legalitas, dan kelegalan mengalahkan kapabilitas.

Nasib Ijazah Pesantren

Hingga saat ini, lembaga pesantren yang mengeluarkan ijzah masih sering menjadi permasalahan. Masalahnya ada pada bagaimana menyikapi sebuah ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga pesantren. Dengan sistem penyetaraan atau dalam bahasa pesantren disebut mu’adalah, maka lembaga ini dapat mengeluarkan ijazah yang kemudian disetarakan dengan ijazah formal dari lembaga pendidikan umum.

Nah, persoalan ini yang menjadi polemik karena tidak semua pesantren mengikuti aturan standarisasi ijazah, sehingga menyebabakan permasalahan di kemudian hari. Tentu saja perlu adanya sosialisasi yang komprehensif, agar seluruh pesantren dapat mengeluarkan ijazah yang setara dengan pendidilan formal lainnya.

Dalam hal ini, Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan Nasional harus bekerja sama untuk membuat standarisasi pendidikan pesantren sesuai dengan aturan yang ada. Jangan sampai pesantren tidak tahu menahu, atau apatis karen ketidaktahuan pesantren itu sendiri.

Searusnya, Undang-Undang Peantren telah disahkan oleh Preaiden Joko Widodo menjadi dasar penyetaraan ijazah pesantren. Karena itu, seharusnya tidak akan terjadi lagi persoalan ijazah pesantren yang menggagalkan pelantikan perangkat desa karena terkendala oleh ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga pesantren.

Dalam hal kasus Agus Imam Sobirin, pemerintah seharusnya turun tangan untuk ikut serta menyelesaikan persoalan. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan, sementara ada oknum yang berupaya untuk menjegal seseorang karena lulusan dari pondok pesantren. Formalitas dan legalitas ijazah itu penting, tapi jauh lebih penting lagi adalah kemampuan (capability), keterampilan (skill), dan karakter atau etika persoanl. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan