“Menggugat” Budaya To’petto’

933 kali dibaca

(To’petto’ adalah sebuah rangkaian kematian dari hari pertama kematian seseorang [muslim] hingga hari ke tujuh, bahkan hari-hari berikutmya, hari keempat puluh, seratus, satu tahun, dan keseribu hari).

Setiap manusia pasti mengalami kematian. Tak terkecuali, bahkan diri kita sendiri yang saat ini, alhmadulillah, dalam keadaan sehat wal afiat. Ketika terdengar lantunan istirja’ (Inna lillahi wainna ilaihi roji’un) yang biasanya disiarkan dari pengeras suara masjid atau musala, maka pada saat itu ada keluarga yang sedang berduka. Mereka kehilangan salah satu atau lebih anggota keluarganya karena telah dipanggil oleh Allah.

Advertisements

Beragam bentuk musibah, sebagaimana dijelaskan di dalam al-Quran, “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155).

Ayat ini menegaskan bahwa kematian (kekurangan jiwa) merupakan salah satu bentuk musibah yang harus dihadapi dengan cara sabar. Sebab pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Tuhan dengan membawa bekal amalan ibadah masing-masing.

Terkait dengan kematian, ada sebuah budaya (baca: kebiasaan) di suatu tempat (daerah) yang tidak mencerminkan akal budi (kebaikan). Budaya seharusnya membawa kepada kemaslahatan umat. Namun, terjadinya kebiasaan yang justru memberikan nilai yang tidak berbudi akan berdampak pada kemudharatan. Kebiasaan ini dikenal dengan istilah to’petto’ (hari ke tujuh setelah kematian) dan rangkaiannya, baik sebelum atau sesudahnya.

Kebiasaan setelah kematian di daerah ini adalah tidak mencerminkan badaya belasungkawa. Ikut larut dalam kesedihan karena ada seorang keluarga yang meninggal dunia. Justru terjadinya kematian berdampak kepada kematian lainnya, seperti menyembelih sapi, kerbau, atau kambing. Hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Haris, S. Pd., salah satu tenaga pengajar di SMPN 1 Batang-Batang, bahwa kematian berdampak kemalangan yang berlipat-lipat. “Kehilangan anggota keluarga, di desa ini akan menyebabkan musibah yang berlipat-lipat.”

Permasalahannya bukan pada kebiasaan adanya hari pertama, kedua, dan seterusnya hingga hari ke tujuh (to’petto’ dalam bahasa Madura). Karena, di dalam pelaksanaan hari-hari tersebut terdapat kemakrufan seperti membaca doa, zikir, dan membaca ayat-ayat al-Quran.

Kebiasaan ini menjadi diperlukan oleh si mayit, meskipun masih terdapat perselisihan di kalangan ulama. Bagi ulama nahdliyyin, hal tersebut sangat baik dan dianjurkan untuk kemaslahatan orang yang telah meninggal. Masalahnya adalah ketika di dalam rumah yang mengalami musibah itu ditambah dengan musibah lainnya, semisal harus menyediakan menu masakan bagi orang-orang yang bertakziyah.

Bagi sebagian orang, mereka yang diberi harta lebih oleh Allah menyediakan makanan bagi orang-orang yang datang untuk ikut serta berdoa bukanlah sebuah permasalahan. Sebaliknya, mereka yang dari kalangan miskin, tidak mampu menyediakan masakan yang berlebih akan menjadi beban tersendiri dan akhirnya mencari jalan keluar dengan cara berhutang. Bukan hanya menanggung beban musibah karena kehilangan anggota keluarga, tetapi menanggung beban pinjaman karena memaksakan diri menyediakan menu masakan yang tidak seharusnya.

Hingga saat ini persoalan seperti ini masih terus berlanjut. Tidak ada dari kalangan kiai atau ustadz yang mencoba memberikan pemahaman bahwa menyediakan menu masakan bukan sebuah kewajiban. Memang benar, bersedekah buat yang meninggal adalah termasuk makruf, baik. Namun, memaksakan diri hingga menanggung beban utang yang tidak sedikit akan memberikan masalah tersendiri. Kemalangan dibangun di atas kemalangan lainnya, bertumpuk, dan berlipat-lipat.

Kebiasaan to’petto’ memang tidak ada di masa Rasulullah. Membaca tahlil tidak ada dasar hukum syari yang qath’i dan sharih. Namun sebagian ulama (nahdliyyin) beranggapan bahwa membaca yasin, tahlil, dan doa pada rangkaian to’petto’ merupakan sebuah kebaikan (bidh’ah hasanah).

Penulis juga berpikiran bahwa zikir-zikir dan semacamnya di dalam rangkaian kebiasaan ini bukan hal tabu. Akan tetapi, yang harus diluruskan adalah melakukan kebaikan(?) di luar kemampuan. Semisal harus menyediakan makanan bagi orang-orang yang datang untuk ikut serta dalam pembacaan doa dan tahlil.

Merupakan sebuah kewajiban bagi para kiai dan ustadz untuk tidak memberatkan ahli waris dalam menyediakan “pesta pora” setelah kematian seseorang. Sebab, memberikan beban kepada seseorang (keluarga yang meninggal) di atas kemampuan berarti sebuah kemunkaran. Dalam sebuah kasus (di suatu daerah tertentu), ustadz atau kiai di sekitar tempat itu (seakan) memberikan rekomendasi untuk menyediakan menu masakan di luar kemampuan. Hal ini akan menjadi bumerang bagi ahli waris sekaligus menjadi tanggung jawab para kiai dan ustadz di sekitar tempat tersebut.

Sebenarnya kebiasaan tidak baik ini sudah berubah di kebanyakan tempat. Ahli waris yang meninggal tidak dibebani dengan sesuatu di luar kemampuan. Tetapi di sebagian tempat (tidak banyak?) masih ada yang melakukan suatu hal di luar kemampuan hingga harus menanggung hutang setelah rangkaian to’petto’. Hal ini harus segera diluruskan agar musibah tidak menimbulkan musibah lainnya.

Rangakain hari pertama sampai hari ketujuh (to’petto’) setelah kematian merupakan persoalan ikhtilaf di antara para ulama. Saat ini sudah tidak perlu lagi membahas perbedaan, karena masing-masing memiliki landasan hukum syari masing-masing. Yang melaksanakan to’petto’ harus menghormati orang yang tidak suka, sebagaimana orang yang tidak mau terhadap to’petto’ harus menghargai keyakinan orang lain. Jika ini yang terjadi, maka kehidupan sosial kemasyarakatan akan terjalin dengan kelindan kebahagiaan dan kedamaian. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan