Menggagas Paradigma Baru Ilmu Islam

973 kali dibaca

Ilmu pengetahuan menjadikan manusia sebagai makhluk beradab dan dengan itu membangun peradaban. Manusia memperoleh ilmu pengetahuan melalui proses dan pengalaman yang panjang, dengan apa yang disebut mencari ilmu atau tholabul ilmi. Melalui pencarian ilmu pengetahuan itu pula Islam mencapai kejayaan dan peradaban tinggi.

Dalam sejarah peradaban Islam, Islam begitu menghargai dan menjunjung tinggi sains dan ilmu pengetahuan, dari mana pun sumbernya. Sebab, salah satu prinsip dalam pencarian ilmu pengetahuan atau tholabul ilmi adalah dengan menghargai para ilmuwan sebelumnya, meskipun mereka berasal dari kebudayaan yang berbeda, seperti para ilmuwan Yunani, Romawi, Persia, India, dan sebagainya.

Advertisements

Itulah yang dulu pernah dilakukan para ilmuwan atau sarjana muslim, semisal Ibn Sina yang dikenal sebagai bapak kedokteran modern. Ia mendalami berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, astronomi, dan kedokteran. Bukunya yang berjudul The Canon of Medicine telah menjadi buku pegangan utama mahasiswa kedokteran di Eropa sampai abad ke-18 atau 700 tahun kemudian.

Selanjutnya ada Al Khwarizmi yang memecahkan persamaan alogartima, linier, kuadrat, dan konsep aljabar. Ia juga berhasil memetakan pergerakan matahari dan bulan. Pendek kata, sejarah Islam dipenuhi para ilmuwan yang sangat hebat, seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Majah, Ibnu Rusd, Ar-Razi, Ibnu Tufail, di mana mereka mengkaji ilmu pengetahuan tidak mengkategorikan dan mempertentangkan istilah ilmu agama dan ilmu umum.

Masa kejayaan Islam terdahulu ini akan memberikan sebuah pemahaman penting dan uswah hasanah dalam penguatan tradisi pencarian ilmu pengetahuan, yang dalam tradisi pesantren disebut ngaji. Dengan penguatan tradisi ngaji ini akan menjadikan Islam lebih maju karena menghargai perbedaan serta terbuka dengan kelompok lain untuk ikut bersama-sama membangun dunia ini dan berkontribusi mengembangkan ilmu untuk menjadikan dunia ini lebih baik.

Konstruk ini melandasi keluasan ilmu pengetahuan yang sejak dahulu telah dipelopori oleh banyak cendikiawan muslim. Maka, dalam konteks ini, sesungguhnya ngaji tidak identik dengan apa yang disebut khazanah ilmu agama. Lebih dari itu.

Tulisan ini akan mencoba menarasikan ilmu pengetahuan yang memiliki perpaduan atas dua kutub ilmu, yakni ilmu agama dan ilmu umum. Bila kita telisik dari perbandingan dua kata tersebut, ilmu agama dan ilmu umum secara perbandingan tidak apple to apple. Yang benar bukan memperbandingkan atau memperhadapkan ilmu agama dengan ilmu non-agama, melainkan ilmu umum dengan ilmu khusus. Dengan begitu, penulis bisa mengkategorikan istilah ilmu agama adalah ilmu khusus dan ilmu umum adalah ilmu nonagama.

Bila mengkaji ilmu Islam diistilahkan ilmu agama dan bersifat khusus, kemungkinan terburuknya pandangan ilmu Islam akan dikatakan sangat sempit dan menjadikan paradigma ilmu Islam bersifat stagnan dan hanya berpusat pada wilayah eskatologi semata.

Prof Farid Wajdi pernah mengatakan: “Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikhotomi antara ilmu satu dengan yang lain. Karena, dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja, berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan umatnya bersungguh-sungguh mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan al-Quran merupakan sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.”

Dengan demikian, bila kita pahami bahwa ilmu agama memiliki peran untuk mengantar umat manusia hidup tenang dan bahagia didunia dan di akhirat, maka sains atau ilmu umum berfungsi untuk mempermudah aktivitas manusia di dunia dan menjadikan kebahagiaan di dunia semata.

Menurut sebuah amtsal, bahwa ilmu agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan, eksklusif, dan subjektif. Sementara, ilmu umum selalu mencari yang baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, namun juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin dan keselamatan di akhirat, sebab ada janji kehidupan setelah mati. Sedangkan, ilmu (umum) memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia.

Misalnya, tsunami dalam konteks ilmu agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung di balik bencana tsunami.

Adapun, dalam perspektif ilmu umum, tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.

Karena itu, karekteristik ilmu agama dan ilmu umum tidak selau harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemologi, metafisika, teologi, dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual ilmu agama dan ilmu umum.

Ilmu umum yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari Islam. Al-Quran sebagai dasar sumber rujukan bagi ilmu agama dan segala pengembangan ilmu umum. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang Islam tentang keterpaduan ilmu umum dan ilmu agama.

Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan al-Quran, pengetahuan tentang benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Para ahli filsafat dan ilmuwan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari Tuhan sehingga terciptalah berbagai ilmu pengetahuan.

Al-Quran bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Panggilan al-Quran untuk “membaca dengan nama Tuhanmu” telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan ilmiah, didasarkan pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibn Sina yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan prinsip Tuhan.

Ilmu agama dan ilmu umum memang berbeda dalam penggunaan metode, karena masing-masing berbeda fungsinya. Dalam ilmu umum, kita berusaha menemukan makna pengalaman secara lahiriyah. Sedangkan, dalam ilmu agama lebih menekankan pengalaman yang bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan yang mendalam. Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti.

Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti, baik ilmu agama maupun ilmu umum memang bersumber dari Allah. Keduanya saling melengkapi dan membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri.

Tradisi Keilmuan Pesantren

Melalui tradisi ngaji, seseungguhnya pesantren bisa menjadi garda terdepan dalam mengembalikan kejayaan Islam melalui pencarian ilmu pengetahuan seperti dulu. Dunia pesantren ini memiliki kecakapan atas pendidikan yang mana sebagai proses memanusiakan manusia. Tradisi pendidikan di pesantren memiliki peranan penting dalam mencetak insan kamil yang unggul dari berbagai aspeknya, yang meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Dengan itu diharapkan pesantren mampu melahirkan out put dan out come insane bertakwa, cerdas, pandai, terampil, sehat jasmani dan rohani, berwawasan luas serta memiliki kepribadian dan berbudi luhur.

Pesantren dalam menggagas penyebaran ilmu pengetahuan ini haruslah mampu mengintegrasikan ilmu umum dan juga ilmu agama, bila kita sadari pemisahan kedua ilmu tersebut awalnya hanya sekadar spesifikasi, agar terjadi penggalian ilmu secara mendalam yang profesional dan mampu mengaktualisasikan untuk kemajuan peradaban. Hanya, belakangan telah terjadi stigma (anggapan) yang sangat jauh, sehingga timbul kesan ilmu agama hanya mengarah pada pembentukan spiritual saja dan tidak menganggap menyentuh pergaulan sosial sehingga menjadi pemicu kemunduran peradaban Islam.

Tradisi ilmu pengetahuan Islam ini perlu diperluas dengan tidak terlena atas klaim negatif ilmu umum yang dianggap menjauhkan atas Islam. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu pengetahuan menjadi pincang.

Semua cabang ilmu pengetahuan bisa menyatu dengan Islam karena Islam sangat lengkap. Semua ada dalam al-Qran. Hanya Islamlah agama yang paling lengkap dan universal. Tidak ada agama lain seperti agama Islam. Islam mengatur persoalan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan berbagai persoalan lainnya.

Reintegrasi Ilmu

Karena itu, reintegrasi (menggabungkan kembali) ilmu agama dan ilmu umum merupakan terobosan baru dalam rangka melahirkan generasi unggul dan berkarakter. Tentunya hal ini perlu diupayakan semaksimal mungkin oleh berbagai pihak, utamanya para tenaga pendidik dan kependidikan. Karena, secara historis sebenarnya Islam tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum. Islam pada dasarnya memandang ilmu hanya satu dan semua ilmu bersumber dari Allah.

Dalam sejarah pendidikan Indonesia pun, istilah itu dikenal setelah masa penjajahan Belanda yang sengaja memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Terbukti, saat ini di Indonesia sering terdengar istilah sekolah agama, sekolah umum, lembaga pendidikan agama, lembaga pendidikan umum, guru agama dan guru umum.

Istilah tersebut sangat tidak menguntungkan, bahkan berdampak negatif pada tatanan masyarakat dan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional dan pendidikan Islam. Paradigma ini pada akhirnya melahirkan lembaga pendidikan agama yang antipati terhadap kurikulum umum, dan lembaga pendidikan umum yang alergi terhadap ilmu agama, dan menganggap mata pelajaran agama sebagai suplemen yang tidak begitu penting.

Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan terus menerus, karena hal ini akan menghancurkan moralitas dan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perlu reintegrasi (menggabungkan kembali) ilmu agama dan ilmu umum di lembaga pendidikan dalam arti luas, seperti lembaga pendidikan formal, nonformal, maupun informal, di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing harus mendapat perhatian yang sama dan seimbang sehingga objek pendidikan yang menurut Bloom meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik tersentuh secara profesional dan porporsional.

Untuk itu, solusi terbaik menurut penulis adalah, pertama, memahami dan menghayati tujuan pendidikan Islam secara komprehensif. Tujuan pendidikan Islam sebagaimana tersebut dalam pembahasan sebelumnya adalah manusia yang hatinya bertakwa kepada Allah, memiliki jasmani yang sehat, kuat dan terampil, berakal cerdas serta pandai.

Dengan demikian, maka selayaknya umat Islam sedapat mungkin menciptakan lembaga pendidikan yang mengintegrasikan kedua kurikulum tersebut. Karena pada dasarnya kedua kurikulum yang saat ini terpisah adalah sama-sama bersumber dari Allah, dan pada akhirnya tujuan pendidikan Islam tersebut akan tercapai secara maksimal, tidak pincang.

Selanjutnya, setelah menyadari akan pentingnya reintegrasi ilmu agama dan ilmu umum dengan didasarkan terhadap tujuan pendidikan Islam tersebut, perlu diperjelas wilayah ilmu yang bersumber dari wahyu/ayat-ayat Allah di dalam kitab-Nya dan ilmu yang diperoleh dari hasil observasi dan analisis dari ayat-ayat Allah yang terhampar di alam semesta. Sekali lagi, ini berangkat dari pandangan Islam bahwa pada dasarnya pengetahuan itu hanya satu, yang kemudian diklasifikasikan untuk kepentingan pendidikan.

Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam harus mengajarkan ilmu-ilmu umum (ilmu yang diperoleh) di samping ilmu-ilmu agama (ilmu yang diwahyukan). Begitu juga lembaga pendidikan umum harus juga memprioritaskan ilmu-ilmu agama di samping ilmu-ilmu umum. Mengingat Islam betatapun menganjurkan untuk mempelajari semua ilmu, akan tetapi Islam memberi batasan dan menetapkan tingkatan dari masing-masing ilmu tersebut. Ilmu tertinggi adalah ilmu tentang keimanan, kemudian ilmu tentang halal dan haram, dan ilmu akhlak, selanjuinya ilmu alat yang meliputi ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu alam, dan lain sebagainya.

Karena itu, masing-masing lembaga pendidikan dan seluruh pendidik harus memperhatikan tingkatan ilmu tersebut agar implementasi dari masing-masing ilmu tersebut sesuai dengan urutan tingkatan, tahapan, jenjang, dan keutamaan masing- masing ilmu.

Narasi ngaji ini menjadi gagasan penting yang mampu membentuk paradigma ilmu pengetahuan baru. Pemahaman ilmu umum yang diketahui oleh seorang pengajar biologi semisal, akan juga mencantumkan ayat-ayat al-Quran yang diperoleh dari bacaan hasil penelitian /jurnal. Sesama dengan itu, para pengajar kitab kuning, semisal kitab adab Ta’lim wal Mutaalim, bisa juga membaca ilmu sosial dan budaya dengan pehamanan yang mencoba mengelaborasikan dengan hasil penelitian yang membahas “hubungan sosial masyarkat”.

World view yang inklusif dan berpikir terbuka menjadikan landasan dalam pengajaran, dan dari situ akan mengantarkan nilai-nilai ilmu Islam berkembang dari bukti real di lapangan. Dari tulisan ini bisa dikembangkan lebih luas dan menjadi diskursus santai oleh para mahasiswa atau para pengajar, sehingga memiliki nilai identitas tersendiri, lebih-lebih menjadi awal sebuah paradigma ilmu Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan