Saat baca khutbah

Mengenang Sosok Abah: KH Ghazali Ahmadi

1,675 kali dibaca

Saya bingung harus mengawalinya dari mana, apalagi saya harus kembali mengingat lembaran sejarah beberapa tahun ke belakang. Awalnya saya ragu bahkan tidak yakin untuk menulis. Jujur, begitu berat saya mengawali tulisan tentang KH Ghazali Ahmadi (Saya memanggilnya Abah) yang jika dituangkan dalam tulisan, belum dan bahkan tidak akan mewakili akan kemuliaan Abah. Apalagi ditulis oleh anak balepotan seperti saya yang baru belajar menulis dan masih direlung suasana gundah sedih ditikam kerrong (rindu) Abah, serta guyur isak tangis yang tak kunjung selesai.

Saya teringat dengan pepatah “wafatnya ulama adalah matinya alam”. Kita tahu istilah ini seringkali diucapkan oleh orang-orang untuk menggambarkan betapa susahnya ditinggal pergi seorang ulama. Bagaimana tidak? Ulama adalah pewaris Nabi. Melalui lisan merekalah, risalah dan dakwah Nabi Muhammad Saw tersebar hingga kini.

Advertisements

Ketika ulama wafat, seolah alam semesta juga mati. Sebab, para ulama wafat turut membawa segenap ilmunya. Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu sekaligus dari seorang hamba, akan tetapi Allah akan mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Hingga bila ulama tidak tersisa, maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Mereka berfatwa tanpa ilmu dan sesat menyesatkan”. (HR. Bukhari Muslim).

Tubuhnya kecil, berkulit kecoklatan. Berpenampilan sederhana. Tatapan matanya tajam. Murah senyum dan humoris. Responsif sekaligus antusias bicara ketika diajak ngobrol, terutama soal bahasan ilmu-ilmu keislaman khususnya. Berpendirian teguh. Saat berjalan selalu menunduk ke bawah dengan langkah-langkah kaki yang tertata.

Itulah gambaran sosok KH Ghazali Ahmadi, menantu andalan KH Syarfuddin Abd Shomad, yang lahir di Dusun Arjasa Lao’, Desa Arjasa, Kabupaten Sumenep, Madura, pada 4 Mei 1945.

Bagi saya, Abah adalah seorang ulama, kiai, guru yang memainkan peranan sebagai mu’allim dan  murobbi. Abah juga merupakan seorang sosok orang tua, cendekiawan, sastrawan, tak terkecuali seorang organisatoris yang andal dan sangat langka ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih dari itu, Abah adalah “singa podium”, yang seluruh hidupnya di pergunakan untuk berdakwah. Menghabiskan waktu dengan berdakwah, di samping mengajar, adalah kekuatan sekaligus sebagai kelemahan bagi Abah. Kekuatan, karena tak semua orang bisa melakukannya. Bahkan, bagi sebagian orang, berdakwah adalah aktivitas yang membosankan, lebih-lebih menakutkan.

Mengapa demikian? Menjadi pendakwah bukanlah pekerjaan enak dan menyenangkan. Ia harus siap menghadapi berbagai rintangan, mulai dari nyinyiran hingga mengancam keselamatan dirinya apabila ada masyarakat yang tidak senang. Namun, karena ingin suatu kebenaran merata tersampaikan dan hobi Abah adalah berdakwah, maka aktivitas dakwah menjadi peristiwa yang menyenangkan. Menarik, menurut penuturan Nyai Mu’tiyah Ghazali, ‘‘Abah akan sembuh dari sakitnya kalau mengisi pengajian dan memberi ceramah di masjid-masjid.”

Hampir tak ada waktu untuk istirahat. Wira-wiri sana-sani hanya untuk menyampaikan dan menegakkan tonggak kebenaran Islam. Ombak laut dan darat sudah biasa menyapanya. Jangan ditanya berapa lama duduk di kursi mobil mewah seperti para artis umumnya, tapi tanyalah berapa lama duduk di atas pelana kuda. Bahkan, sekiranya tak ada kuda untuk ditunggangi, Abah tak malu dan tak sungkan untuk jalan kaki layaknya masyarakat biasa. Tak peduli, apakah tempat yang menjadi tujuan berada di dibalik lereng gunung, bahkan hingga luar Pulau Kangean. Begitulah Abah tampil apa adanya bukan ada apanya.

Pernah suatu waktu saya diajak untuk membeli peralatan bangunan pesantren, mengendarai sepeda motor. Maklum saat itu lagi habis hujan, jalan dipenuhi genangan air, sepeda yang harusnya di atas rata-rata kencang terpaksa dibuat pelan sedemikian rupa demi menghindari percikan air mengenai baju putih Abah. Sontak saja kaget, dari belakang tiba-tiba ada sepeda motor ngebut. Air genangan di jalan aspal menghujani baju Abah. Tak sedikitpun kata-pata yang keluar dari lisan Abah. Sesampainya dirumah, Abah dawuh “ Hengak jhe’ moji oreng gellak ngebbot ento, sapa tao oreng mek kaburo” (Ingat, jangan sampai memberi pujian yang tidak baik kepada orang yang tadi itu, siapa tahu dia keburu punyak urusan yang lebih penting dari kita).

Abah merupakan sosok ulama yang sezaman (bahkan satu kamar waktu mondok di Sukorejo) dengan ulama besar seperti Almarhum KH Mohammad Qasdussabil (1943-2012). Beliau adalah Pengasuh Pesantren Sabiliyah Arjasa Kangean Sumenep, Rais Syuriah MWC NU Arjasa Sumenep, mantan hakim di Pengadilan Agama Arjasa Sumenep, dan sederet ulama besar lainnya.

Menurut penuturan para ustaz Sukorejo, konon Kiai Qasdussabil, adalah “Macannya Sukorejo” alias kamus yang berjalan di zamannya. Sekiranya Abah Ghazali morok Kitab Jam’ul Jawami’, maka Kiai Qasdussabil morok Kitab I’anatul at-Thalibin. Dari dua ulama ini, lahirlah kemudian pemikir-pemikir kontemporer hebat, seperti KH Afifuddin Muhajir, K Zaini Miftah, KH Muhyiddin Khotib, KH Nawawi Thabrani, K M Jamil Syarif, KH Sahlawi Zain, K Maulana Mahfudh, dan kiai-kiai lainnya.

Menurut penuturan Kiai Afif, Abah merupakan murid terbaik dari KHR As’ad Syamsul Arifin, sekaligus gurunya, dawuhnya. Sekalipun sudah menikah, ia tak diperkenankan untuk pulang kampung karena tenaganya masih dibutuhkan. Bahkan, anak pertamanya, Abdul Moghsit Ghazali, lahir di Sukorejo. Tak hanya itu, Kiai Afif juga menuturkan, kepada Kiai Ghazali ia belajar ilmu gramatikal arab, khususnya ilmu nahu.

Sekitar Tahun 1960-70 an, Sukorejo dikenal dengan kitab nahu-nya. Bacaan para santri saat itu tidak terbatas pada kitab Ibnu Aqil, akan tetapi kitab-kitab besar lainnya, seperti Khasyiyah Shabban ala Syarhi Asmuni, Khasyiyah Ibnu Hamdun, dan sebagainya. Kiai Ghazali tampil sebagai ustaz bagi santri-santri juniornya saat itu. Ketika Kiai As’ad pergi ke luar kota untuk berdakwah, Kiai Ghazali selalu diajak. Saking akrabnya dengan Kiai As’ad, Ghazali yang masih berstatus santri sudah dianggap teman sendiri. Sekiranya Kiai As’ad sebagai pembuka acara di suatu undangan, maka ustaz Ghazali sebagai peceramah, baru setelahnya Kiai As’ad sebagai penutup. Begitulah cara Kiai As’ad mendidik dan mengkader Ghazali semenjak nyantri. Karena itu, tak heran jika masyarakat mengenal Kiai Ghazali adalah sosok orator ulung yang andal berkat bimbingan Kiai As’ad.

Kebiasaan Abah selama di rumahnya yang saya tahu (saya tahu karena saat musim para petani turun sawah, Ibu menitipkan saya ke Abah dan Embuk), sejak sebelum subuh Abah sudah bangun dan segera masuk ke mihrobnya (sebuah tempat khusus untuk Abah salat, membaca Al-Qur’an, dan bermunajat) untuk melaksanakan salat fajar dan membaca Al-Qur’an. Lisannya yang selalu basah dengan bacaan Al-Qur’an dan zikir, nampak di wajahnya terpancar ketenangan, keteduhan, dan kewibawaan bagi yang memandangnya. Tak sampai di situ, bakda subuh Abah juga meneruskan bacaan Al-Qur’annya hingga matahari terbit di ufuk Timur menjelang pagi. Demikian juga setelah salat ashar, seperti biasanya Abah membaca Al-Qur’an hingga sore hari matahari terbenam di Barat.

Nabi Muhammad saw menyebutkan sejumlah keutamaan membaca Al-Qur’an. Salah satunya adalah membaca Al-Qur’an dan saling mengajarkannya akan mendapat cucuran rahmat. Bagi umat Islam, membaca Al-Qur’an bukan lagi menjadi suatu kegiatan yang asing. Al-Qur’an merupakan pedoman bagi orang muslim dan muslimah di seluruh dunia. Membaca Al-Qur’an juga termasuk ke dalam ibadah paling utama di antara ibadah-ibadah lainnya. Tak heran, jika keutamaan membaca Al-Qur’an bisa dikategorikan secara umum maupun khusus. Sebagaimana yang sudah diriwayatkan oleh an-Nu‘man ibn Basyir, Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqi).

Di dalam Al-Qur’an juga diterangkan bahwa, orang yang membaca Al-Qur’an atau mendengarkan secara baik-baik dan tenang, maka orang tersebut akan mendapat rahmat dari Allah Swt. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf [7] 204:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A‘raf [7]: 204).

Tiga bulan sebelum pergi, Abah berpesan “Jhe’ nyare demmangna hokom, torok safinah ben sullam” (Jangan coba-coba mencari ringannya hukum, tapi tetaplah berpegang kepada kitab Sullam dan Safinah).

Tak hanya itu, Abah juga menceritakan tentang seluk beluk antara Al-Qur’an dan fikih. Kata Abah, “Jika Al-Qur’an itu qadim, maka fikih itu hadis (artinya temporal). Jika Al-Qur’an itu bersifat universal, maka fikih itu bersifat relatif. Mengapa demikian? Karena fikih itu lahir dari akal yang bersifat subyektif, sementara Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang melintasi ruang dan waktu, bahkan tidak ada intervensi akal sama sekali.” 

Fikih adalah anak zaman. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya pada kerangka ruang dan waktu yang mewadahinya. Fikih berubah sesuai dengan perubahan sosial. Fikih juga berubah sesuai dengan perbedaan pemikirannya, pembentukannya, tak terkecuali dari pengembangannya dari waktu ke waktu yang lain. Tak heran bila kemudian hari lahir sejumlah mazhab fikih yang berbeda satu sama yang lain meskipun bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis yang sama, dan belajar dari guru yang sama juga.

Fikih tidak saja berbeda hanya karena perbedaan imamnya dan metode perumusan hukumnya, tapi juga bisa berbeda karena perbedaan geografisnya. Meskipun sama-sama Syafi’iyah, tetapi misalnya Syafi’iyah di Timur tengah berbeda dengan Syafi’i di Indonesia. Ini tidak lain karena fikih pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi, keadaan, adat, dan budaya di mana fikih dipraktikan.

Imam Al-Qarafi, misalnya, dari Mazhab Maliki dalam kitab al-Faruq memberi nasihat: “Janganlah kalian terikat pada apa yang ditulis dalam kitab-kitab sepanjang hidupmu. Jika datang seseorang dari daerah lain minta fatwa hukum kepadamu, maka janganlah kamu tarik ke dalam budayamu, tapi tanyakan dulu tradisi dan budayanya, lalu putuskan dengan mempertimbangkan tradisi dan budayanya, bukan atas dasar budayamu atau yang ada dalam kitabmu.”

Lebih lanjut Abah mengatakan, membakukan diri pada kitab-kitab yang ada di sepanjang hidup adalah bagian dari kekeliruan dan ketidakmengertian dalam memahami tujuan yang dikehendaki para ulama masa lalu.

Kini sosok pewaris Nabi, murid, dan santri kesayangan KHR As’ad itu telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kita. Kelak, akan aku ceritakan pada anak cucuku bahwa, engkau Abah, adalah orang yang berada di balik suksesnya Ponpes Zainul Huda Duko Lao’, khususnya masyarakat Arjasa lao’ dan Duko Lao’. Selamat Jalan, Abah. Allah Merahmatimu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan