Mengenang Baju Koko Pak Kiai

3,283 kali dibaca

Seperti biasanya, kalau lagi di rumah saya selalu menyempatkan diri untuk menghadiri “Pengajian Malam Kamisan Tafsir Jalalain” di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Karawang 3 (Abah Hasan, PWNU Jawa Barat).

Malam Kamis itu tidak tahu kenapa, bawarasa jagat keh adem (perasaan jagat berhawa sejuk). Begitu juga dengan suasana hati, adem-ayem dan tenang. Padahal, pada siangnya begitu terik dan menjemur padi karena kebetulan bapak sawahnya sedang panen. Tugas kuliah pun bertumpuk, dan banyak kegiatan lain. Pikiran jadi semrawut membuat kepala pusing.

Advertisements

Tapi tidak tahu kenapa, begitu siang berganti malam, semua pikiran-pikiran dan kesemrawutan tadi berganti tenang dan sejuk. Sampai pada ketika saya akan berangkat kamisan, saya yang biasanya mengenakan pakaian model kemeja, karena memang kurang suka dengan model baju koko, malam itu saya pakai baju koko putih.

Baju koko putih itu pemberian dari beliau waktu saya masih ngodim (istilah pesantren untuk santri yang bantu-bantu di ndalem atau rumah kiai). Dan itu pertama kalinya saya pakai baju koko pemberian beliau, dibawa pengajian kamisan — ya, secara model biasa saja, bahkan terbilang kuno.

Singkat cerita, begitu sampai di parkiran pengajian kamisan itu, saya bertemu dengan temen yang kebetulan dia juga sebagai khodimul ma’had. Tanpa basa-basi (sempat bersalaman terlebihdulu), lalu dia bilang “aluss euy bajuna” (bagus ya bajunya). Itu saja, tak ada lagi kami percakapkan.

Lalu melintas di benak saya, “Kang Munir… Oh iya…” Saya baru ingat baju koko ini pemberian dari Kang Munir waktu saya masih ngodim, tapi biasa saja tidak bagus-bagus juga, tapi memang secara bahan adem.

Begitu pengajian selesai, saya rencana langsung pulang, tapi sempat mampir di tempat teman yang berjualan kebab, sekadar untuk ngopi-ngopi santai. Nah, di situ kami ngobrol banyak hal, tentang remaja kampung, tentang santri, ini itu-ini itu, sampai pada wilayah syariat, tarekat, jam’iyah, dan lain-lain.

Saya yang biasanya lebih suka mendengarkan dari pada banyak ngomong, tidak tahu kenapa waktu itu kami layaknya orang yang sedang haus dengan ilmu dan pengetahuan. Di situ kami banyak beradu argumen, mengomentari, kadang-kadang saling sangkal, hingga berlarut-larut.

Lalu selepas dari situ, saya pulang dan sampai di rumah kisaran jam satu lebih tiga puluh lima menit. Saya tidak langsung tidur sampai pada kisaran jam setengah tiga dini hari telepon saya berdering. Dalam hati, malam-malam begini siapa menelepon, padahal saya baru mau istirahat, tidur.

Begitu telepon saya angkat, suara dari seberang menyampaikan kabar duka. “Sur…, Kang Munir meninggal.”

Masih ragu dengan berita itu, lalu saya berusaha mengabari teman ngodim dulu waktu di pesantren yang kebetulan masih di sana. Satu pun tidak ada yang membalas pesan saya untuk memastikan kebenaran kabar duka tersebut. Lalu muncul postingan pertama di story WhatsApp, backrond kuning dengan foto beliau dan bertuliskan “Telah pulang ke rahmatullah ….”

Bawarasa ati kuh kaya ana sing remed-remed, banyu mata ngalir kuh ya bli krasa (perasaan hati ini seperti ada yang meremas-remas, air mata mengalir tidak terasa). Masyallah, Gusti…

Innalillahi Kiai, jenengan wong sae, jenengan wong alim, wong apik, wong sing parek bari masyarakat cilik, wong sing peduli ning segala hal, wong sing selalu ngajaraken tahadduts bini’mah, wong sing tawaddu, pembelajar sejati, kiyai visioner.

Tanpa pikir panjang, jam empat dini hari saya langsung berangkat dari Karawang menuju ke Cirebon untuk takziyah dan mengantar ke tempat pembaringan terakhir beliau, Kiai Ali Munir.

Kula nyekseni jenengan wong sae
Sugeng tindak kiyai.

Catatan: Sebetulnya catatan ini saya bikin satu hari sepeninggal beliau, 10 juni 2021, dan kebetulan di hari ini tepat mengenang empat puluh hari kepergian beliau Kiai Ali Munir bin Kiyai Ma’mun. Saya mohon kepad siapa saja yang membaca tulisan ini untuk meluangkan waktu sebentar kirim surah al-Fatihah kepada almarhum Kiai saya, Kiyai Ali-Muni bin Ma’mun bin Mbah KH. Sanusi Babakan Ciwaringin Cirebon. Lahul fatihah…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan