Mun’im A Sirry merekam jelas dalam bukunya yang berjudul Membendung Militansi Agama (2003), bahwa Agama telah memberikan dua warisan yang masih terasa denyutnya hingga kini. Sirry mengatakan:
“Dalam sejarahnya, Agama memiliki dua warisan besar. Yang pertama adalah pencerahan, sementara yang kedua adalah kebrutalan. Di satu sisi, Agama melahirkan pencerahan, etika, kasih sayang, pemihakan terhadap kaum yang terpinggirkan dan toleransi. Namun di sisi lain, Agama juga menjadi kontributor utama perang, pertumpahan darah, kebencian, dan intoleransi.”

Meskipun yang dikatakan Sirry sudah berjarak dua dekade lamanya, perkataan itu masih relevan pada saat ini. Di balik rasa kemanusiaan, toleransi, dan kepekaan sosial yang lahir dari sebuah doktrin Agama, Setara Institute memberikan laporan atas tindakan pelanggaran (intoleransi dan diskriminasi) terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang selalu naik dalam setiap tahunnya. Terdapat sejumlah 216 pelanggaran pada tahun 2023, dan jumlah itu naik menjadi 260 pelanggaran di tahun berikutnya.
Data tersebut menjadikan isu kerukunan umat beragama di Indonesia kembali diperbincangkan, terlebih pemberontakan terhadap salah satu golongan umat beragama kembali terjadi pada tanggal 27 Juni 2025 di Desa Tangkil, Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Pasalnya, sejumlah warga merusak sebuah rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadah oleh umat kristiani.
Hal tersebut bukan hanya persoalan yang mencoreng kerukunan umat beragama di Indonesia, tetapi memicu perdebatan tentang hak konstitusional, kepekaan sosial, dan rasa kemanusiaan.
Lebih mengerucut, kejadian yang mirip juga terjadi di Manado, Sulawesi Utara. Pasalnya, kegiatan diskusi bedah buku dengan judul Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah yang akan digelar pada 2 Juni 2025 di IAIN Manado, dibatalkan tepat satu hari sebelum acara pelaksanaannya (Tempo. Co, 11/06/2025).
Kejadian ini bukan satu-satunya yang terjadi di arena kampus sebagai ruang diskusi keilmuan. Hal serupa juga bisa terjadi dalam bentuk lain seperti intervensi subjektif dalam karya ilmiah yang bisa meninggalkan objektivitas keilmuannya. Hal itu adalah salah satu bentuk sunyi pembatasan intelektual di lingkungan akademik.
Kasus pembatalan diskusi di lingkungan kampus mencerminkan adanya kecenderungan dalam ruang akademis yang seharusnya bebas untuk didiskusikan dan diekspresikan. Demikian pula, ia sama sekali tidak mencerminkan sifat ilmu pengetahuan yang inklusif dan terbuka. Sebab bagaimanapun ilmu tidak pernah tuntas untuk didiskusikan. Semakin ilmu itu ditemukan, ia akan melahirkan persoalan baru, dan itu tidak seyogianya terhenti dan dipasung kreativitasnya.
Kampus yang menjadi sebuah wadah dialog intelektual, mestinya selalu menonjolkan orientasi kajian pemikiran objektif sebagai basis intelektual dalam berkiprah dan berdakwah. Memang terasa sulit melihat gelagat kritis kampus mutakhir ini, ini bukan karena berpindahnya orientasi mayoritas mahasiswa yang cenderung pragmatis misalnya, tetapi ada faktor lain yang menjadikan kampus mutakhir ini lebih ekslusif dan tertutup dalam mendiskusikan wacana keilmuan.
Sejumlah kasus intimidasi, penangkapan dan tindakan represif lainnya, bukan lagi suatu hal yang omong kosong. Hal itu nyata dan dirasakan oleh sebagian mahasiswa yang sedang berekspresi, baik dalam bentuk tindakan, gambar, nyanyian, ataupun tulisan.
Dalam hal ini, ruang intelektual di lingkungan kampus sedang berada di persimpangan jalan. Pada satu sisi ia menjadi simbol sebagai pengawal ilmu pengetahuan yang selalu menerima perbedaan dan kebebasan. Di sisi lain, kondisi ini melahirkan ketidaknyamanan para pelaku yang mengawal perkembangan ilmu di bawah bayang-bayang penekanan. Akibatnya, tidak sedikit dari pihak kampus yang lebih memilih di zona aman ketimbang menghadapi risiko.
Mengingat Tradisi Keilmuan Klasik
Jika kita mengingat tradisi keilmuan masa lampau –keilmuan Islam misalnya, kita tidak akan asing lagi dengan nama Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Keduanya adalah simbol di mana keilmuan menjadi suatu hal yang tidak pernah mati. Melalui diskusi intelektual panjang sekaligus inklusif, keduanya saling menyahut sebuah gagasan dalam bentuk catatan abadi (buku/kitab).
Gagasan filsafat Ibnu Rusyd dikritik habis oleh Al-Ghazali, yang kemudian menginspirasi Al-Ghazali menuliskan karya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kritik terhadap filsafat). Pun, Ibnu Rusyd, membalas sebuah argumen dengan argumen –bukan sentimen. Ia membalas kritik tersebut dengan menuliskan buku yang berjudul Tahafut at-Tahafut (kritik terhadap kitab Tahafutnya Al-Ghazali).
Jauh sebelum itu, sikap inklusif para intelektual muslim terdahulu tercermin dalam statemen Imam As-Syafi’I, beliau berkata: “pandanganku benar bisa jadi salah, dan pandangan yang lain denganku salah bisa jadi benar.”
Pada mulanya –menukil dari buku Menuju Fiqih Baru (2020) karya Husein Muhammad, tradisi keilmuan pada periode awal Islam, tidak mewajibkan taklid buta yang mengikat terhadap individu tertentu kecuali kepada Nabi sang peletak aturan Islam. Tradisi yang berkembang pada saat itu adalah taklid mutlak, di mana seseorang memiliki kebebasan dalam mengikuti mazhab tertentu yang diakui.
Ini menandakan bahwa Islam pada generasi awal memiliki inklusivitas tinggi dalam mendialogkan suatu gagasan keilmuan. Justru ketika tradisi keilmuan dibatasi, diskusi dibungkam, dan hanya membenarkan tafsir tunggal, hal ini seakan mereduksi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Tradisi serupa juga dapat kita jumpai dalam lanskap kesejarahan intelektual di Indonesia. Kita dapat mengenal Nurcholish Madjid yang menggagas Teologi Islam Inklusif, Kuntowijoyo dengan Sastra Profetiknya, Mahbub Djunaidi yang menjadi salah satu pendiri organisasi ekstra kampus, Syafi’ii Ma’arif dengan Islam Moderatnya, Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islamnya, Harun Nasution dengan Rasionalismenya, dan masih banyak cendekiawan Indonesia lainnya. Mereka semua bersinergi keras dalam mendialogkan keilmuan di lingkungan kampus, pemikiran-pemikiran mereka tertuang abadi dalam majalah Prisma, Tempo, dan buku-buku.
Percetakan buku, seperti LKiS, Jurnal Tashwirul Afkar, Pustaka Salman (Bandung), Mizan (Bandung), Shalahuddin Press (Yogyakarta), dan organisasi-organisasi kampus, adalah bukti abadi yang lahir dari tradisi intelektual mereka, tradisi yang lahir dari kesadaran akan pentingnya kebebasan intelektual di lingkungan kampus dan kebebasan berekspresi bagi penghuninya.
Dengan melihat kembali tradisi keilmuan Islam dan Indonesia, setidaknya kita telah menemukan model inklusif—diskursus kritis dalam ruang intelektual pada masa lampau.
Mengembalikan Fitrah Kampus
Itulah tradisi keilmuan, inklusif dan terbuka, menjawab persoalan, menemukan fakta, dan dijawab lagi. Sebaliknya, menutup diri dan menolak pandangan lain dalam objektifitas keilmuan bukanlah tradisi yang memberikan perkembangan sebuah ilmu. Sebab, Menurut Dhaniel Dhakidae dalam esainya yang berjudul Iklim, ilmu dan Kekuasaan yang terbit di Majalah Prisma pada tahun 2010, menyatakan:
“Tidak ada suatu ilmu yang mengejar suatu kepastian, tetapi memecahkan soal dari pertanyaan masyarakat dalam suatu rentetan tanpa putus antara pertanyaan dan jawaban yang melahirkan lagi pertanyaan dan jawaban baru.”
Artinya, fungsi sebuah ilmu apapun itu, tidak memberikan suatu kepastian, namun memecahkan persoalan yang melahirkan pertanyaan dan jawaban baru, dan ini tentu saja harus didialogkan secara intensif di atas meja diskusi, dan kampus yang menjadi wadah untuk berjalannya tradisi keilmuan harus dikembalikan pada watak asalnya, terbuka dan inklusif –selagi tidak melanggar etika keilmuan.
Dari sini kita dapat merefleksikan insiden yang terjadi di kampus Manado. Jika cengkraman intoleransi akademik terus meningkat, kita harus bertanya: apakah kita akan terus membuta tuli dengan kenyamanan atau bangkit untuk kembali menghidupkan tradisi intelektual yang kritis?