Menelisik Wetonan dan Jenang Sengkolo

21,318 kali dibaca

Bagi orang Jawa, weton bukanlah hal yang luar biasa. Weton juga dianggap sangat sakral karena dalam laku keseharian orang Jawa sering didasarkan pada weton, dan bahkan menjadi tradisi yang setiap individu mengetahui. Weton sendiri adalah hari kelahiran manusia menurut penanggalan Jawa. Secara mudah, weton  dapat diketahui dari hari kelahiran dan pasaran. Sebagai contoh, saya lahir pada tanggal 13 Agustus tahun xxxx. Saat tanggal 13 Agustus itu bertepatan di hari Sabtu Wage. Sabtu Wage itulah weton saya.

Banyak orang yang salah kaprah ketika membicarakan mengenai penanggalan Jawa dan weton. Sebenarnya, jika ditelusuri secara logis dan dianalisa secara empiris, tidak ada hal yang perlu disangkutpautkan dengan klenik atau apa pun. Karena, penanggalan dalam suatu suku merupakan sebuah sistem yang terlahir dari manusia. Tidak ada perbedaan fungsi umum antara penanggalan Jawa dengan penanggalan Masehi. Hanya, penanggalan-penanggalan yang terlahir dari sistem kebudayaan daerah kita biasanya lebih akurat, dan bukan lebih “kolot”.

Advertisements

Biasanya, jika kita masih menggunakan dan mengikuti penanggalan Jawa akan dianggap kolot. Padahal, tentu saja para leluhur kita dahulu sudah dengan susah payah menuangkan usaha pikiran dan mendonasikan waktu-waktunya untuk membuat sebuah sistem kolektif penanggalan ini. Tidak hanya untuk menandai waktu, namun penanggalan kita juga sudah bisa menandai sifat manusia dan pergerakan alam yang jelas sudah teruji selama ribuan tahun. Hanya saat ini, ketika kita kembali kepada sistem itu, maka akan dianggap klenik, syirik, dan lain-lain.

Pernahkah kita mendengar dari orangtua atau sesepuh saat membicarakan tentang weton. Bahkan terkadang orangtua saya dapat mengetahui sifat dari weton. Saya yang weton-nya adalah Sabtu Wage, kata ibu saya orangnya tak keras alias tidak keras kepala. Ibu saya pernah berujar bahwa adik saya sifatnya keras kepala, lantas ibu menyangkutpautkan dengan weton-nya, “Yo pantes ae weton e pancen….”

Tentu secara ilmiah tidaklah bisa diberi justifikasi sebagai suatu kesimpulan. Namun, dalam kehidupan masyarakat, setiap orang bisa dilihat karakter umumnya dari weton.

***

Satu hal lagi dari Jawa yang membuat saya merasa bahwa perilaku kebudayaan ini sangatlah istimewa adalah WetonanWetonan berarti merayakan hari lahir, berbeda dengan ulang ahun. Keakuratan waktunya justru lebih spesifik Wetonan. Jika pada ulang tahun, yang dirayakan adalah tanggal dan bulan kelahiran (bukan tahunnya, eh tapi namanya ulang tahun), pada Wetonan  yang dirayakan justru hari dan pasaran saat kelahiran.

Loh, bagaimana itu?

Tentu saja kita harus mengetahui filosofi di balik Wetonan itu sendiri. Sebenarnya, makna Wetonan bukanlah hanya sebagai perayaan, namun ia adalah pengingat dan penanda sebuah kelahiran. Oleh karena itu, biasanya setiap Wetonan ditandai dengan membuat jenang sengkolo atau bubur abang.

Wetonan adalah penanda mengenai kelahiran. Karena ia adalah penanda, maka tentu saja ada makna di baliknya. Maknanya adalah sebagai pengingat bahwa sebagai manusia kita ini dilahirkan, dari yang semula tidak ada menjadi ada. Weton adalah penanda bahwa kehidupan mempunyai masa, maka dari itu kita selalu diingatkan dengan Wetonan yang datangnya tidak setahun sekali, namun sebulan sekali. Wetonan adalah sebuah pengingat kehidupan, dan dalam kehidupan akan selalu ada syukur sebelum kematian. Dan rasa syukur itu ditandai dengan adanya Wetonan, yang biasanya diaplikasikan dengan cara membagikan jenang sengkolo minimal untuk tetangga-tetangga dekat kita.

Memang jika saya pikir-pikir, Jawa ini penuh dengan filosofi. Banyak sekali simbol-simbol yang hidup di belakang definisi. Setelah makna Wetonan sudah kita bahas, maka sekarang mari kita menemukan makna jenang sengkolo.

Kebanyakan orang Jawa pasti pernah dan hafal dengan apa yang disebut jenang sengkolo atau  bubur abang. Jenang sengkolo yang terbuat dari beras yang dicampur dengan gula aren dan santan ini menjadi kuliner yang lekat dengan tradisi suku Jawa. Bahkan, kurang afdhol rasanya jika ada suatu tradisi selametan yang tidak menghadirkan jenang sengkolo.

Rasanya, jenang sengkolo menjadi kunci dari banyak tradisi di Jawa. Sebagai contoh, biasanya  jenang sengkolo ini hadir dalam selametan bersih desa, wetonan, ritual panen, dan masih banyak yang lainnya. Saya pernah berbincang dengan orang yang sudah disepuhkan, bahwasannya jenang sengkolo ini adalah induk atau inti dari segala macam ubo rampe atau sesaji. Sebenarnya apa makna jenang sengkolo menurut masyarakat Jawa?

Biasanya, saat merayakan Wetonan, orangtua kita menyajikan jenang sengkolo untuk kemudian diberi doa dan dibagikan ke tetangga-tetangga terdekat. Jenang sengkolo dan Wetonan  merupakan sebuah kesatuan makna yang tak bisa dilepaskan. Jenang sengkolo mempunyai makna sebagai proses kelahiran manusia di muka bumi. Bubur sengkolo yang berwarna merah diibaratkan sebagai indung telur, sementara bubur putih yang diisyaratkan sebagai sperma. Dengan demikian, bubur sengkolo mempunyai makna sebagai proses kelahiran dari orangtua.

Sebenarnya, ada banyak makna yang dapat didapat dari jenang sengkolo, namun karena kita sedang membahas mengenai Wetonan, maka tentu saja makna mengenai kelahiranlah yang dapat disandingkan.

Jika kita melihat betapa masyarakat Jawa menghargai sebuah kelahiran, tentu ada pesan yang mendalam di balik itu semua. Masyarakat Jawa percaya bahwa kelahiran adalah tanda kebesaran Tuhan yang harus dimaknai. Sedangkan, kelahiran merupakan sebuah perayaan dan pengingat bahwa kelahiran bukan hanya tentang “hidup”, namun ada tanggung jawab besar yang diemban. Dalam falsafah Jawa, ada dua dimensi yang harus dipenuhi atau setidaknya diusahakan selama hidup. Yang pertama adalah dimensi sosial, dan yang kedua adalah dimensi semesta. Kedua dimensi itu akan menciptakan jembatan menuju dimensi ketiga, yaitu dimensi Ketuhanan.

Untuk mencapai hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia membutuhkan dua proses yang baik juga. Berbuat baik kepada manusia, biasanya kita mengenal sebuah falsafah Urip Iku Urub atau Memayu Hayuning Bebrayan. Dalam konsep Islam pun, falsafah Jawa ini masih sesuai dengan dalil Khairunnass anfa’uhum linnaass. Dan, yang kedua berbuat baik kepada alam semesta, karena tentu kita hidup bukan tentang diri kita, namun semua komponen semesta juga hidup dan menyambung hingga ke Tuhan. Dalam istilah Jawa disebut Memayu Hayuning Bawana, sedangkan dalam konsep Islam, terminologi ini berarti rahmatan lil ‘alamin.

Karena peranan manusia yang besar itulah kita setiap bulan diingatkan melalui Wetonan; bahwa kita pernah terlahir di dunia ini bukan tanpa peranan dan tanggung jawab. Kita terlahir untuk misi yang besar. Semua peran serta misi itu tersirat dalam Wetonan dan jenang sengkolo.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan