Saat ini jilbab menjadi tren berbusana muslim milenial. Sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim, Indonesia dilukisakan seperti lautan jilbab. Sebab di manapun tempat dipenuhi dengan perempuan berjilbab. Bahkan tren cadar sudah masuk ke pusat-pusat kota untuk menunjukkan eksistensi dan identitas. Mengurangi persepsi negatif pelekatan label terorisme pada perempuan bercadar.
Kemudahan akses informasi digital mendorong adanya perubahan sosial-budaya, termasuk cara berpakaian. Jilbab menjelma menjadi pakaian “wajib” di dunia pendidikan dan pekerjaan. Padahal di masa pemerintah Orde Baru, sejarah jilbab pernah dilarang penggunaannya di sekolah negeri. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang seragam sekolah.
Namun ada fenomena menjamurnya perempuan berjilbab saat ini menciptakan kegelisahan baru tentang penodaan simbol (identitas) agama. Jilbab hanya dijadikan tren namun perilaku jauh dari nilai-nilai keagamaan. Di depan publik ingin tampil syari, sedangkan kebiasaannya sibuk bermaksiat. Bahkan banyak di antaranya yang tidak paham dan tidak menjalankan syariat agama.
Jilbab seharusnya menjadi pengingat seseorang untuk senantiasa berkata dan berperilaku sesuai ajaran agama. Sedangkan banyak yang tidak menyadari bahwa kelakuan selama ini adalah wujud penelanjangan diri sendiri. Mengumbar hawa nafsu, kemaksiatan prasangka buruk, dan bangga pamer kebencian di media sosial. Agama malah terkesan dijadikan alat untuk melegalkan penelanjangan pikir dan perilaku.
Bahkan banyak yang menuduh kesesatan mereka yang memutuskan untuk tidak berjilbab disertai sumpah serapah. Mereka lupa bahwa esensi menutup aurat bukan hanya tentang memakai jilbab dan dipamerkan di tempat-tempat umum.
Pamer Aurat
Substansi aurat adalah aturan pemilik kehidupan (Tuhan) tentang sebagian prinsip yang harus dijaga oleh makhluk-Nya. Dijaga itu bisa ditafsirkan juga dengan ditutupi. Jika seseorang menutupi aurat, itu berarti tidak tergantung kepada benar dan salah, atau baik dan buruk, apalagi indah dan jelek. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu terletak pada tindakan menutupinya. Bukan objek yang ditutupinya.