Meneladani Kemanusiaan KH Abdul Wazin Asal Cianjur

1,068 kali dibaca

KH Abdul Wazin adalah sosok ulama asal Kampung Duren, Desa Mulyasari, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Ia dikenal sebagai sosok kiai yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, persaudaraan, dan toleransi.

Abdul Wazin lahir pada tanggal 14 Mei 1932 dan wafat pada tanggal 14 Mei 2008. Beliau adalah kiai kampung yang karismatik dan sangat dihormati oleh banyak orang, terutama di wilayah Cianjur.

Advertisements

Secara garis keturunan, KH Abdul Wazin lahir dan besar di lingkungan pesantren salaf, khususnya di pesantren-pesantren tua di Cianjur. Perjalanannya dari pesantren ke pesantren tidak terlepas dari peran sang ayah, yaitu KH Mursalin yang selalu mendidik anaknya untuk mendalami ilmu agama dan menebarkan manfaat untuk umat manusia. 

Saya melakukan wawancara dengan salah satu anaknya, Kiai Ade Akhmad Hamid. Dalam wawancara diceritakan, bahwa nama Abdul Wazin bukanlah nama pemberian dari sang ayah. Namun, nama itu ia dapatkan ketika melaksanakan ibadah haji yang diberikan oleh seorang Syekh di Madinah. Nama asli KH Abdul Wazin adalah Raden Tarna Wijayakusuma, nama yang diberikan oleh KH Mursalin. 

KH Mursalin adalah seorang perantau dari daerah Kawasen, Banjarsari, Ciamis yang menuntut ilmu ke tanah Cianjur. Sesampainya di Cianjur, KH Mursalin berlabuh di Pondok Pesantren Gentur yang waktu itu disuh Syekh Mama Syatibi. Bahkan, salah satu anak dari Mama Gentur, yaitu Syekh Abdul Haq Nuh Gentur, diasuh oleh KH Mursalin.

Cerita yang disampai kyai Ade tersebut menjadi asal muasal kedekatan antara keluarga dari Pondok Pesantren Gentur dengan Keluarga KH Abdul Wazin. Sebab, sepeninggalnya KH Mursalin dan Mama Syatibi Gentur, tali silaturahmi itu dilanjutkan oleh kedua putra dari dua keluarga tersebut, yaitu KH Abdul Wazin dan Syekh Mama Abdul Haq Nuh Gentur. 

Setelah 17 tahun menimba ilmu di pesantren, KH Mursalin mendirikan pondok pesantren sendiri yang bernama Alhikmatujin, lalu diteruskan oleh KH Abdul Wazin. 

Cerita lain disampaikan oleh Ujang, salah satu santri KH Abdul Wazin yang sudah cukup lama menimba ilmu di sana, bahkan dari zaman KH Mursalin. 

Menurut cerita yang beredar, desa Mulyasari, tempat KH Abdul Wazin bermukim dan mendirikan pondok pesantren, ketika itu adalah desa yang gelap, keji, kriminal, hitam, dan orang-orang menyebutkan sebagai desa “Edan”. 

Pada tahun 1988, kasus pembunuhan seperti hal yang sangat biasa di desa tersebut. Bahkan, melihat mayat tergantung di pohon atau tergeletak di sawah adalah hal yang lumrah. Namun, dengan sikap tegas dan berani dari KH Abdul Wazin, kejahatan-kejahatan tersebut perlahan mulai menghilang. Bahkan, KH Abdul Wazin dengan perjuangannya berhasil membawa listrik masuk ke desa Mulyasari dengan gerakan-gerakan politik yang beliau bangun.

Tanpa pandang bulu, KH Abdul Wazin selalu membuka pintu rumahnya untuk siapapun, mulai dari pelaku pembunuhan pada zaman “Edan” tersebut, hingga keluarga korban pembunuhan. Tak sedikit orang yang berhasil beliau damaikan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat itu. 

Hal lain yang disampaikan oleh Ujang adalah cara KH Abdul Wazin menjamu setiap orang yang datang ke rumahnya. Bahkan, orang dengan gangguan jiwa yang datang ke rumahnya dengan membawa kotak makanan berisi cacing tanah dan daun, pun selalu diterima oleh KH Abdul Wazin. Bahkan, KH Abdul Wazin selalu menerima dan memberikan orang dengan gangguan jiwa tersebut makanan yang lebih layak. Bahkan, cacing tanah dan daun yang ia terima, tidak pernah dibuang begitu saja. Beliau selalu memberikannya pada bebek yang dipelihara agar makanan tersebut tidak sia-sia.

Kebaikan, kemanusiaan, tidak membeda-bedakan, adalah pelajaran lain yang Ujang dapatkan selama mukim di Pondok Pesantren asuhan KH Abdul Wazin.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang sosok kiai kampung yang memiliki jiwa persatuan dan persaudaraan ini, saya bertemu dengan Kiai Do’a, putra kelima dari KH Abdul Wazin dan bertanya riwayat pendidikan KH Abdul Wazin.

Menurut Kiai Do’a, KH Abdul Wazin tidak pernah menempuh pendidikan formal. Semua waktu dan umurnya dihabiskan untuk belajar ilmu agama. Di antara pesantren-pesantren tempat menimba ilmu KH Abdul Wazin adalah Pondok Pesantren Gentur pada zaman Syekh Abdul Haq Nuh, Pondok Pesantren Gelar Cianjur Asuhan Mama KH Zen Abdussomad, Pondok Pesantren CIbaregbeg Cianjur asuhan Syekh Abdul Qadir, dan pesantren-pesantren lain di wilayah Cianjur dan sekitarnya.

Selain itu, menurut Kiai Do’a, KH Abdul Wazin turut aktif dalam pembangunan desa untuk mengupayakan hal-hal masyarakat di desa Mulyasari. Seperti masuknya listrik, pembangunan jalan raya, hingga pertanian sawah dan pohon jati untuk memberdayakan ekonomi masyarakat setempat.

Sepeninggalnya KH Abdul Wazin, Pondok Pesantren Alhikmatujin kini berganti nama menjadi Pondok Pesantren At-Tawassul yang diasuh oleh anak-anaknya, yaitu Kiai Abah Sepuh, Kiai Do’a, Kiai Yasin, Kiai Aang, dan Kiai Ade. 

Setelah melakukan penelusuran dan wawancara, saya menyempatkan untuk datang ke makam KH Abdul Wazin bin KH Mursalin bin Raden Ganda, yang lokasinya tidak jauh dari pondok pesantren.  Di sana, setelah mendengar semua kisah perjuangan KH Abdul Wazin dalam menuntut ilmu, memperjuangkan hak rakyat, persatuan, kemanuasian hingga politik, saya menjadi bersemangat untuk menceritakan kembali kisah-kisah itu.

Melalui tulisan ini, kisah perjuangan kiai kampung, seperti KH Abdul Wazin, harus menjadi pedoman kita dan generasi selanjutnya dalam bertindak dan menebarkan manfaat dan kebaikan. Kisah-kisah ini tidak boleh padam, bahwa desa yang selalu dianggap sebelah mata, ternyata memiliki cerita perjuangannya sendiri. 

Dan pada akhirnya, kita harus menemukan kebaruan perspektif dalam melihat Indonesia, yang biasa kita lihat hanya lewat kacamata Jakarta. 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan