Menapaki Atsar Bisri Effendy

468 kali dibaca

Kendati tanggal 17 Agustus diperingati sebagai perayaan hari Kemerdekaan Indonesia dan hari jadi jejaring duniasantri (JDS)—sebagaimana saya telah uraikan pekan lalu (12/8/2023). Namun demikian, 17 Agustus bukanlah tanggal yang membahagiakan sepenuhnya. Sebab, di tanggal ini pula terdapat momen berkabung. Tiga tahun lalu (17/8/2020), Bisri Effendy, Ketua Dewan Pembina Yayasan jejaring duniasantri, wafat, kembali keharibaan Sang Pencipta.

Kabar duka ini, sebenarnya sangat mengagetkan. Banyak yang tidak menyangka dan tak percaya, khususnya keluarga jejaring duniasantri. Pasalnya, di siang harinya pukul 10.00-14.00 WIB, Bisri Effendy bersama pengurus JDS me-launching dua buku karya para santri; Tuhan Maha Rasis? dan Dan Sepatu pun Menertawakanku, dan melakukan pemotongan tumpeng, bentuk syukuran ulang tahun JDS. Pak bisri, begitu biasa dipanggil para pengurus JDS, kala itu kondisinya tampak bugar, wajahnya penuh sumringah, dan banyak senyum. Tak ada tanda apapun.

Advertisements

Apalah daya, Tuhan berkehendak lain. Pak Bisri, setelah rangkaian acara itu, dijemput oleh malaikat Izrail dan berpulang ke rahmatullah. Peribahasa “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, orang mati meninggalkan nama”, betul adanya. Rekam jejak kontribusi Bisri Effendy begitu banyak dan kentara. Siapa sangka, hingga usia yang terbilang sepuh, alih-alih istirahat menikmati masanya, ia tetap produktif mengembangkan gerakan literasi (intelektual).

Bersama empat rekan lainnya; Zastrouw Ngatawi, Cak Tarno (Founder Cak Tarno Institut/CTI), Mukhlisin, dan Daniel K, Bisry Effendi mendirikan Yayasan bernama jejaring duniasantri. Di sini, ia banyak menularkan ilmunya. Ada dalam bentuk tulisan, hingga mengartikulasikan saat jadi pembicara pendidikan dan latihan (diklat) kepenulisan kalangan santri. Pak Bisri juga dengan penuh kerelaan menawarkan lantai dua rumahnya, yang bercat merah, untuk dijadikan sekretariat JDS (hlm. 170).

Sejak muda, Pak Bisri memainkan peran sebagai peneliti yang menggeluti diskursus keagamaan dan kebudayaan—terutama kebudayaan orang-orang yang terpinggirkan. Ia juga tampil sebagai mentor, khususnya bagi yang berlatar pendidikan pesantren, banyak memberi pemahaman bagaimana melakukan penelitian dengan pendekatan ilmu sosial kritis. Hingga kemudian, lulusan Leiden University, Netherlands ini mendapat penyematan sebagai guru riset bagi banyak anak muda Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam buku yang berjudul Agama, Kebudayaan, dan Rekonsiliasi: Obituari Bisri Effendy, para penulis menyatakan pandangan kesamaan bahwa pribadi Bisri Effendy adalah sosok guru. Kontribusinya telah menularkan gagasan (keilmuan) kritik dan studi kebudayaan (cultural studies).

Terhitung sejak 2002, melalui program kegiatan Desantara Institute bertajuk Madrasah Emansipatoris (ME), ia gencar mentransmisikan ilmunya. ME adalah paket belajar kolaboratif yang berkonsen Trilogi Kritik Wacana, yaitu Kritik Wacana Agama (KWA), Kritik Wacana Gender (KWG), dan Kritik Wacana Kebudayaan (KWK). Kegiatan itu dibentuk dengan menghadirkan anak-anak muda potensial dari berbagai pelosok penjuru negeri, agar ikut serta, memiliki kemauan dan komitmen kuat untuk selama berhari-hari membaca, belajar, dan berdiskusi.

Miftahus Surur, salah satu alumni ‘santri’ Desantara Institute, menilai bahwa yang tak pernah menguap dari beliau ialah kesabaran. Pak Bisri merupakan sosok yang dengan kesabarannya tak pernah menyulutkan rasa marah atas ke-dungu-an atau ke-cethek-an pengetahuan kami, para santri, dalam ‘belajar’ etnografi, membaca setiap fenomena kebudayaan (hlm 136).

Murdianto An Nawie, yang juga salah satu alumni ‘santri’, memberi penilaian agak berbeda. Ia banyak belajar tentang kesederhanaan dan keegaliteran. Nasihat yang selalu membekas yaitu, peneliti, penulis, dan para aktivis tak boleh merasa lebih hebat, unggul dari sahabat-sahabat pelaku kebudayaan, seniman tradisi dan kaum terpinggir lainnya. Pak Bisri menggarisbawahi, sejatinya kita hanya sedang membangun ‘persahabatan yang tulus’ dengan berbagai komunitas (hlm 178).

Di setiap ruang kelas, Pak Bisri secara rinci memapaparkan konsep riset. Dia menyoroti bahwa riset yang komprehensif bisa dilakukan secara alamiah (learning by doing), dirumuskan dan dielaborasi secara berjamaah dengan perspektif sesuai minat periset masing-masing; perspektif kebudayaan, sejarah, kesenian, tradisi, ritual, keagamaan, gender, dan lainnya. Poin terpenting dalam gelanggang riset, para anak didik/periset untuk merdeka, menjaga keseimbangan antara subjek-objek. Prinsip ke-kita-an benar-benar harus ditampilkan.

Kepada semua ‘santri’, dan jejaring mitra kelembagaan Desantara, Pak Bisri selalu menekankan, pentingnya etnografi atau penelitian yang memihak pada komunitas-komunitas marjinal yang diteliti. Ia mengajak untuk tidak hanya meneliti komunitas lokal, tetapi juga membela kepentingannya. Penelitian yang dilakukan harus bisa menunjukkan suara kepentingan komunitas tersebut supaya nyaring terdengar di ruang publik, entah dengan media apapun. Tujuannya, agar mereka tetap bisa survive dan menghilangkan tindak diskriminasi secara berkelanjutan.

Menurut Pak Bisri, kebudayaan yang humanis di segala bidang mempunyai potensi besar melakukan perubahan. Pria kelahiran Jember, 12 Maret 1953 ini mendorong dunia yang digeluti oleh para jurnalis, intelektual, peneliti, dosen, termasuk para aktivis dan mahasiswa (mahasantri) untuk mulai menciptakan dinamisasi perubahan. Karenanya, semua pihak-pihak yang konsen dalam bidang penulisan itu mesti berani menulis tentang sesuatu yang berbeda.

“Kalau menulis tentang hal yang biasa atau penulis tidak berani menulis tentang sesuatu yang berbeda, ya tidak akan ada perubahan” demikian kata Pak Bisri (hlm 186). Bagi Pak Bisri, jiwa-jiwa pembaharu dibutuhkan bangsa ini untuk menapaki perubahan ke arah yang lebih baik mencukupi hajat rakyat banyak. Salah satu yang bisa dijadikan teladan adalah sosok KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Walaupun laku Gus Dur tidak banyak dipahami oleh sejumlah kalangan, bagi Pak Bisri, Gus Dur adalah tokoh yang tepat sebagai mercusuar dan teladan generasi mendatang. Ia memiliki hal baru bernuansa transformatif, visioner, dan berkebudayaan.

Akhir kata, Bisri Effendy adalah intelektual kebangsaan. Ia bukan hanya pemikir, tetapi juga pembela dan penggerak kebudayaan. Meskipun untuk melanjutkan gagasan Pak Bisri itu bukanlah pekerjaan yang ringan, tetapi perlu terus dicoba dan dilakukan, bukan?. Semoga kita bisa mengkhidmati ketulusan pengabdian dan pengetahuanmu.

Lahul fatihah.

Data Buku

Judul Buku: Agama, Kebudayaan, dan Rekonsiliasi: Obituari Bisri Effendy
Penulis: Mohamad Sobary dkk
Penerbit: Desantara
Tahun Terbit: Agustus 2021
Tebal: 252 halaman

Multi-Page

Tinggalkan Balasan