Bagaimana Kita Merayakan “4th duniasantri”

483 kali dibaca

Dalam hitungan jari, kita akan menyambut kedatangan hari sarat makna dan bersejarah pada 17 Agustus. Jamak diketahui, tanggal 17 Agustus adalah momentum peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Andaikata dilakukan riset scope internal warga duniasantri, bentuknya sebuah angket pertanyaan tentang tanggal 17 Agustus, mereka mesti memiliki pemahaman bahwa 17 Agustus itu ya bentuk perayaan ulang tahun Indonesia. That’s it.

Apabila jawaban yang mereka lontarkan, misal, justru berbanding terbalik, artinya mayoritas responden bilang, “17 Agustus bukan hanya tanggal peringatan ulang tahun Indonesia saja”. Maaf, untuk hal ini saya skeptis.

Advertisements

Di sini saya bukan sedang mempersoalkan hal tersebut sebagai suatu kekeliruan. Bukan. Bagaimanapun, memupuk rasa nasionalisme dan jiwa patriotisme sejak kecil sangat penting. Saya hanya ingin memberi informasi lain bahwa, dalam waktu yang bersamaan, di tanggal 17 Agustus, ada entitas baru lahir, yakni jejaring duniasantri (JDS). Tepatnya, 17 Agustus 2019. Itu artinya, setiap 17 Agustus, selain perayaan hari Kemerdekaan RI, juga merupakan peringatan hari jadi JDS.

Tahun lalu, perayaan ulang tahun (ultah) ke-3 JDS ke3 menampilkan pertunjukan bertajuk “Monolog Negeri Sarung” di Gedung Makara Art Center (MAC) Universitas Indonesia (UI). Acara ini berlangsung meriah dan mewah. Panitia mengemas dengan cara unik, meninggalkan pesan begitu mendalam. Ada monolog, tawashow, painting live performance, puisi, dan musik (Ki Ageng Ganjur). Pertunjukkan ini dihadiri oleh Ibu Sinta Nuriyah (istri Gus Dur), KH Said Aqil Siradj, Wakil Ketua DPR RI Rachmad Gobel, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud, dan Inaya Wahid (Putri ke-4 Gus Dur), yang sekaligus jadi pengisi monolog.

Tahun-tahun sebelumnya, di setiap hari jadi JDS, para pengurus juga selalu mengadakan perayaan. Di ultah ke-2, pengurus JDS hanya melakukan tumpengan, karena kala itu dalam situasi pandemi Covid. Yang pertama (ultah ke-1), perayaannya berbentuk penerbitan dua buku buah karya para santri Nusantara. Dua buku tersebut berjudul, Tuhan Maha Rasis? dan Dan Sepatu pun Menertawakanmu.

Kita bisa melihat, bentuk setiap perayaan ultah JDS selalu mengalami peningkatan. Masing-masing menyesuaikan kondisi dan konteks. Di tahun pertama, launching buku itu seperti sebagai tanda identitas dan media mengenalkan jejaring duniasantri ke khalayak luas. Tahun kedua, karena dirundung pandemi, alhasil bersepakat untuk tumpengan, sederhana namun tetap sakral. Dan di tahun ketiga, setelah situasi normal, pengurus melakukan gebrakan besar dengan membuat perayaan yang megah, wah, dan berkualitas.

Sebentar lagi 17 Agustus 2023, tapi konsep perayaan ultah JDS belum terlihat hilalnya. Akan seperti apa, dan dengan bentuk yang bagaimana. Bayangan saya, dulu, semarak JDS di tahun ke-4 mesti bakal lebih spektakuler lagi. Karena, pertama, dari tahun ke tahun unsur perayaannya selalu meningkat —bisa dilihat dari dedahan di atas.

Kedua, di awal tahun 2023, pengurus JDS mengadakan silaturahmi dengan beberapa institusi/kelompok masyarakat dan tokoh masyarakat. Dimulai dari sowan ke Pondok Pesantren Ekonomi Darul Uchwah Sawangan, Depok, Jawa Barat, asuhan KH Marsudi Syuhud, pertemuan dengan perangkat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, hingga Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).

Namun, adanya tulisan ini (8/8/2023), merupakan sinyal jawaban berkaitan ultah JDS. Ya, JDS mencoba istikamah dan independen. Setiap sponsor atau semua yang ingin kerja sama, menggelontorkan uang, benar-benar dikurasi secara ketat. JDS memiliki pendirian, jangan sampai hanya karena ingin pendanaan sehat lantas menghalalkan segala cara, termasuk melibatkan diri pada politik praktis.

Misalnya, beberapa bulan silam, ada seseorang yang mengajukan proposal ke jejaring duniasantri. Ia mengajukan penawaran mengenai kesediaannya membantu pengembangan duniasantri di bidang literasi. Namun, setelah didalami ternyata motifnya bau-bau politik, karena terpampang ada sosok tokoh bakal calon presiden. Karena itu, kerja sama itu tidak terjadi.

Dari sini sudah kelihatan, sepertinya perayaan ultah JDS ke-4 bakal diadakan secara lebih sederhana. Menimbang segi bujet dan sumber daya lainnya. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada rilisan resmi bentuknya seperti apa. Karena itu, izinkan saya memberi usulan terkait bentuk perayaan tersebut.

Saya menginginkan pengurus dunisantri tetap melibatkan warga duniasantri dalam perayaannya, dalam hal ini sebagai penonton (yang menjadi saksi). Di atas telah dijelaskan, ultah JDS jatuh bersamaan dengan hari Kemerdekaan Indonesia. Sependek pemikiran saya, bagaimana kalau dua itu diintegrasikan ke dalam satu rangkaian acara, misal tajuk, “Tasyakuran Hari Jadi Indonesia dan jejaring duniasantri”. Ini yang sangat mungkin dan make sense.

Acara itu bisa dibuat secara full daring via zoom/video conference lain. Atau, bila dinilai tidak efektif, dilakukan secara hybrid; ada yang datang secara langsung dan daring. Untuk warga duniasatri daerah Jabodetabek bisa datang langsung ke tempat acara, sedangkan warga yang jauh dapat melalui zoom/video conference lain yang disediakan. Tempat acara bisa dilakukan di sekretariat JDS ataupun sesuai kesepakatan pengurus.

Mungkin yang menjadi persoalan, bagaimana menjadikan peserta untuk khidmat dari awal hingga akhir, tidak ada yang out atau tidak hadir. Sejatinya, ini yang menjadi tantangan tatkala mengadakan acara, terlebih lagi via daring. Dalam hal ini bisa disiasati, misal, pengurus menginformasikan kinerja dan program yang tertunda selepas acara itu bakal cair. Bagi yang daring, syaratnya harus mengikuti seluruh rangkaian acara, dan screenshoot setiap 30 menit sebagai bukti. Bagi luring, cukup tanda tangan saat registrasi dan selesai acara.

Bagaimana jika warga dunisantri berhalangan? Mereka bisa memberitahu pengurus JDS bahwa dirinya tidak bisa hormat acara karena bertabrakan dengan jadwal mengaji (misal). Maka dari itu, pentingnya para pengurus menetapkan tanggal perayaan yang sekiranya ramah terhadap semua kalangan. Pastinya jangan di jam malam, karena semua yang masih nyantri otomatis tidak bisa hadir, ada kegiatan mengaji di pondoknya.

Adapun skema rundown acara, bentuknya bisa semacam talkshow (1 moderator dan 1 pemateri/beberapa pemateri), menjelaskan Kemerdekaan Indonesia dan jejaring duniasantri itu sendiri. Setelah pemaparan itu selesai, rangkaian puncaknya berupa pemotongan tumpeng. Tumpengan ini sebagai lambang rasa syukur dan berdoa supaya jalan kedepan bisa lebih baik, serta diridai.

Itulah usulan (singkat) dari saya sebagai bentuk urun rembuk untuk perayaan ultah ke-4 JDS tahun ini, barangkali bisa menjadi bahan pertimbangan. Bagaimana pendapat warga duniasantri, ada usulan lain?

Multi-Page

One Reply to “Bagaimana Kita Merayakan “4th duniasantri””

Tinggalkan Balasan