Menafsir al-Quran dengan Semantik

1,523 kali dibaca

Dalam menafsirkan al-Quran, terdapat beberapa pendekatan yang ditempuh oleh seorang penafsir atau mufasir. Pendekatan diperlukan untuk mendapatkan substansi yang tepat dari makna yang dimaksud oleh suatu ayat. Salah satunya adalah pendekatan semantik.

Semantik, secara bahasa, merupakan istilah yang berasal dari Yunani. Semantik setidaknya diambil dari tiga dasar kata, yakni semantikos (memaknai), semainein (mengartikan), sema (tanda) (Benton, 1963, p. 313). Secara umum, semantik diartikan sebagai metode dalam rangka penyelidikan terhadap suatu makna. Interaksi kajiannya meliputi koneksitas antar-kata, simbol dengan konsep gagasan, dan juga alur kontinuitas dari pemakaian suatu istilah.

Advertisements

Dalam ranah penafsiran al-Quran, semantik merupakan suatu langkah metodologis untuk  mengungkap istilah, makna, dan konsep dari al-Quran. Yakni, dengan menelaah latar belakang historisitas yang terjadi, dinamika penggunaan suatu istilah, hingga konstruksi ide mengenai istilah tertentu (Azima, 2017, p. 45).

Langkah-langkah yang termuat dalam perspektif ini diharapkan akan dapat menemui visi Qurani yang tersirat (Izutsu, 1997, p. 3). Pendekatan semantik pada al-Quran mengedepankan perspektif sosio-linguistik untuk menilik dinamika konstruksi konsep pola pikir dalam suatu istilah.

Menilik rangkaian historisnya, awalnya para ulama masa klasik hingga pertengahan cenderung menggunakan corak metode penafsiran yang sama. Misalnya, maudhu’i, bil ma’tsur, bil ra’yi, sufi, ilmiy, dan sebagainya. Namun, seiring perkembangan zaman, hingga masa kontemporer, muncul pendekatan baru dalam melihat aspek pemaknaan dan penafsiran al-Quran, yakni metode kebahasaan (Azima, 2017, p. 46).

Semantik sendiri identik dengan balaghah dalam Bahasa Arab, karena sama-sama berkutat pada topik pemaknaan istilah makna murni dan makna korelasi. Akan tetapi, kekhasan semantik adalah lebih menilik aspek historis sebagai komponen penemuan maknanya (Izutsu, 1997, p. 3).

Akan tetapi, nyatanya metode semantik itu sendiri sudah hadir sejak masa klasik, walaupun masih belum secara kompleks menjawab metodologi keilmuannya secara independen. Era klasik dalam hal ini, seperti yang dikategorikan oleh Profesor Harun Nasution, adalah kurun waktu masa Nabi hingga tahun 1250 M (Santosa, 2016, pp. 79–80). Beberapa inisiator dalam pola penafsiran semantik di masa awal adalah Mujahid bin Jabir (w. 104 H) dalam penafsirannya terhadap makna dasar dan relasional (Setiawan, 2005, p. 138).

Selain itu, ada Ibn Juraij (w. 150 H) yang mengklasifikasikan makna relasi yang terbawa oleh makna dasar pada suatu ayat. Ibn Juraij juga menguraikan pentingnya konteks historis suatu aspek kebahasaan. Karena, manurutnya, perkembangan zaman akan membawa pergeseran juga terhadap kata-kata tertentu (Azima, 2017, pp. 54–56).

Pada tahap yang lebih maju, hegemoni semantik terus berlanjut hingga pada masa Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Harun bin Musa (w. 170 H), Yahya bin Salam (w. 200 H), al Jahiz (w. 868 M), Ibn Qutaibah (w. 889 M), al Jurjani (w. 392 H/ 1001 M) (Setiawan, 2005, pp. 172–177).

Di antara tokoh-tokoh yang menggunakan perspektif hermeneutik linguistik pada masa kontemporer adalah Bintu Syathi’, M Syahrur (w. 2019 M), Amin al Khulliy, Fazlur Rahman (w. 1988 M), dan Nashr Hamid Abu Zaid (w. 2010 M). Sedangkan, yang secara intens dan serius dalam memperkenalkan metode semantik historis kebahasaan al-Quran adalah Toshihiko Izutsu (w. 1993 M) dalam bukunya God and Man in the Koran: Semantics of The Koranic Weltanschauung.

Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, Allah ketika menurunkan firman-Nya (al-Quran) telah mengkonsepsi untuk mewahyukan dengan bahasa sesuai dengan subjek penerimanya. Hal ini karena bahasa adalah komponen penting dalam membentuk peradaban (Abu Zayd, 2002, p. 19).

Kemudian, M Syahrur juga memaparkan bahwa aspek bahasa menjadi peranti yang ampuh untuk menyampaikan wahyu dengan segala distorsi historis yang jauh dari masa Nabi dengan masa sekarang (Mubarok et al., 2007, p. 206). Sementara, menurut Amin al Khulliy, dalam memahami aspek kebahasan al-Quran, harus ditelisik dinamika dan pergeseran makna terhadap suatu istilah. Karena, dengan mengetahui perubahan ini, akan menghasilkan buah kajian berupa temuan konsep yang signifikan terhadap masanya (Yusron, 2006, p. 18).

Komponen yang ada dalam semantik al-Quran terdiri atas definisi, review sejarah penggunaan istilah dalam kultur budaya (Arab) dan al-Quran, mencari koneksitas antara istilah yang berkaitan dan mengungkap makna dan relevansi terhadap konsep yang ada.

Secara lebih spesifik, langkah metodologi penelitian secara semantik meliputi, pertama, menentukan kata yang akan diobservasi (kata fokus dan kata kunci) kandungan makna serta konsep yang ada di dalamnya (Izutsu, 1997, pp. 17–22).

Kedua, mengungkap makna yang murni dan makna relasi (kata fokus) yang berkaitan. Makna murni dapat digali dari kamus Arab yang membahas kata-kata dalam al-Quran. Sedangkan, makna relasi dapat ditelaah dari interaksi sintagmatis antar-kata dalam bidang semantic (Izutsu, 1997, pp. 10–16).

Ketiga, mencari data kesejarahan serta keterkaitan dengan makna kata yang akan diobservasi  (Azima, 2017, pp. 52–53), yaitu sebuah langkah yang memuat ikhtiar terhadap bukti-bukti sejarah seputar ayat yang akan dibahas. Upaya ini dapat ditemukan dalam berbagai literatur, seperti dalam asbabun nuzul, tarikh, dan sebagainya.

Keempat, memeras argumen yang ditawarkan al-Quran kepada pembaca (umat) sebagai dasar dan dalalah bagi membentuk sebuah pola paradigma dan signifikansi berupa praktik dalam kehidupan.

Kehadiran perspektif ini bukan tanpa diselingi dinamika argumentasi, yakni pro dan kontra. Metode semantik sendiri jarang dipakai dalam tafsir kontemporer karena dirasa terlalu spesifik atas pemaknaan kata-kata dalam al-Quran. Sehingga, kajian ini akan melahirkan sebuah riset yang panjang kepada pembaca. Akan tetapi, masih ada juga yang menggunakan pola perspektif ini pada corak tafsirnya (Azima, 2017, p. 46).

Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, konsep wacana linguistik sering terdikotomi dalam cakupan metodologi penafsiran al-Quran. Baginya, peranti linguistik serta realitas kondisi ketika itu, akan memunculkan objektivitas teks (Abu Zayd, 2002, p. 114). Namun, penggunaan aspek linguistik yang hanya berpijak pada kemampuan pengetahuan dan akal, akan menjerumuskan seorang pengkaji atau penafsir. Terbukti, pada kasus yang dialami para ahli kalam ketika menginterpretasikan ayat dengan hanya mengandalkan aspek majaz (metafora) dalam analisisnya (Susfita, 2015, p. 73).

Dalam hal ini, penulis menyikapi perbedaan di antara para pakar terhadap lintas perspektif yang dipakai dalam ranah penafsiran al-Quran. Menurut hemat penulis, berbagai perspektif yang ada adalah sebuah representasi bahwa penafsiran al-Quran dapat dicapai dengan berbagai metode dan pola pikir. Hal ini membuktikan bahwa kompleksitas al-Quran menuntut premis yang melimpah untuk menguraikan substansi ke-rahmat-annya. Realitas inilah yang sekiranya menguatkan bahwa al-Quran tidak akan habis untuk dikuak sebagai kalam Tuhan yang tinggi derajat kesusastraannya.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan