Memoar Hutan Nirwana

1,066 kali dibaca

Daun-daun berlucutan meninggalkan pohon. Semula, dahan-dahan perkasa menyimpan teduh. Tempat para burung titipkan cericit pada sulur arunika. Tempat purnama menjatuhkan seberkas sinar. Membuka tabir rahasia alam yang selama ini meraja. Dahan, ranting, dan daun turut bercahaya menyibak tirai kegelapan. Tapi kini, batang penopang kering kerontang. Akar penunjang mengering seiring kemarau yang memanjang.

Selamat datang, Nirwana. Dulu, orang bilang tanah ini tanah surga. Hamparan hutan ialah istana. Lagi-lagi harus kukatakan, itu dulu, Nirwana. Permai yang dahulu damai, kini telah lenyap. Akan kuceritakan padamu perihal tanah surga yang mengelam ini.

Advertisements

Pagi tadi, gumpalan awan menggelayut menguluk salam. Gerimis menetes jenuh. Lamat-lamat ia merajuk.

“Mana kekasihku yang dulu permai?” tanyanya.

Tidak ada yang menyahut. Siangnya, deras hujan menimpa bumi. Sehari pun tiada henti. Tanah basah mengeluh. Mereka telah melenguh pasrah. Di dalam retakannya, doa-doa lirih tersimpan. Rintihannya sampai ke langit. Kalau pun tetes hujan mampu menghempas tanah gersang, apakah rekahannya mampu menghalau air hujan?

Manusia masih saja beradu tanya dan tunjuk salah. Daku, dikau, tuan, ataukah puan? Ikrar menari dalam kelakar. Senyum jumawa turut berpongah dalam kerah-kerah berdasi. Lelucon dunia berpesta pora. Panggung sandiwara mulai dipertontonkan. Mereka asyik memasang poster. Di jalanan, gedung-gedung, kafe, dan deretan warung kelontong. Mereka sibuk berorasi. Menyampaikan aspirasi tujuannya.

“Jangan merusak paru-paru bumi,” katanya.

Mereka merasa tahu segalanya. Padahal, selalu menutup mata di kala musibah datang. Mereka akan mengelola alam dengan bijak. Lagi-lagi itu hanya katanya, Nirwana, katanya. Lalu nyatanya?

Nirwana, berjalanlah ke lembah di ujung sana. Bisakah kau temui kungkang atau gerombolan bekantan? Bawalah ke hadapanku, Nirwana. Atau kau hanya akan menemukannya sepuluh tahun mendatang di museum kota.

Tuan … puan … semua gila cuan. Mengambil celah nikmat, tapi lupa dengan amanat. Manusia-manusia itu pemuja dunia, Nirwana. Datanglah pagi hari. Maka kau hanya akan mendengar suara gergaji mesin parau bak orkestra yang tak enak didengar. Lalu, sorenya kau akan mendapati pohon meranti yang batangnya sebesar lingkaran tangan dua orang dewasa sudah lenyap tinggal serpihannya.

Masih betah, Nirwana? Baiklah, akan kuselesaikan.

Di seberang sana, laki-laki setengah baya sedang berjalan. Kulitnya lusuh nan dekil. Langkahnya gontai dan pelan. Tiada menghias senyuman di wajahnya. Ada apa gerangan? Tangan kanannya memegang cangkul kecil dan tangan kirinya menenteng kantung plastik hitam. Sorot matanya sayu melihat sekeliling. Sepertinya dia orang baru di sini. Sebab, biasanya manusia datang dengan membawa kapak atau pun gergaji mesin. Insinyur Marwoto namanya. Orang yang kerap mendatangi bukit, lalu memerintahkan anak buahnya untuk menggoroh pohon dengan bengis.

Namun, laki-laki yang baru saja datang, sepertinya bukan anak buah Insinyur Marwoto. Laki-laki itu tidak menyalakan gergaji mesin. Tetapi, ia membersihkan alang-alang, lalu menugal tanah dengan cangkul kecilnya. Ia membuat lubang di beberapa tempat. Apa kau pikir dia sedang membuat lubang bor untuk mengeruk perut bumi, Nirwana? Oh, tentu bukan. Laki-laki itu hanya melubangi tanah sekian sentimeter. Lantas ia mengeluarkan isi dalam keresek-nya. Semacam biji kecil seukuran ujung jari orang dewasa. Ia memasukkan satu per satu ke dalam lubang, lalu menutupinya dengan tanah kembali. Laki-laki itu terus melakukan hal yang sama sampai lubang-lubang yang ia buat terisi oleh biji-bijian.

Esoknya, laki-laki itu datang kembali masih dengan tujuan yang sama: menebar biji ke dalam tanah. Separo bukit ia sebari benih. Manakala hujan kembali datang, tunas-tunas baru akan menghijaukan bukit. Setidaknya ini lebih baik, daripada membiarkan seonggok bukit yang rapuh ditelanjangi.

Tiga bulan berlalu, tunas-tunas mulai tumbuh. Di kaki bukit sedang menggelar acara. Pejabat-pejabat dari kabupaten sedang mengadakan upacara pemberian penghargaan kepada penyelamat lingkungan. Riuh warga desa turut memeriahkan acara yang sekaligus diisi dengan pagelaran kuda lumping. Orang yang diberi penghargaan tersebut adalah Insinyur Marwoto, pimpinan perusahaan penghasil kayu plywood dan decking, yang kerjanya menebangi pohon di hutan-hutan.

Sandiwara apalagi ini? Gemerisik rumput mengaduh. Ia tahu, suara risikan rumput yang terinjak tak akan pernah sampai pada ruang-ruang kedap suara. Kalau pun ucapannya benar, hanya akan terdengar tidak lebih sebagai ratap belas kasihan.

Kapankah manusia sadar akan tingkah pongahnya? Sedikit peka dan menafsir keadaan di sekitarnya? Apakah menunggu kisah mengakhir dan menjelma menjadi legenda? Perihal hijau yang mengelam. Perihal kelam yang mencekam. Pedih, sesak, segala ternistakan. Kini, hilanglah sudah syair-syair merdu simfoni alam, berupa paduan suara fauna yang saling bersahutan di malam hari.

Sedang laki-laki yang menebar benih tempo lalu, hanya bisa mengulas senyum. Laki-laki itu tak butuh trofi. Ia tak butuh namanya tersemat sebagai penerima penghargaan penyelamat lingkungan. Sebab, rimbunnya bukit dan harmoni berupa cericit burung di pagi hari, lebih ia rindukan daripada seonggok piala. Senyumnya masih tersungging tipis. Kabar baiknya, bumi akan segera pulih. Namun, kabar buruknya, butuh ratusan tahun untuk itu.

Agustus 2021.

ilustrasi: paperbola.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan