Memetakan Potensi Konflik Antarumat Beragama

1,969 kali dibaca

Pada momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 tahun lalu, ada pesan krusial yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, yaitu jangan ada lagi politik identitas dan jangan ada lagi politisasi agama. Amanat kenegaraan itu terasa begitu riil di era saat ini. Suka atau tidak, adalah fakta bahwa kehadiran agama di ruang publik dan segala bidang masyarakat memicu kebisingan hingga konflik antarumat beragama.

Jika kita merujuk pada semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya konflik antarumat beragama tidak separah sekarang. Pasalnya secara historis, waktu perumusan dasar negara, Indonesia dihadapkan pada tiga pilihan; apakah Indonesia akan menjadi negara sosialis, negara agama, atau negara kebangsaan yang netral agama.

Advertisements

Kesepakatan seluruh elemen bangsa ketika itu adalah memilih nasionalisme yang netral agama. Konsep nasionalisme ini menyepakati dasar negara, yaitu Pancasila sebagai perpaduan dari ide-ide besar seperti pemikiran barat, nilai-nilai ajaran Islam, dan pemikiran yang berakar dari budaya bangsa Indonesia.

Bernard Dahm, sejarawan kelahiran Jerman dalam bukunya yang berjudul The Struggle for Indonesian Independence, menyebutkan bahwa pemilihan nasionalisme netral agama sebagai hogere optrekking menjadi titik pertemuan berbagai ideologi yang saling bertentangan, dipadukan di dalam ideologi negara, yaitu Pancasila.

Dengan demikian, hal tersebut mengindikasikan perjalanan historis dasar negara Pancasila kurang dipahami secara utuh oleh masyarakat. Selain itu, implementasi sila-sila dalam Pancasila masih hanya sebatas teori dan belum maksimal dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat beragama dan bernegara.

Hal itu terbukti dengan tingkat kerawanan konflik antarumat beragama di Indonesia setiap hari semakin meningkat bahkan cenderung mengkhawatirkan keharmonisan, keutuhan, persatuan, toleransi antarumat beragama. Hal ini dapat kita lihat pada Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga dipertebal lagi di era Pilpres 2019. Apalagi di era teknologi, secara terang-terangan konflik agama membuat keributan dengan beragam aneka tafsir yang kadang bertentangan dengan prinsip kenegaraan. Sebut saja tafsir agama dengan klaim kebenaran sepihak yang tidak lain adalah kelompok konservatif dan radikal.

Realitas seperti ini dapat kita petakan. Paling tidak ada beberapa sebab mengapa konflik identitas hingga antarumat beragama sering terjadi. Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental masing-masing komunitas agama.

Indonesia memiliki pasar spiritual tersebar di segala penjuru dan menyebar dengan beragam dogmatisme dan ajaran-ajaran spiritual. Mereka saling mencari jemaah dan menunjukkan eksistensinya dengan cara masing-masing. Ada yang secara moderat hingga secara diam-diam unsur radikal menelusup dalam masyarakat.

Perbedaan doktrin yang berujung pada polarisasi umat beragama menyebabkan dogmatisme kelompok yang maunya memegang teguh spiritualisme agama dengan menerjemahkan agama secara literal. Tujuannya adalah menjaga kemurnian agama dengan gerakan purifikasi. Contohnya adalah gerakan kembali ke masa nabi.

Munculnya banyak komunitas agama mendorong peluang terbukanya arena kritik. Hal tersebut dikarenakan hampir setiap umat beragama melakukan kritik terhadap ajaran agama sebelumnya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, dan memberikan penilaian atas agama lain. Kondisi demikian membuat agama yang dianggap sakral, rawan untuk dibentur-benturkan. Inilah mengapa konflik antarumat beragama hingga kini masih sering terjadi.

Kedua, perbedaan latar belakang kesukuan dan ras pemeluk agama. Problematika identitas dan lingkup historis pemeluk agama kerap menjadi pendorong terciptanya konflik di masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan filsuf asal India Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence yang menyebutkan bahwa salah satu tantangan terberat abad modern salah satunya ialah mengelola keragaman identitas. Amartya menjelaskan bahwa di era modern tidak lantas benar-benar mencairkan perbedaan budaya dan agama. Itulah menagapa persoalan identitas masih menjadi persoalan serius yang semakin kompleks dan sulit untuk diselesaikan.

Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Banyak di antara kita menaruh kepercayaan terhadap tingkat kebudayaan yang sama atau lebih tinggi dari yang kita miliki. Adanya stratifikasi kebudayaan memicu munculnya kelas kebudayaan yang tinggi dan rendah. Jika tingkatan lebih tinggi maka dapat diterima daripada budaya yang lebih rendah, padahal tinggi rendahnya budaya belum tentu baik dan hanya orang-orang di dalam kebudayaan itu yang tahu.

Pemikiran seperti ini perlu dikoreksi. Kebudayaan yang ada di Indonesia adalah investasi bangsa yang harus dijaga kelestaraiannya. Kita harusnya bangga diberi anugerah Tuhan dengan segala keunikan dan kekhasan masing-masing budaya.

Keempat, ketidakseimbangan relasi kuasa antara mayoritas dan minoritas. Kita tidak bisa membuang fakta bahwa dalam lingkup politik kekuasaan dalam struktur negara terjadi ketimpangan dan masih dibeda-bedakan. Jelas ini jauh dari kata cita-cita negara yaitu terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Pesan Presiden Soekarno yang paling dikenang yaitu, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Pesan Bung Karno tersebut begitu nyata kita rasakan saat ini. Kesenjangan dan ketimpangan minoritas-mayoritas umat beragama selalu berujung konflik berkepanjangan. Bagaimana tidak? Dalam masalah pembangunan rumah ibadah saja masih sering dipersoalkan.

Itulah mengapa pendidikan bernegara dan multikultural melalui lembaga pendidikan formal hingga saat ini masih terus ditanamkan pada generasi muda. Kemudian, usaha Kementrian Agama melalui program moderasi beragama juga menjadi hal yang krusial untuk dapat diamalkan dan menyebar dalam lingkungan masyarakat. Sehingga pertanyaan seperti apa agamamu, apa sukumu, apa ideologimu tidak terdengar lagi dalam ruang pelayanan fasilitas masyarakat. Semua disamaratakan dalam pemenuhan hak-hak warga negara Indonesia.

Marilah kita memperkokoh solidaritas kebangsaan, yakni sebuah sikap dan cara pandang yang senantiasa menganggap diri kita sebagai bagian dari kelompok besar bernama bangsa Indonesia. Patut disadari bahwa membangun dan memperkokoh solidaritas kebangsaan bukanlah perkara mudah yang bisa dilakukan hanya dengan niat belaka. Butuh effort, toleransi, dan sikap terbuka yang setidaknya dapat memperkecil kerawanan konflik antarumat beragama. Agenda merawat kerukunan juga harus terus dikembangkan sehingga dapat terwujud penyelesaian konflik yang damai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan