Memetakan Moderasi Beragama ala NU

1,151 kali dibaca

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan dengan jumlah anggota terbanyak. Kurang lebih sebanyak 108 juta jiwa tergabung dalam NU. Jumlah tersebut menjadikannya sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia. Dengan nama besar NU tersebut, banyak orang menyandarkan harapan pada NU. Mereka berharap NU konsisten sebagai jami’iyah diniyah ijtima’iyah yang tidak melibatkan diri dalam kontestasi politik kekuasaan.

Selain itu, NU diharapkan bisa menjadi trendsetter pemikiran keislaman (Islam Nusantara) di tengah kian derasnya arus pemikiran transnasional yang mengancam kedaulatan hingga disintegrasi bangsa. NU juga diharapkan terus melipatgandakan usahanya untuk melakukan kerja pemberdayaan masyarakat, baik melalui bidang sosial, pendidikan, ekonomi, sains, dan teknologi.

Advertisements

Salah satu sepak terjang NU menghadapi ancaman derasnya konflik keberagaman adalah menerapkan konsep moderasi. Tidak dapat dibantah fakta bahwa NU sebagai salah satu pelopor Islam yang bervisi moderatisme, selalu mampu merajut persaudaraan antaretnis, suku, dan umat beragama. Dengan bergerak melalui celah-celah masyarakat kecil di desa, NU berupaya membangun kembali narasi moderasi beragama yang penting untuk ditanamkan oleh setiap masyarakat.

Mengacu dalam Al-Quran srah al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi: “Dan, begitu juga Kami jadikan kamu semua umat moderat.” Dalam banyak tafsir, ayat ini dijadikan landasan teologis untuk memiliki jiwa moderat.

Hal serupa juga disampaikan oleh Prof Quraish Shihab dalam buku Wasathiyah: Wawasan Islam tentang Moderasi. Prof. Quraish Shihab berpendapat bahwa moderat atau tengah-tengah sebagai posisi ideal dalam kehidupan. Sebagai posisi ideal, titik tengah tidak condong ke kanan maupun ke kiri. Dalam kehidupan sehari-hari diimplementasikan melalui sikap adil. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada mereka yang berhak

Konsep moderasi beragama ala Nu dapat dilihat di beberapa aspek. Pertama, dalam bidang teologi. NU mengikuti teologi Asy’ariyah yang dalam ajaranya menggabungkan dimensi ikhtiar dan tawakkal yang dalam istilah lain disebut kasb (usaha). Hakikatnya manusia sebagai makhluk yang lemah, diwajibkan atas dirinya berdoa sebagai bentuk penghambaan, dan berusaha sebagai wujud selayaknya manusia biasa. Dalam usahanya manusia tidak boleh memastikan keberhasilannya kareana hanya Allah-lah Sang Otoritas tunggal.

Kedua, dalam bidang syariat. NU mengikuti salah satu dari empat imam masyhur mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Keempat imam mazhab ini menjadi pijakan NU dalam memutuskan suatu perkara hukum. Mereka dalam memutuskan suatu hukum sangat berhati-hati dan menggunakan akal dan wahyu sekaligus. Hal ini dapat kita lihat dari sumber hukum yang menggabungkan keduanya, yaitu Al-Quran, Hadis, Ijma, Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan, Saddudz Dzari’ah, dan al-‘Urf. Sumber hukum inilah yang membuat NU dinamis, responsif, dan solutif menyikapi perkembangan zaman.

Ketiga, dalam bidang tasawuf. NU mengikuti salah satu dari dua imam, yaitu Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Kedua ajarannya digabungkan NU dalam dimensi tasawuf. Imam al-Ghazali mempunyai pemikiran uzalah (menyendiri dari manusia) dan musyarahah (berinteraksi). Pemikiran Imam al-Ghazali ini memberikan pelajaran bahwa manusia dianjurkan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks mencari ilmu, menyebbarkan ilmu, serta menegakkan kebenaran. Selain itu, manusia juga dianjurkan menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui ibadah-ibadah yang dijalankannya. Tasawuf ajaran Imam al-Ghazali memberikan hikmah supaya manusia tidak terlarut dam godaan dunia.

Keempat, dalam bidang muamalah (sosial ekonomi). Bidang ini sangat menonjol di NU sehingga kita dapat belajar dan mengambil hikmah atas apa yang dilakukan NU. Dalam bidang ini, NU menerapkan prinsip-prinsip utama dalam muamalah seperti tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan taqaddum (progresif). Dalam bidang muamalah ini, banyak pemikiran ulama NU yang muncul dan sangat brilian. Sebut saja KH Achmad Shiddiq yang mempunyai trilogi ukhuwah (ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah). Trilogi ini membuktikan tingginya toleransi yang dijunjung dalam NU.

Kemudian, salah satu ulama NU, KH MA Sahal Mahfudh, juga memberikan pemikiran yang dapat dicontoh dalam menggerakan pemberdayaan ekonomi, yang kemudian disebut fikih sosial. Fikih sosial tidak hanya bersifat teoretis saja, tetapi juga praktis-emansipatoris. Artinya adalah, fikih sosial memandang keterbelakangan ekonomi, kesehatan dan lingkungan, diubah menjadi kesejahteraan dan lingkungan yang asri. Wujud nyatanya dapat kita lihat pada pembangunan BPPM, rumah sakit, dan perguruan tinggi.

Kelima, dalam bidang politik. Dalam bidang ini, NU memosisikan diri sebagai kekuatan masyarakat madani yang memperjuangkan politik kebangsaan yang berorientasi pada tercipatanya kedamaian adil dan makmur. NU menghindari politik praktis yang berorientasi kepada kekuasaan formal. Pilihan politik kebangsaan NU ini mampu menyeimbangkan kondisi politik nasional yang feodal, primodialistik, dan paternalistik.

Keenam, dalam bidang dakwah. Dalam bidang ini, NU menyeimbangkan dakwah bil maqal (ceramah) dan dakwah bil hal (aksi nyata). Dakwah adalah mengajak orang lain menuju jalan yang diridai Allah Swt baik secara lisan atau perilaku. Dakwah secara ceramah masih sangat dominan di NU. Namun, dakwah bil hal juga terus dikembangkan melalui ruang sosial budaya. Para ulama NU memosisikan diri sebagai teladan yang menjadi cermin umat dalam berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan menghadapi persoalan di masyarakat. Moralitas yang luhur dan penyadaran berbasis nurani adalah prioritas dakwah yang dilakukan NU.

Ketujuh, dalam bidang pendidikan. NU mampu memadukan pendidikan formal dan nonformal. NU mempunyai ribuan institusi pendidikan pesantren yang terafiliasi oleh NU. Di pesantren, para santri belajar akhlak dan ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan dilembaga pendidikan formal, para santri belajar ilmu dan teknologi. Keduanya sangat dibutuhkan oleh santri dalam menghadapi perubahan zaman. Menjadi orang yang pintar dan benar adalah syarat mutlak kesuksesan. Sehingga ketika para santri ketika sudah terjun dalam masyarakat, mampu memberikan kemanfaatan dan menjadi contoh suri teladan.

Ketujuh aspek tersebut menunjukkan moderasi yang dilakukan NU sangat luar biasa, baik dalam takaran pemikiran maupun gerakan riil di lapangan. Hal ini penting kita tiru dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berkaca pada fakta di lapangan, bahwa banyaknya persoalan yang disebabkan oleh perbedaan tafsir hingga pandangan, membuat moderasi beragama penting kedudukannya menghadapi masyarakat majemuk.

Masyarakat perlu tahu bahwa moderasi beragama adalah cara kita, umat beragama, menjaga kerukunan dan kedamaian Indonesia. Sehingga ketujuh aspek yang dilakukan NU bisa menghadirkan Islam yang damai, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang mampu membawa kemajuan dan kebahagiaan lahir batin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan