Membaca Ulang Fikih Pesantren: dari Tradisionalis ke Kontekstualis

43 views

Sentuhan disiplin fikih dalam kelindan pesantren merupakan suatu keniscayaan. Bisa dikatakan hampir seluruh pesantren di Indonesia, dari yang bercorak tradisional hingga modern, tidak terlepas dari sentuhan disiplin ilmu yang satu ini, yaitu fikih.

Namun sejauh mana fikih pesantren itu diterima dan dipahami oleh para pelajarnya. KH Husein Muhammad dalam bukunya, Islam Tradisional Yang Terus Bergerak (2019) mengungkapkan, “Kajian fiqh cenderung dipahami sebagai produk pemikiran, bukan sebagai hasil dari proses pemikiran yang dinamis yang tengah merespon perkembangan pada zamannya.”

Advertisements

Konsekuensi logisnya, pemahaman demikian dapat menjadikan fikih lebih bersifat statis, ketimbang dinamis. Sementara itu, perkembangan zaman membutuhkan respons darinya guna memastikan atas ketetapan hukumnya.

Selanjutnya, Kiai Husein mengatakan, “Sebab hanya sebuah apologia belaka jika semua persoalan masyarakat sudah termaktub jawabannya dalam kitab kuning.”

Artinya, pada kenyataan yang ada, kitab kuning cenderung dipahami secara dogmatis, yang tidak boleh dipersoalkan dan dianggap sudah menjawab semua persoalan kapan pun itu. Diakui atau tidak, hal seperti ini akan melahirkan sakralitas tersendiri pada hasil alih-alih proses pemikiran yang sedinamis itu, kendati itu sudah tidak lagi relevan pada masa kini dan di sini.

Sebut saja, persoalan ekonomi, seperti perbankan, reksadana, atau asuransi yang memang begitu riskan untuk dijelaskan hukumnya ketika hanya dengan merujuk secara verbalis pada teks-teks terdahulu. Begitu juga persoalan mutakhir yang ditemukan dalam bidang kesehatan, seperti ganja untuk pelayanan medis.

Kenyataan demikian telah melahirkan anggapan, bahwa secara luas fikih tradisionalis dianggap belum bisa menggapai cita-cita modern. Terlebih, hal demikian pernah disampaikan oleh bapak sosiologi dunia, Max Weber, yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak memiliki alasan dan sistematisasi, dan tidak cukup berkembang (Fauzi, 2025).

Sehingga, hal yang perlu diketengahkan dalam menerima pemahaman teks terdahulu, adalah dengan mencoba mengetahui langkah dan metodelogi (thoriqotu al-istidlal) ulama terdahulu dalam menetapkan hukum sebuah persoalan. Kenapa dan bagaimana bisa terjadi rumusan fikih yang seperti itu? Adalah sebuah instrumen menumbuhsuburkan tradisi intelektual umat, di sisi lain pertanyaan demikian telah menghidupkan sebuah teks di tempus dan lokus yang berbeda.

Membaca Dalil Qath’iyyah dan Dzanniyah

Dalil qath’iyyah dan dzanniyah merupakan dua sifat dalil yang dijadikan sumber dari ajaran Islam. Dalil qath’iyyah adalah sumber ajaran yang tidak bisa digugat. Sebab, hal ini menyangkut masalah keyakinan (akidah), amaliyah (untuk sebagian), dan kaidah umum. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an atau hadis yang bersifat qath’iyyah (pasti) ini, tidak memberikan ruang diskusi dan kritik. Sebab ia ditujukan untuk suatu persoalan yang maslahat dalam keselarasan, seperti keyakinan terhadap Tuhan dan hal-hal yang metafisis lainnya, seperti hari akhir, surga, dan neraka.

Sementara, dalil dzanniyyah merupakan sumber yang memberikan ruang diskusi bagi setiap mujtahid untuk memahami ruh dan cita-citanya. Dalil dzanniyah kebanyakan menyoal persoalan amaliyah, perbuatan manusia, kendati pun terdapat sebagian persoalan amaliyah yang sifatnya qoth’iyy, seperti bilangan rekaat salat dan waktunya.

Fikih yang dipahami sebagai ilmu yang membahas hukum syariat yang bersifat amali yang lahir dari dalil-dalilnya yang terperinci, merupakan ruang yang dapat didiskusikan guna merespons persoalan-persoalan baru yang lahir dari desakan modernitas. Di sisi lain, fikih juga merupakan hasil dari proses pemikiran tokoh dalam merespons masalah di zamannya.

Sehingga, dapat dipahami secara fungsional bahwa fikih adalah ajaran agama yang berinteraksi dengan kehidupan masyarakat, persoalan-persoalan sosial dapat diketahui ketetapan hukumnya melalui rumpun ilmu ini dalam kitab-kitab klasik.

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan ketetapan hukum yang sudah ada mengalami perubahan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Keputusan hukum dalam kitab klasik mungkin relevan pada masanya, namun apakah sama ketika ia diimplementasikan pada masa kini dan di sini.

Relevansi fikih, selain dilihat dari sumbernya yang kuat, ia juga dilihat dari sisi maslahat dan madharatnya. Sebut saja, ganja yang diharamkan pada masa lalu, karena ia memiliki sisi madharat yang sama dengan khamr yang hukumnya secara jelas ditetapkan oleh nash. Namun, penemuan mutakhir yang membeberkan fakta atas ganja yang dapat memenuhi pelayanan medis, hukumnya bisa berbeda dengan ganja pada masa lalu, dengan menimbang kemaslahatannya dalam ranah medis.

Tentu saja perubahan hukum yang ada tiada lain untuk memberikan kemaslahatan terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan kaidah umum yang berbunyi, Ad-diinu Yusrun Wa Rof’u al-Haraj, agama itu mudah dan menghilangkan kesulitan.

Jika dalil qath’iyyah dan dzanniyyah dipahami secara proporsional, kita akan menemukan relevansi akidah dan fikih secara fungsionalnya, bahwa keduanya berbeda. Dari sini fikih yang inklusif lahir untuk mencapai sebuah cita-cita modern.

Kontekstualisasi Fikih 

Dengan keterangan yang tersemat di atas, dapat kita pahami bahwa fikih berbeda dengan akidah yang sifatnya pakem dan statis (at-tsawabit). Fikih lebih bersifat yang kategorinya sewaktu-waktu dapat berubah hukumnya (al-mutaghayyirot). Artinya, akidah menempati porsinya yang tetap, sementara fikih ditempatkan pada wacana dan realitas yang terus bergerak sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Untuk menjadikan fikih sebagai jawaban yang senantiasa relevan dalam menjawab persoalan zaman, analisis terhadap teks-teks yang sudah ada merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat kita hindari. KH Husein Muhammad dalam bukunya, Memahami Cita-Cita Agama (2024), memberikan cara untuk menganalisis teks-teks terdahulu yang berbeda latar belakangnya dengan masa sekarang.

Ada beberapa pendekatan untuk memahami sebuah cita-cita dari teks-teks tersebut. Pertama, pendekatan Bahasa (siyaqu al-lughowi). Contoh, dalam merumuskan hukum terhadap pelaku bullying, kita harus merumuskannya terlebih dahulu apa definisi bullying itu sendiri. Sebab, tidak semuanya yang menyakitkan dapat dikatakan sebuah kejahatan, melainkan tindakan demikian sebagiannya dijadikan sebagai sarana dalam penegakkan hukum syari, seperti cambuk, rajam, dan semisalnya.

Kedua, pendekatan sosio-historis (siyaqu zhuruf wa ahwalu al-ijtima’iyyah). Setiap hukum yang ada tidak mungkin lahir dari ruang hampa, sehingga pendekatan ini tidak bisa terlepas dalam proses menetapkan sebuah hukum.

Ketiga, pendekatan kebudayaan (siyaqu al-madani). Sebut saja, pembatasan ruang gerak perempuan dalam ranah publik, ia lahir dari kebudayaan patriarki. Sehingga kebudayaan yang berbeda akan melahirkan hukum yang berbeda juga.

Ketiga cara tersebut dapat kita jadikan pisau analisis dalam memahami maksud dan cita-cita teks keagamaan, guna hukum yang lahir darinya senantiasa relevan: bisa beradaptasi dan memberikan solusi terhadap masyarakat banyak. Dengan demikian, pesantren yang dikenal dengan corak fikihnya dapat mengawal ferak arus perubahan zaman. Wallahu A’lam Bi Showwab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan