Membaca Spirit Literasi dalam Al-Qur’an

1,070 kali dibaca

Pada zaman pra-Islam, mayoritas penduduk bangsa Arab tidaklah mengenal baca-tulis alias ummi. Mereka mengandalkan hafalan mereka yang kuat, sehingga merasa tidak perlu lagi untuk menulis dan membaca. Lebih parah lagi, seseorang yang bisa baca-tulis dianggap lemah daya ingatnya sehingga kemampuan baca-tulis dianggap sebagai aib.

Alkisah, penyair Arab yang bernama Zurrumah meminta kepada seseorang yang mendapatinya sedang menulis, untuk tidak memberitahukan kepada orang lain tentang kemampuan menulisnya. Ia berkata, sesungguhnya kemampuan baca-tulis di kalangan kami adalah aib.

Advertisements

Rasulullah Saw juga menggambarkan keadaan masyarakat Arab pada waktu itu. Beliau mengucapkan, “Kami adalah umat yang ummi, yang tidak pandai menulis dan tidak pandai berhitung.” (HR Bukhori).

Hingga turunlah ayat Al-Qur’an yang pertama kali kepada baginda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq : 1-5).

Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun berisikan perintah untuk membaca. Ini mengindikasikan akan pentingnya peran literasi atau membaca pada kehidupan manusia. Dengan membaca, manusia bisa mengakses berbagai informasi dan pengetahuan yang akan menambah wawasan dan pengetahuannya akan hal-hal baru ataupun peninggalan-peniggalan lama yang ditulis generasi sebelumnya.

Dalam perintah membaca ini, tidak disebutkan maf’ul-nya (obyeknya) sehingga menunjukkan akan keumumanya. Jadi, tidak ada batasan atas apa yang dibaca, karena memang kita dianjurkan untuk membaca apa saja yang bisa memberikan bermanfaat bagi kita. Namun, ayat بِاسْمِ رَبِّكَ memberi panduan pada kita bahwa harus selektif dalam mengakses informasi, yaitu yang positif dan bisa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

Tidak hanya membaca, Al-Qur’an juga mengingatkan akan pentingnya menulis, yaitu yang diisyarahkan dengan ayat yang artinya, “Yang mengajar dengan pena.” Karena memang baca dan tulis adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan tulisan, suatu ilmu ataupun gagasan bisa disampaikan secara detail dari pada lewat ungkapan kata. Dan tentunya jangkauan tulisan lebih luas karena bisa diakses oleh orang yang bahkan tidak hidup sejaman dengan si penulis.

Hal semacam ini belum disadari oleh bangsa Arab kala itu sehingga tak ayal bangsa Arab menjadi bangsa yang tertinggal dari bangsa lainnya. Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul yang kepadanya diturunkan Al-Qur’an menjadi pelopor utama dalam mengembangkan gagasan Al-Qur’an ini.

Nabi bersabda; إذا سمعتَ شيئا فاكتبه ولو في الحائط
Artinya: “Jika engkau mendengar sesuatu (dari ilmu) maka tulislah walaupun di atas tembok.” (HR. Khaitsamah dalam Al-Ilmu no. 146).

Nabi juga bersabda; قيدوا العلم بالكتاب
Artinya: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. At-Thabarani).

Tak tanggung-tanggung, tercatat pula bahwa Nabi Muhammad Saw juga memberi putusan bagi tawanan perang Badar yang tidak memiliki harta yang cukup untuk menebus dirinya, bisa mengajar sepuluh anak-anak muslim baca-tulis sebagi tebusan kebebasannya. Ini karena Nabi paham betul akan pentingnya baca-tulis yang mana menjadi embrio akan lahirnya tradisi intelektualitas dalam suatu bangsa.

Dengan demikian, kesadaran baca-tulis adalah tonggak reformasi dalam menuju dunia pendidikan yang lebih selektif. Dan ketika kesadaran intelektualitas suatu bangsa telah terbangun maka cepat atau lambat bangsa itu akan berevolusi sebagai bangsa yang maju.

Untuk merealisasikan cita-cita besar itu, Al-Qur’an memberikan apresiasi tinggi bagi para ilmuan Islam dengan menempatkannya pada maqam (martabat) yang tinggi, sehingga menambah semangat umat Islam dalam masalah keilmuan. Allah SWT berfirman;

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Artinya: “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah : 11).

Al-Qur’an juga telah mengisyaratkan akan ketiadaan batas pada ilmu pengetahuan, sehingga menggerakkan para Intelektual muslim untuk melahirkan teori-teori baru yang berguna bagi umat manusia. Allah SWT berfirman;

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Al-Luqman : 27).

Sedikit demi sedikit, mulailah terbangun antusiasme umat Islam dalam dunia pendidikan, dimulai dengan menulis Al-Qur’an, hadis, sejarah kehidupan Nabi, hingga hukum-hukum Islam. Sehingga mengantarkan bangsa Arab yang dulunya bangsa yang ummi (buta huruf) berasimilasi menjadi pusat peradaban keilmuan dunia.

Munculnya Dar Al-Hikmah pada masa Kholifah Al-Ma’mun (813-830 M) di kota Baghdad sebagai akademisi ilmu pengetahuan pertama di muka bumi yang sekaligus menjadi pusat penelitian, pengembangan, dan perpustakaan telah menjadi bukti nyata akan pernyataan ini. Dan sebelum Baghdad dihancurkan, telah banyak ilmuan Eropa yang menyerap ilmu di sana seperti Michael Scot (1175-1235), Roger Bacon (1220-1292 M), dan lain-lain.

Sejarah mencatat hampir tujuh abad lamanya, mulai 750 hingga 1500 M, Islam mulai menapaki sejarah dan berhasil mencapai kejayaan baik dalam politik, ekonomi, dan juga ilmu pengetahuan. Dalam rentang waktu itu, lahir ratusan ilmuan muslim yang melahirkan beragam teori yang kelak mengilhami kemunculan Renaissance di Eropa. Di antara sederet nama Ilmuan muslim yang mendunia adalah Jabih Ibn Hayyan (721-815 H) ahli ilmu kimia, al-Khawarizmi (780-850 H) ahli matematika, Ibn Sina (980-1037 H) pakar kedokteran, dan al-Biruni (973-1048 H) pakar fisika.

Ini tidak lepas dari peran Al-Qur’an sebagai kitab dari langit yang isi pesannya sangat membumi. Al-Qur’an adalah panduan hidup umat Islam yang di dalamnya telah terhimpun pesan-pesan langsung dari Tuhan kepada umat manusia. Sehingga selayaknya bagi kita umat Islam harus sadar dengan imbauan-imbauan Al-Qur’an ini dan menjadikannya rujukan utama pada setiap permasalahan dalam meraungi kehidupan. Hingga kita dapat mencapai kemajuan seperti halnya para pendahulu kita.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan