Membaca Proses Kenabian dan Kerasulan Muhammad (7-habis)

1,565 kali dibaca

Tulisan ini, bagian terakhir, amat menentukan, sebab akan mengungkapkan bagaimana seorang manusia biasa akhirnya paripurna menjadi nabi dan rasul. Perlu direnungkan secara mendalam dan diambil pelajaran lewat momen-momen, detik-detik, di mana Muhammad mengalami proses perubahan tersebut. Momen yang sangat menegangkan dan mencekam, momen yang mengubah sejarah kehidupan seorang manusia.

“Setelah mendengarkan berita yang langsung diceritakan oleh Rasulullah, dengan tenang Waraqah berkata, ‘Sungguh ini adalah berita gembira yang telah Allah sampaikan kepada Musa. Seandainya masih kuat, aku akan membantumu. Semoga aku panjang umur sehingga dapat bersamamu tatkala kaummu mengusirmu.’ Beliau bertanya, ‘Apakah mereka akan mengusirku?’ Kata Waraqah, ‘Ya, tak a a seorang pun yang mengemban tugas seperti yang telah dipercayakan kepadamu kecuali diperangi, dan jika masih hidup, aku berjanji akan mendukungmu sepenuhnya.’ Tetapi tak lama setelah itu, Waraqah meninggal, dan wahyu terputus.” (lanjutan hadis).

Advertisements

Lewat hadis tersebut, kita menjadi tahu bahwa Waraqah adalah orang pertama yang menenangkan Muhmmad, bahwa siapa yang datang kepadanya, apa yang terjadi padanya, apa yang diterimanya, bukanlah setan, jin, bukan mantra, dan bukan gangguan setan atau jin. Perlu dipahami, bahwa pada masa-masa sebelum kenabian dan kerasulan, masyarakat Arab sangat memercayai adanya jin dan setan. Sebagaimana diungkapkan dalam hadis, bahwa yang diterima Muhammad adalah berita gembira yang pernah disampaikan kepada Musa.

Beberapa riwayat mengungkapkan, apa yang datang kepada Muhammaad adalah namus. Perihal apa arti namus, para ahli sejarah berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Jibril, ada yang mengatakan bejana atau wadah pengetahuan. Namun, setelah ditelisik lebih dalam, kedua arti tersebut kurang tepat. Namus adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, bukan Ibrani, asal katanya “nomos”, maknanya undang-undang atau wahyu Tuhan kepada para nabi.

Namun, Imam Bukhari, sebagaimana tercantum dalam riwayat hadis tersebut, tidak menyebut istilah namus, dan apa yang diungkap dalam hadis tersebut lebih tepat dan lebih mendekati kebenaran.

Sejak pertemuannya dengan Waraqah, Muhammad mulai tahu bahwa yang diterima dan yang datang kepadanya adalah wahyu. Waraqah berperan penting dalam menenangkan hati Nabi Muhammad, tetapi pada saat yang sama juga menjadi pemicu kegelisahan Nabi Muhammad. Apa pasal? Setelah wahyu pertama turun, Muhammad telah resmi menjadi Nabi.

Namun, setelah pertemuan itu, Waraqah meninggal dan wahyu tak kunjung turun lagi dalam kurun waktu yang cukup lama. Sedangkan, Nabi Muhammad telah siap untuk menerima wahyu berikutnya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan waktu terputusnya wahyu, masa ini disebut masa fatrah. Ada yang mengatakan tiga hari sampai tiga tahun. Tiga hari tentu tidak masuk akal, dan tiga tahun pun tak masuk akal. Tiga hari terlalu sebentar dan tiga tahun terlalu lama.

Dikatakan, masa-masa itu, selama fatrah, adalah masa-masa paling getir dalam kehidupan Nabi Muhammad.

Ada banyak data yang menerangkan keadaan Nabi Muhammad selama masa fatrah. Salah satunya riwayat dari Abi al-Harits, Syuraih bin Yunus, dari Sufyan al-Tsauri, dari Ma’mar bin Rasyid, dari ibn Syihab al-Zuhri, ia berkata bahwa setelah wahyu pertama yang berisi ayat-ayat Iqra’, wahyu kemudian terputus, membuat beliau begitu sedih sehingga sering kali bermaksud menjatuhkan diri dari puncak gunung.

Namun, setiap kali ingin melakukannya, Jibril menampakkan diri dan menyapa beliau, “Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi.” Nabi sendiri yang menceritakan hal itu. Beliau berkata, “Suatu hari aku berjalan-jalan. Tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku di Gua Hira’, berada di antara langit dan bumi. Melihat itu, aku langsung jatuh terkulai karena ketakutan, dan segera kembali pulang, meminta Khadijah agar menyelimutiku.” Kata Khadijah, “Maka kami menyelimutinya. Lalu, Allah menurunkan surah al-Muddatstsir: ‘Wahai orang yang berselimut.”

Hadis ini memperkuat ungkapan dan logika sejarah, bahwa masa fatrah terjadi antara dua atau tiga minggu, maksimal satu bulan. Sederhananya, kita bisa membayangkan, bagaimana ketakutan yang didera beliau selama masa fatrah. Seorang manusia biasa yang bisa dikatakan “tiba-tiba” diangkat menjadi nabi, di mana kelebihan nabi adalah berita yang turun dari langit langsung diberikan kepadanya sebagai arah atau panduan bertindak atau berbuat, datangnya langsung dari Tuhan Sang Pencipta alam semesta, semacam komunikasi transenden, arahnya vertikal. Tiba-tiba komunikasi itu terputus, hilang, lenyap. Tentu, dan pasti, kebingungan dan kecemasan segera melanda, tak terbayangkan, sakit yang tak terperi.

“Apa yang harus aku lakukan setelah ini, aku harus bagaimana, apa yang harus kuperbuat…” Barangkali itulah pertanyaan-pertanyaan yang terlintas. Bahkan bermaksud menjatuhkan diri dari puncak gunung.

Bayangkan! Nabi Muhammad pernah bermaksud menjatuhkan diri dari puncak gunung. Bila digunakan bahasa sekarang, itu adalah bahasa atau ekspresi dari frustrasi.

Maka tak begitu benar, masa fatrah terjadi selama tiga hari, ini terlalu pendek, dan tidak mungkin selama tiga tahun. Bagaimana nasib seseorang yang kehilangan komunikasi spiritual demi menjalani misi yang sangat agung.

Kedua hadis tersebut juga sebagai penanda, bahwa pada turunnya wahyu pertama, Muhammad baru diangkat menjadi nabi, setelah turunnya Surah al-Muddatstsir, merupakan tahap terakhir dari proses peralihan Muhammad dari statusnya sebagai manusia biasa menjadi Nabi, kemudian menjadi Nabi dan Rasul.

“Wahai orang yang berselimut. Bangkitlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu sucikanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah engkau memberi untuk memperoleh lebih banyak. Dan untuk Tuhanmu bersabarlah.” Surah al-Muddatstsir (1-7).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan