Membaca Proses Kenabian dan Kerasulan Muhammad (3)

904 kali dibaca

“Kemudian beliau merasa senang berkhalwat (menyendiri) selama berhari-hari di Gua Hira hingga perbekalannya habis, lalu pulang ke Khadijah dan mengambil bekal untuk hari-hari berikutnya,” lanjutan redaksi hadis.

Kejadian datangnya mimpi nyata yang emanatif seperti cahaya fajar menyingsing itu dialami Muhammad tidak menentu. Kadang dalam keadaan tidur pada malam hari, tetapi bisa saja terjadi pada siang hari setiap kali beliau lengah atau mengalami kontemplasi spiritual. Bila mimpi itu datang, Nabi Muhammad seketika melihat pemandangan-pemandangan indah yang menyejukkan dan menenangkan jiwa sekaligus melapangkan dada.

Advertisements

Usai mengalami mimi-mimpi itu, Nabi Muhammad menjadi lebih senang berkhalwat di Gua Hira untuk melakukan ibadah. Sufi agung Ibnu ‘Arabi pernah berbicara tentang jiwa yang merasakan rindu dan jiwa yang mendapat titian menuju cahaya ilahi akan selalu terdorong untuk melakukan khalwat dan menjauhi keramaian.

Apa yang menimpa beliau adalah perkara kenabian. Tidak pantas bila peristiwa itu terjadi saat beliau sedang sibuk dengan urusan dunia dan berada di keramaian, atau bahkan di tengah keluarga; istri dan putra-putrinya, demi keagungan Muhammad dan keagungan persitiwa tersebut.

Nabi Muhammad sudah senang berkhalwat semenjak jiwanya sadar akan kebenaran agama Nabi Ibrahim, dan bergejolak mencarinya. Tempat khalwatnya ada di mana-mana, di hampir setiap gua pada bukit-bukit yang mengitari Makkah. Menjelang penerimaan wahyu, khalwat beliau lebih lama dari biasanya dan bertempat di Gua Hira dalam rangka persiapan kenabian.

Sementara waktu, Nabi Muhammad harus menghindari keramaian dan pergaulan umum agar transformasi spiritualnya sempurna sehingga mampu menerima risalah. Lalu kelak kembali ke dunia nyata sebagai Nabi dan Rasul untuk mengajak manusia seluruhnya kepada keimanan yang telah Allah patrikan ke dalam batinnya. Kemudian beliau melakukan tahannuts sebagaimana diungkap dalam redaksi hadis.

Tahannuts sendiri adalah istilah baru. Sebagaian ulama sirah memaknainya dengan ibadah terus-menerus sepanjang malam. Pemaknaan ini sesuai dengan redaksi lafaz hadis. Penafsiran lain memberikan arti ‘kegiatan berderma’ dalam rangka pembersihan jiwa.

Bila tahannuts dimaknai berderma, kegiatan itu juga dilakukan oleh para pengikut Haniifiiyah, para pencari kebenaran. Sehubungan dengan proses kenabian, tahannuts pasti memiliki makna secara khusus. Sedangkan pemaknaan yang tersebar adalah melakukan ibadah dalam keadaan menyendiri.

Bagaimana Nabi melakukan ibadah? Kepada siapa Nabi berderma? Pertanyaan semacam ini patut diajukan lantaran kita saksikan sendiri sekarang ini letak Gua Hira di padang tandus dan gersang, tidak ada pepohonan, air dan rerumputan, penghuni bahkan penggembala sekali pun. Benarkah makna tahannuts demikian?

Demi melacak kebenaran dan ketepatan makna tahannuts, kita perlu kembali ke masa silam pada tahun 1400 tahun lalu. Mengapa begitu? Karena secara geografis, sekarang ini kita memasuki tahap akhir era ketiga dari proses pergeseran salju yang mengakibatkan kekeringan sehinga padang pasir menjadi gersang dan tandus. Namun pada tahun itu, 1400 tahun lalu masih tersisa kawasan hijau menutupi daerah padang pasir di setengah wilayah dunia sebelah utara karena peralihan salju mengarah ke utara. Kita bisa saksikan buktinya, sampai sekarang masih ada pohon yang dahulu pernah dibuat berteduh Rasulullah dan masih hidup, letaknya di Yordania. Pohon itu bernama Sahabi.

Jelas bahwa pada tahun 1400, tanah Makkah masih menumbuhkan pohon-pohon, tanaman, dan tumbuh-tumbuhan. Artinya, bukit-bukit tempat Nabi Muhammad melakukan khalwat, termasuk Gua Hira, dikelilingi padang hijau bukan padang coklat gersang seperti sekarang ini. Banyak penggembala kambing melepas gembalaannya di padang hijau itu. Kepada mereka lah Nabi Muhammad berderma, baik saat menuju Gua Hira atau pun selama khalwat di sana. Demikianlah tahannuts bisa digambarkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan