Membaca Kasus Seksualitas di Pesantren

798 kali dibaca

Minggu pertama tahun 2023 dikejutkan oleh kabar asusila di salah satu pesantren di Jember, Jawa Timur. Dikatakan mengejutkan karena pelapornya justru adalah istri dari tersangka. Ibu Nyai (HA) mendatangi Markas Kepolisian Resor Jember untuk melaporkan suaminya (FM) karena diduga telah berbuat mesum dengan santriwati (Radar Jember, 06/01/2023). Kabar ini sempat menyita perhatian masyarakat karena, berdasarkan penuturan HA, aksi tak senonoh FM melibatkan dua santri senior, yakni SR dan AN.

Kendatipun kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan, namun ingatan publik terkait kasus serupa masih cukup kuat mengakar. Yakni, peristiwa di mana pada semester akhir tahun 2021, jagat dunia maya dikejutkan oleh mencuatnya tragedi pemerkosaan puluhan santriwati oleh Herry Wirawan. Kasus yang melibatkan puluhan santri ini benar-benar di luar batas nalar. Karena, bagaimana mungkin seorang pengasuh pondok pesantren bisa dengan tega melampiaskan nafsu berahinya pada puluhan santri yang diasuhnya.

Advertisements

Munculnya beberapa kasus asusila yang melibatkan insan pesantren sudah tentu sangat merugikan banyak pihak, khususnya nama baik pesantren dan kehormatan kiai. Karena, sudah mafhum jika selama ini pesantren dikenal dan terkenal sebagai lembaga pendidikan moral terbaik. Begitu pun dengan keberadaan seorang kiai yang sosoknya difigurkan sebagai manusia berakhlak mulia.

Kemuliaan pesantren ini kemudian tergerus pelan-pelan seiring dengan munculnya banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Ibarat kata leluhur, “nila setitik rusak susu sebelanga”. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh Ketua Rabithah al-Ma’had al-Islamiyah (RMI) Kabupaten Jember, Fuad Akhsan, bahwa munculnya kasus perbuatan asusila ini akan berimbas pada pesantren lain dan merosotnya marwah kiai pada umumnya (Radar Jember, 10/01/2023).

Bingkai Teoretis

Pada dasarnya, hubungan seksual merupakan hal yang sangat manusiawi. Ia akan hadir seiring dengan bertambahnya usia manusia. Meskipun ia bersifat alamiah, namun derap perkembangan dan penyalurannya tetap harus diarahkan. Tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja dengan dalih seksualitas adalah naluri kemanusiaan. Karena itulah, Islam sangat menjaga betul terkait perilaku seksual. Firman Allah di surat Al Isra’ 32 dan beberapa sabda Rasulullah sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar legitimasi ajaran Islam terkait perilaku seksual menyimpang (zina).

Perilaku seksual memang sangat kental dengan aktivitas biologis manusia. Namun, perlu dipahami juga bahwa hubungan seksual tidak melulu karena faktor biologis an sich. Ada peran dan kontribusi lingkungan sosial yang juga berpengaruh. Pada konteks ini banyak kalangan yang mengasumsikan bahwa kekerasan seksual, khususnya yang timbul di lembaga pendidikan (pesantren), disebabkan oleh adanya relasi patronase.

Relasi patronase secara sederhana memaparkan bahwa dalam ruang interaksi sosial manusia akan terikat oleh hubungan kuasa atasan dan bawahan, atau relasi patron klien. Hubungan antara patron (yang memiliki kekuasaan) dengan klien (yang tidak memiliki kekuasaan) berjalan tidak sederajat. Keduanya bergerak di garis vertikal sehingga patron memiliki “kuasa penuh” atas hidup klien. Oleh sebab itu, patron bisa melakukan apa saja kepada klien, termasuk melakukan hubungan seksual.

Sepintas, rangka pikir relasi patronase ini memang nampak mampu menjelaskan potret buram kasus asusila yang terjadi di lingkungan pesantren. Apalagi jika nalar teoretis ini kemudian dibumbuhi dengan dalih adanya “dogma sosial” yang bergulir di masyarakat, di mana santri harus tunduk patuh pada kiai. Dalam kultur masyarakat Madura, misalnya, ada dogma sosial yang berbunyi “bhuppa bhabhu ghuru rato”. Artinya bapak, ibu, guru, dan pemerintah. Ini adalah ajaran terkait hierarki normatif siapa saja yang harus mendapat penghormatan dan kepatuhan tertinggi dalam ruang sosial (M. Hefni, 2007).

Dogma-dogma sosial macam ini kemudian terus direproduksi dan menjadi konstruksi sosial masyarakat yang pada akhirnya mengatur pola pikir dan cara berperilaku. Maksudnya, dogma normatif ini bersifat mengikat setiap individu. Maka munculnya kekerasan seksual di pesantren, menurut rangka pikir relasi patronase, lahir dari adanya titik temu antara kuatnya relasi patron klien dengan besarnya pengaruh dogma sosial masyarakat.

Namun, perlu diketahui juga bahwasanya setiap perilaku manusia tidak hanya tumbuh dari relasi kuasa semata. Atau dengan kata lain tindakan manusia adalah murni produk dari norma sosial semata. Akan tetapi, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya. Max Weber telah menggambarkan dengan jelas bahwa ada empat jenis tindakan sosial manusia; tradisional, afektif, rasionalitas instrumental, dan rasionalitas nilai.

Secara singkat teori ini memetakan perilaku manusia berdasarkan pola dan motifnya. Tindakan tradisional merupakan tindakan yang muncul karena suatu kebiasaan yang turun temurun. Tindakan afektif adalah tindakan yang muncul karena luapan perasaan, desakan emosi, atau dorongan nafsu yang tak terkontrol. Adapun, tindakan rasionalitas instrumental merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan-tujuan tertentu dengan tetap mempertimbangkan segala kemungkinannya. Sedangkan, yang terakhir, tindakan rasionalitas nilai merupakan tindakan manusia yang bersandar penuh pada kesadaran atas nilai-nilai tertentu yang diyakininya.

Jika empat ragam perilaku sosial manusia ini kemudian dijadikan bingkai teoretis untuk melihat adanya kasus perilaku seksual di lingkungan pesantren, maka bisa dipastikan perilaku seksual kiai bukanlah bagian dari “tradisi” pesantren. Perbuatan tak senonoh oknum kiai pada santrinya bukanlah jenis tindakan tradisional. Besar kemungkinan kasus seksualitas pesantren ini masuk kategori perilaku afektif.

Tindakan ini sifatnya juga kasuistik. Artinya, tindakan yang hanya terjadi pada segelintir tempat. Karenanya, jika “nilai setitik” ini kemudian dijadikan dasar untuk membangun argumentasi yang bersifat general, maka argumen ini sangat tidak ilmiah. Sangat terburu-buru menyimpulkan. Padahal, keterburu-buruan dalam mengambil kesimpulan adalah cermin ketidakmatangan berpikir.

Adanya kasus-kasus perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh oknum insan pesantren memang benar adanya. Kejadian ini tidak perlu ditutup-tutupi apalagi dihilangkan. Tapi kejadian ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenar untuk menilai pesantren secara keseluruhan yang jumlahnya ribuan lembaga.

Pada satu sisi, mari kita kawal proses penyelidikan kasus asusila di pesantren. Namun di sisi yang lain, kita harus tetap mampu berpikir objektif terhadap pesantren. Karena salah satu sikap pembeda antara insan terpelajar dengan orang awam adalah adil sejak dalam pikiran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan