Membaca Arah Suara Nahdliyin

518 kali dibaca

Nahdliyin bukanlah entitas tunggal. Ia berwajah banyak. Ia bersegi banyak. Terkesan ada self-contradiciton, memang. Meskipun berpegang pada tradisi tawaduk dan sami’na wa ato’na terhadap kiai sebagai figur sentral, namun di dalam diri nahdliyin tetap terkandung keragaman, lebih-lebih kalau hanya soal preferensi dan pilihan-pilihan politik.

Perolehan Suara PKB
Perolehan Suara PKB

Karena itu, jika ada partai politik atau kekuatan politik tertentu mengklaim telah menguasai atau memperoleh dukungan suara mayoritas dari nahdliyin atau jemaah Nahdlatul Ulama (NU), dipastikan mereka akan kecele. Sebab, fakta-fakta historis menunjukkan suara kaum nahdliyin tak pernah bisa ditampung hanya dalam satu baskom politik. Ia selalu tersebar di hampir semua partai politik.

Advertisements

Kita bisa membandingkan antara data-data jumlah nahdliyin dengan perolehan suara partai politik NU atau yang diklaim berafiliasi atau didukung oleh NU. Dalam sejarah Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) pertama dilaksanakan pada 1955. Saat itu, NU telah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri, Partai NU, sebagai peserta Pemilu.

Pada Pemilu 1955 itu, yang keluar sebagai pemenang adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan raihan suara 22,32 persen. Di urutan kedua dan ketiga adalah Masyumi dengan 7.903.886 suara (20,92 persen) dan NU dengan 6.955.141 suara (18,41 persen). Meskipun Partai NU masuk tiga besar, data itu menunjukkan bahwa tidak semua warga NU memberikan suaranya kepada Partai NU. Suara nahdliyin tersebar di mana-mana, termasuk ke PNI dan Masyumi atau partai-partai lain. Sebab, jika seluruh nahdliyin memberikan suaranya ke Partai NU, ia akan keluar sebagai pemenang dengan raihan suara antara 30-40 persen. Asumsinya, saat itu 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim, dan lebih dari separo populasi muslim Indonesia adalah nadhliyin atau berafiliasi ke NU.

Data hasil pemilu pasca-reformasi juga mengkonfirmasi fakta historis yang trennya terus bersambung hingga kini, bahkan setelah NU menelurkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada Pemilu 1999, misalnya, suara yang diraih PKB sebesar 13,2 juta atau 12,62 persen. Dan tren ini terus menurun —lebih-lebih nanti setelah PKB ditinggalkan Gus Dur. Pada Pemilu 2004, suara PKB turun menjadi 10,56 persen. Raihan suara PKB merosot menjadi 4,95 persen pada Pemilu 2009. Memang, pada dua pemilu terakhir, PKB mampu “rebound”, namun tak pernah bisa seperti sebelumnya. Pada Pemilu 2014 dan 2019 raihan suara PKB masing-masing 9,04 persen dan 9,69 persen. Alias belum pernah menyentuh angka di level 10 persen.

Tren raihan suara PKB sebagai partai politik yang dilahirkan oleh NU tersebut berbanding terbalik dengan data dan kekuatan massa nahdliyin. NU adalah organisasi massa (ormas) berbasis massa Islam terbesar di dunia. Berdasarkan sebuah riset, pada 2013, jumlah massa NU diperkirakan mencapai 40 juta jiwa, dan melonjak meniadi 95 juta jiwa pada 2021. Ini belum termasuk yang secara verbal mengaku sebagai warga NU.

Berdasarkan riset pada 2022, total populasi muslim di Indonesia mencapai 250 juta jiwa atau 260 juta jiwa —dari total sekitar 280 juta penduduk. Dari total populasi masyarakat muslim Indonesia tersebut, sekitar 56,9 mengaku sebagai nahdliyin atau terafiliasi dengan NU. Artinya, saat ini jumlah warga NU bisa lebih dari 140 juta jiwa. Sekitar separo dari jumlah total penduduk Indonesia. Juga, hampir separo dari jumlah total pemilih dalam pemilu.

Berdasarkan data-data tersebut, jika ada partai politik yang merupakan representasi tunggal dari suara NU, otomatis ia akan menjadi pemenang pemilu. Nyatanya PKB, partai yang dilahirkan untuk mewadahi aspirasi politik warga NU, tak pernah menjadi pemenang pemilu. Bahkan setelah Pemilu 1999, raihan suaranya selalu di bawah 10 persen.

Artinya, suara warga NU dari masa ke masa selalu tumpah ke mana-mana. Tidak pernah terpusat di satu tempat. Ini juga terkonfirmasi oleh kenyataan bahwa sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, kecuali di masa rezim Orde Baru, tidak pernah ada pemenang pemilu yang menguasai suara mayoritas pemilih dalam pengertian 50+1 persen. Partai-partai pemenang pemilu hanya mampu mendulang suara di bawah 25 persen.

Data dan fakta-fakta historis tersebut juga dapat dijadikan rujukan untuk membaca arah suara nahdliyin pada Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Misalnya, meskipun PKB telah berkoalisi dengan Partai Nasdem (dan mungkin PKS) dan mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai calon presiden dan wakil presiden, bisa dipastikan suara nahdliyin tak otomatis akan bergerak ke sana.

Dalam Pilpres 2024 nanti, misalnya, tak otomatis warga nahdliyin akan memilih pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), meskipun Cak Imin sendiri kader NU dan mengklaim telah memperoleh dukungan dari banyak kiai NU. Suara warga NU akan tetap tersebar ke mana-mana, ke banyak partai. Dan pilihan warga NU terhadap calon presiden dan wakil presiden juga tidak akan tunggal.

Hal ini terbukti, dalam banyak survei, tingkat elektabilitas PKB tak jauh-jauh dari angka 9 persen, dan keterpilihan Cak Imin sebagai calon wakil presiden tak pernah melampaui angka 1 persen. Hal tersebut juga terkonfirmasi oleh hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA di kalangan pemilih warga NU. Survei berbasis pemilih NU ini dilaksanakan pada periode awal Agustus 2023 yang melibatkan 1.200 responden. Sampel dipilih menggunakan metode multistage random sampling.

Berdasarkan hasil survei LSI Denny JA, PKB bukan satu-satunya partai politik pilihan warga nahdliyin. Dalam proyeksi LSI Denny JA, suara PKB memang akan naik, tapi hanya di kisaran 11,6 persen. Yang akan menjadi pemenang tetap PDI Perjuangan, dengan raihan suara 21,9 persen. Berdasarkan hasil survei di kalangan pemilih warga NU tersebut, LSI Denny JA mengambil kesimpulan bahwa pemilih dari warga NU suaranya menyebar ke banyak partai, bahkan termasuk PKS yang secara ideologis “berseberangan” dengan NU.

Ini artinya, pertarungan memperebutkan suara pemilih dari kalangan NU tetap terbuka lebar, terutama bagi calon presiden-wakil presiden, meskipun PKB telah mengusung Anies Baswedan dan Cak Imin. Baik Anies Baswedan-Cak Imin maupun Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tetap akan memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam memperebutkan suara warga nahdliyin.

Dengan persebaran suara yang begitu memencar, arah dukungan dari kalangan nahdiliyin memang masih sulit dibaca dan diterka. Namun, ke mana pun akan berlabuh, suara dari kalangan nahdliyin akan menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang karena jumlahnya sangat signifikan. Siapa yang mampu mendulang suara terbanyak dari warga nahdliyin, merekalah pemenangnya.

Multi-Page

One Reply to “Membaca Arah Suara Nahdliyin”

Tinggalkan Balasan