Memaknai Tahun Baru Hijriah

955 kali dibaca

Tahun Baru Hijriah adalah tahun baru Islam yang perhitungannya berdasarkan peredaran bulan (satelit) dalam durasi mengelilingi bumi. Berbeda dengan dasar penghitungan tahun Masehi, di mana dasar penghitungan tahun ini didasarkan pada durasi bumi dalam berevolusi atau mengelilingi matahari.

Tahun Baru Hijriah didasarkan pada sejarah Nabi Muhammad saat pertama kali melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa bersejarah ini terjadi pertama kali pada 1 Muharram tahun 1 Hijriah, atau bertepatan dengan tahun 622 Masehi.

Advertisements

Berdasarkan jejak sejarah penggunaan tahun Hijriah, bahwa terjadi penghitungan tanggal yang tidak konsisten yang kemudian menimbulkan keragu-raguan. Dikutip dari cnnindonesia.com, dilansir dari Ain University, adalah seorang pejabat Basrah, Irak, menulis sebuah surat kepada Khalifah Umar bin Khattab agar membuat perhitungan kembali terkait dengan penghitungan tanggal yang lebih konsisten.

Kemudian Umar bin Khattab mendiskusikan hal tersebut. Semula, penghitungan tanggal di kalangan Islam berdasarkan atas kejadian penyerangan Tentara Gajah terhadap Baitullah (Kakbah). Hal itu juga berarti didasarkan atas kelahiran Nabi Muhammad, yaitu 12 Rabi’ul Awal Tahun Gajah. Namun penghitungan ini menemui berbagai problem dan hal-hal yang tidak konsisten. Maka diadakanlah musyawarah dalam rangka mencari dasar yang tepat terkait dengan perhitungan penanggalan dalam Islam.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Umar bin Khattab, yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh muslim pada saat itu, seperti Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abdurrhaman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Maka diputuskan pada saat itu hitungan tanggal berdasarkan sejarah hijrahnya Rasulullah, yaitu 1 Muharram tahun 1 Hijriah. Awal perhitungan itu terjadi bertepatan pada hari Kamis, 15 Juli 622 Masehi.

Dasar Hari Besar Islam

Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram 1443 H, tahun ini bertepatan dengan hari Selasa, 10 Agustus 2021 M. Tahun Hijriah dijadikan sebagai dasar penetapan hari-hari besar Islam, seperti dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), Isra’ dan Mi’raj, Peringatan Maulid Nabi, Hari Santri (yang baru saja ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo), dan lain sebagainya. Sebagai dasar penghitungan hari-hari besar, maka dapat dimaknai bahwa penggunaan kalender Hijriah sangat penting bagi umat Islam.

Kalender Hijriah sebagai dasar perhitungan hari-hari besar Islam seharusnya dijadikan kalender utama dalam keseharian. Namun, pada kenyataannya, kalender Islam ini digunakan sebagai kalender kedua setelah Masehi.

Tentu saja, keadaan ini tidak sama dengan negara-negara Islam yang secara langsung menggunakan kalender Hijriah sebagai kalender utama. Seperti Pakistan, Arab Saudi, Irak, Iran, dan negara-negara Islam lainnya menggunakan kalender Hijriah sebagai kalender keseharian. Di Pakistan yang penggunaan kalender Hijriah baru-baru saja ditetapkan, tujuannya adalah untuk menghindari kontroversi (ikhtilaf ulama) dalam penentuan awal Ramadan dan penentuan tanggal-tanggal penting lainnya.

Jadi, dengan demikian, kalender Hijriah tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebab kalender yang lahir pada masa sahabat ini memiliki peran yang sangat strategis dan signifikan dalam penentuan hari-hari bersejarah dan sebagian pula sebagai dasar perhitungan ibadah. Sehingga dalam berbagai penetapan tanggal tertentu tidak terjadi perbedaan atau setidaknya meminimalisasi perdebatan dalam menentukan tanggal-tanggal bersejarah dalam Islam.

Tradisi 1 Muharram

Kalender Hijriah terdiri dari Muharam, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syakban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Nama-nama bulan qamariyah ini didasarkan pada perputaran bulan dalam sekali mengelilingi bumi. Dalam satu tahun Hijriah berjumlah 354 hari. Dalam satu bulan qamariyah ini terjadi 29 atau 30 hari. Dalam setahun ada 12 bulan, sama dengan jumlah bulan dalam tahun Masehi.

Di berbagai daerah di Indonesia terdapat tradisi-tradisi dalam merayakan Tahun Baru Hijriah. Sama seperti pada bulan-bulan khusus lainnya, di tahun baru, 1 Muharram, biasanya diadakan berbagai macam kegiatan yang merupakan tradisi dalam suatu daerah tertentu.

Misalnya di Madura bagian timur ke utara, daerah Batuputih, dalam merayakan 1 Muharram (Sura) dengan membuat bubur sura. Bubur ini dimaksudkan sebagai bagian dari menghormati 1 Muharram saat memasuki tahun baru Hijriah. Kemudian bubur sura ini juga disedekahkan kepada para tetangga sebagai bentuk syukur atas nikmat kesehatan dan keselamatan serta nikmat bertambahnya umur.

Selain itu, di tempat lain, 1 Muharram diperingati dengan pawai obor. Di malam tersebut masyarakat terutama anak-anak yang didampingi orang tua membawa obor berkeliling kampung sambil melantunkan zikir atau selawat. Arakan obor dimaksudkan sebagai bentuk metafor untuk membakar nilai egoisme diri, serta menghanguskan keangkuhan, kesombongan, dan dimensi etik buruk lainnya.

Dan masih banyak lagi tradisi-tradisi masyarakat lainnya, seperti jamasan pusaka, yaitu memandikan senjata tradisional setempat misalnya keris, golok, klewang, tombak, dan lain sebagainya. Memandikan pusaka tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Orang tua adat yang berhak untuk melakukan jamasan pusaka dengan ragam ritual yang harus dilakukan. Lainnya lagi seperti sedekah laut, kirab sura, tapa bisu, dan lain sebagainya. Itu semua dilakukan karena bulan Muharram dipandang sebagai bulan yang penting menurut adat Islam.

Membiasakan Tahun Hijriyah

Sebagai seorang muslim, utamanya sebagai seorang santri yang setiap saat bergelut dengan dunia religius, Islam, maka sudah seharusnya menggunakan kalender Hijriah sebagai kalender keseharian. Setidaknya kita harus mengetahui kapan hari-hari besar Islam itu akan terjadi sehingga kita dapat mempersiapkan diri untuk menyambut hari besar tersebut. Di Indonesia, penggunaan kalender masih diutamakan kalender Masehi. Akan tetapi, untungnya, di banyak kalender dicetak dengan dua format, yaitu kalender Masehi dan kalender Hijriah.

Pemuatan dua kalender sekaligus memberikan dampak positif, sehingga kita bisa melihat dua kegiatan sekaligus dalam acara-acara besar nasional maupun hari-hari besar Islam. Sebagai umat muslim menggunakan kalender Hijriah merupakan sebauh keniscayaan. Karena kita tidak akan terpisahkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang didasarkan pada momen khusus kalender Hijriah. Akan tetapi, jika kita lihat di dalam kehidupan sehari-hari, hampir bisa dipastikan seorang siswa (muslim) tidak hafal dengan penanggalan Hijriah. Memang cukup disayangkan, tetapi di beberapa tempat, terutama lingkungan pesantren (?), kalender Hijriah menjadi kalender utama dan diutamakan.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua, umat muslim tanpa kecuali, untuk “kampanye” kalender Hijriah. Agar ke depan, kita semua tidak harus melihat kalender lebih dulu ketika ditanya tanggal berapa dalam kalender Hijriah. Ujian ini tidak mudah, sebab kalender Hijriah dipandang sebagai almanak kedua yang bahkan hampir-hampir tidak ditengok ketika melihat sebuah jadwal acara.

Kewajiban kita adalah mendorong penggunaan kalender Hijriah dalam keseharian. Menggunakan produk sendiri yang digagas oleh Umar bin Khattab, diusulkan oleh Ali bin Abi Thalib, serta disetujui oleh para sahabat meski dengan diskusi yang sangat alot. Sebagai bentuk penghormatan kepada mereka, mari kita marwahkan kalender Hijriah dengan segenap ikhtiar untuk memaksimalkan penggunaan kalender Islam ini. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan