Memaknai Kembali al-Din dan al-Islam Ala Mohsen

236 kali dibaca

Usai mengkhatamkan artikel yang ditulis oleh Mohsen Goudarzi, Worship (din), Monotheism (islam), and the Qurʾan’s Cultic Decalogue, saya menemukan satu bukti lagi bahwa Al-Qur’an memang diturunkan sebagai petunjuk (hudan) dan cahaya (nuran) bagi akal-akal yang abu-abu dan beku. Bagi saya, penelitian ini menjadi sebentuk pemantik baru untuk kajian Al-Qur’an yang cukup jenuh dan mulai melupakan hal-hal sederhana.

Mohsen Goudarzi merupakan seorang asisten profesor di Harvard Divinity School (Juli 2021). Sebelumnya, ia mengajar di Universitas Minnesota. Ia seorang ahli dalam Studi Al-Qur’an dan fokus keilmuannya mengarah pada evaluasi ulang beberapa asumsi paling mendasar yang sebelumnya dianut dalam studi Al-Qur’an.

Advertisements

Untuk mengetahui lebih dalam tulisan Mohsen ini, di abstrak, ia dengan jelas memaparkan bagaimana penelitiannya ini akan dijalankan. Selaras dengan judul yang diangkat, pertama, menelusuri makna kata din dan islam dari sumber-sumber klasik; Kedua, reinterpretasi terhadap tiga ayat (QS Ali Imran (3): 19, 85, dan QS Al-Maidah (5): 3); dan terakhir, sebagai titik fokus kajian, Mohsen akan menjelaskan tentang dekalog kultus dari ayat ke-3 surat Al-Maidah berkenaan dengan pelarangan 10 hewan tertentu.

Kerehasan Mohsen terhadap makna konsep din dan islam yang wagu, juga dialami oleh Toshihiko Izutsu 50 tahun yang lalu. Kata din sudah telanjur dimaknai dengan “agama”, padahal semestinya bukan demikian. Maka ia pun mengajukan sebuah argumen, “In this study, I argue in some detail that the qurʾanic meaning of din as “worship” reflects the ideas of “servitude” and “service,” which are often more pertinent to the signification of din and the verb dana in early Arabic literature than the notion of “obedience.

(Dalam penelitian ini, saya berargumen secara rinci bahwa makna din dalam Al-Qur’an sebagai “penyembahan” mencerminkan gagasan “penghambaan” dan “pelayanan”, yang sering kali lebih sesuai dengan makna din dan kata kerja dana dalam literatur Arab kuno dibandingkan dengan gagasan “ketaatan”).

Antara Pelayanan, Penyembahan, dan Hukum

Dana sebagai kata kerja dari din mempunyai banyak makna, seperti menundukkan, ketaatan, dan pengabdian (budak). Sebagaimana ia kutip dari Abu Ubaid (w. 224 H) dan Amr bin Kulthum (w. sekitar abad ke-6), makna ketaatan yang diungkap Ubaid, bagi Mohsen kurang tepat, karena di literatur Arab klasik makna din bukan hanya itu. Banyak makna lain, seperti memperbudak, menundukkan, atau memerintah (sebagaimana pendapat Amr).

Ia kemudian menyitir QS Yusuf (12): 76 yang mengisahkan bagaimana Yusuf mengambil saudaranya, Benyamin, untuk menghukumnya, “fi din al-malik” (dalam hukum raja). Pemaknaan dari para mufasir, bagi Mohsen kurang tepat, sebab ketika ditelaah lebih dalam, termasuk relasinya dengan paragraf-paragraf sebelumnya, ungkapan itu lebih cocok dimaknai “sebagai hamba sahaya/pelayan raja”.

Lebih lanjut, perkembangan makna din atau dana juga bisa berarti ritual ibadah atau pemujaan. Mengutip kata al-Nabighah al-Dubyani (w. Abad ke-6) kepada kekasihnya, “Kita tidak diizinkan untuk bermain-main dengan wanita ketika din memanggil”. Istilah din dalam kalimat al-Dubyani mengindikasikan makna sebuah ritual pemujaan, yaitu ziarah. Demikian juga, menyitir Hadis Ibn Abbas (w. 68 H.) yang mengatakan bahwa, “Orang Arab pra-Islam, berada di dua din, yaitu Hillah dan Hums”.

Hal itu jelas menunjukkan bahwa makna kultus tertentu dari suatu kelompok nampak cocok disematkan kepada kata din. Makna “penyembahan”, biar pun tak disepakati, bahkan oleh banyak sarjana modern, namun Mohsen tetap meyakini bahwa dalam beberapa ayat (meskipun tidak semua) menandakan makna ini, sebagaimana yang juga menjadi keyakinan Nicolai Sinai dan Matthew Niemi.

Beberapa ayat yang dimaksud antara lain QS Al-Kafirun (109): 6, “lakum dinukum Waliya din,” yang berarti “Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah.” Atau gagasan makna “penyembahan” nampak begitu cocok ketika bersanding dengan kata kerja akhlasha atau mukhlish, seperti mukhsina lahu al-din (orang-orang yang hanya mengabdikan ibadahnya kepada Allah Ta’ala). Dalam pada ini, Regis Blachere lebih suka menerjemahkan kata din dengan makna ini, berikut juga beberapa ulama yang disebut oleh Mohsen.

Makna “hukum” yang telah disinggung sebelumnya dalam surat Yusuf, Mohsen jelaskan lagi dalam sub-bab khusus. Namun, tetap dengan keraguannya akan makna ini, ia menambah tanda tanya dalam sub-judulnya itu. Ia mengawali dengan pendapat Nongbri yang mengatakan bahwa, para ahli Al-Qur’an Eropa modern awal seringkali mengartikan din dengan “hukum”, sebelum “agama” menjadi terjemahan yang lebih disukai. Baginya, alih-alih memahami din sebagai tradisi Yuridis, lebih baik memahaminya sebagai cara ibadah yang juga memerlukan beberapa hukum wajib yang melingkupinya.

Islam: Eksklusivitas Din

Al-Qur’an pada dasarnya hadir untuk mengkritik kaum musyrikin atau yang menyekutukan Allah, menyembah banyak tuhan. Sedang, Nabi dan para pengikutnya berbeda dengan mereka, yang hanya menyembah kepada satu Tuhan, Allah. Maka kata Islam mempunyai makna yang mirip dengan akhlasa yang menandakan penyembahan eksklusif kepada Tuhan yang Maha Esa. Menjadi seorang mukhlis atau muslim berarti tidak lagi hanya melayani, mengabdi, dan beribadah kepada Allah, namun lebih dari itu, ketiga-tiganya dilakukan secara total dan eksklusif. Selain eksklusivisme, Islam juga bisa berarti monoteisme (tauhid).

Meskipun pada mulanya, terutama di karya-karya puisi Arab pra-Islam, kata aslama sering diartikan menyerahkan, meninggalkan, dan bahkan mengkhianati. Namun, dengan bermacam pertimbangan sumber keilmuan yang ada di era kontemporer ini, kata itu lebih diartikan kepada suatu pengabdian penuh, seperti yang ada dalam kamus Nicolai Sinai.

Untuk lebih sederhana dan mudah dipahami inti poinnya, saya kutipkan langsung pendapat Mohsen, “Jika dīn adalah ibadah dan tindakan atau sarana lainnya, maka islām adalah jenis dīn yang spesifik, yaitu pengabdian, di mana seorang hamba sepenuhnya menjadi milik satu tuan (rabb) dan dengan demikian mengabdikan pengabdiannya secara penuh dan eksklusif – dalam konteks agama, secara monoteistik – kepada tuannya tersebut (lihat Q 39:29).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan