Memahami Gagasan Gus Dur tentang Etika Sosial

1,192 kali dibaca

Membincang dan mencermati rekam jejak, sepak terjang, dan prisma pemikiran KH Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) dalam matriks pengetahuan dan lanskap kemanusiaan sepertinya akan membawa kita pada sebuah kesimpulan: Gus Dur adalah manusia multidimensi.

Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Jika ditelisik lebih dalam, kita akan menemukan sosok Gus Dur yang beragam jenis: kiai sekaligus ulama, intelektual muslim dan pembaru Islam progresif asal Indonesia, aktivis kemanusiaan, santri tulen, dan sebagainya.

Advertisements

Gagasan serta pemikiran yang diembuskannya membawa hawa segar bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya di kancah nasional, melainkan juga internasional. Meski, tak bisa dimungkiri juga bahwa masih terdapat sebagian kelompok yang tidak sejalan, bahkan melontarkan caci-maki serta melabeli kafir dirinya. Walau begitu, semangat Gus Dur tak pernah surut dalam menggelorakan pemikirannya, terutama tentang kemanusiaan, pribumisasi Islam, dan pluralisme.

Dengan melihat begitu besar kontribusi Gus Dur pada dunia secara umum dan Indonesia secara khusus, maka saya tertarik untuk memperbincangkan kembali buah pemikirannya yang brilian ini. Namun dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan pemikiran Gus Dur, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan memfokuskan pada tema gagasan etika sosial yang digelorakan oleh Gus Dur.

Gus Dur dan Etika Sosial

Gagasan Gus Dur tentang etika sosial, mungkin atau bahkan tidak setenar dan sepopuler pemikiran lainnya, seperti pribumisasi Islam, humanisme, dan pluralisme. Pasalnya, selain dikarenakan ia tidak pernah menuliskan makalah secara serius tentangnya, gagasan ini merupakan “status ideal” keislaman yang sayangnya belum terumuskan secara sistematis. Dalam hal ini, Gus Dur hanya sekadar menjadikan etika sosial sebagai peran ideal Islam dalam konteks kemasyarakatan. (Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, hal. 115)

Walau begitu, gagasan etika sosial yang diembuskan Gus Dur cukup menarik dan bahkan relevan terhadap konteks kiwari. Ihwal gagasan ini pada hakikatnya didasarkan atas dua hal yang sangat fundamental dan urgen, terutama bagi umat Islam dan manusia pada umumnya.

Di antaranya: Pertama, didasarkan atas ajaran Islam sendiri, terutama menyangkut persoalan akhlak. Seperti diketahui bersama bahwa akhlak, dalam ajaran Islam memiliki porsi dan kedudukan cukup strategis. Hal ini tidak terlepas dari tujuan utama diutuskannya Nabi Muhammad. Di mana beliau diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis:

انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah)

Menurut Gus Dur, hadis ini memiliki makna yang sangat dalam dan sarat akan nilai-nilai perjuangan sosial. Dalam mendefinisikan akhlak, Gus Dur tak seperti kebanyakan orang pada umumnya yang mengartikan sekadar memiliki perilaku dan budi pekerti yang baik, sopan santun, dan tutur kata yang lemah lembut. Tetapi, akhlak di tangan Gus Dur lebih transformatif, yakni sebagai suatu sikap pengembangan kesadaran mendalam seseorang akan sosial-kondisi dari sebuah masyarakat yang menyangkut segala aspek kehidupan. Lebih dari itu, bagi Gus Dur, Islam memiliki tugas mulia; mengembangkan akhlak sosial yang memungkinkan tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia.

Artinya, jika tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak, maka penyempurnaan itu mustahil akan terealisasi apabila umat Islam sendiri enggan bahkan tidak memiliki sama sekali kesadaran terhadap keadaan sosial yang menimpa suatu masyarakat. Dengan kalimat lain, titik optimal penyempurnaan akhlak ialah dengan penyempurnaan masyarakat yang berakhlak (menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat), bukan sebaliknya. Yakni penyempurnaan akhlak pribadi dengan memperbanyak ritus-ritus ibadah bersifat individualistis dan penguatan identitas keagamaan yang hanya berkutat pada ranah halal-haram dan sebagainya. Inilah hakikat akhlak sebenarnya dalam kacamata pemikiran Gus Dur.

Karena itu, menurut Gus Dur, umat Islam tidak boleh acuh terhadap pelbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-ekonomi, dan lainnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai melakukan hal serupa. Namun, mereka harus berani dan terlibat secara langsung untuk mengadakan koreksi atas segala tindakan yang dinilai merugikan masyarakat. Sebaliknya, apabila mereka membiarkan maraknya perilaku korupsi besar-besaran dan penindasan dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan, hanyalah membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan serta perusakan bangsa.

Pernyataan ini mengingatkan pada definisi kafir yang disuguhkan Asghar Ali Engineer, seorang intelektual kesohor asal India. Menurutnya, seseorang disebut kafir bukan karena ia tidak beriman atau ingkar terhadap Allah dan rasul-Nya serta ajaran-ajaran dan larangan-larangan-Nya. Tetapi, seseorang yang tidak peduli (berperan aktif) terhadap kelompok masyarakat tertindas, mengalami diskriminasi dan ketidakadilan sosial, ekonomi dan lain-lain, adalah dikategorikan sebagai orang kafir.

Bagi Gus Dur, hukum agama tidak akan kehilangan kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika sosial masyarakat. Bahkan kebesarannya kian memancar dan bersinar terang karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi yang disebut negara. Juga tinggi rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak sekadar dinilai atau dilihat dari kesalehan spiritualnya dengan semangat beribadah kepada Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, yakni mereka harus peka serta menumbuhkan dan menanamkan sikap empati dalam dirinya untuk mengatasi segala problem sosial yang semakin krusial di tengah masyarakat. Walau begitu, harus tetap berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai agama (Islam).

Akhlak Transformatif

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa akhlak dalam pemikiran Gus Dur bukan sekadar berkutat pada ranah ukhrawi semata, melainkan juga duniawi. Sebab, Gus Dur mengartikan akhlak lebih transformatif disesuaikan dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia dan kondisi umat manusia pada umumnya.

Kedua, etika sosial Gus Dur dibangun atas dasar kemanusiaan. Sudah mafhum diketahui bahwa Gus Dur termasuk orang gencar mengampanyekan tentang humanisme dalam setiap kesempatan. Baginya , merawat serta menjaga nilai-nilai humanisme merupakan suatu keniscayaan guna melahirkan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Jika sampai rusak keharmonisan tersebut, akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali.

Artinya, Gus Dur tidak memandang manusia dari mana asal dan latar belakangnya, juga siapapun dan di manapun dia berada. Akan tetapi, bagi dia, manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang patut dimuliakan karena sifat kemanusiaannya tersebut. Sebagaimana Tuhan menghormati dan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur pun juga ingin demikian.

Dalam memandang manusia sebagai manusia seutuhnya, Gus Dur, menyitir ayat Al-Quran surat Al-Hujarat, yaitu:

يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kami saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujarat: 13)

Lafaz “li ta’arafu” (saling mengenal), oleh Gus Dur dimaknai tidak sekadar mengetahui nama, alamat rumah, nomor telepon atau mengenal dan mengetahui wajah dan bagian-bagian tubuh lain. Akan tetapi, lebih dari itu, saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat-hasrat yang lain, yang berbeda, dan yang tak sama. Lebih jauh lagi, “li ta’arafu” berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain, menjadi bijaksana dan rendah hati. (Husein Muhammad, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, hal. 52)

Untuk itulah, Gus Dur acap memperjuangkan hak-hak manusia yang dipasung, ditindas, dan didiskriminasi. Artinya, manusia bukan sekadar dihargai dan dihormati, melainkan juga diperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di tengah masyarakat. Ambillah contoh, tatkala pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Begitu pula ketika gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak dengan lantang “jangan”. Perilaku ini merupakan wujud konkret Gus Dur dalam memperjuangkan kemanusiaan.

Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama. Tidak peduli dari mana latar belakangnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit, suku, agama, ras, dan kebangsaannya. Namun yang Gus Dur lihat, adalah bahwa mereka manusia sebagaimana dirinya dan yang lain. Juga yang dilihat ialah niat baik dan perbuatannya, seperti ungkapan Nabi; “Tuhan tidak melihat keindahan tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu”.

Walau begitu, bukan berarti Gus Dur tidak paham bahwa ada yang keliru, tidak ia setujui, dan salah dari mereka yang dibelanya. Namun, Gus Dur, tentu saja, tetap membela dan menemani mereka. Yang Gus Dur bela adalah karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya berwarna lain, serta kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tidak melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar hukum.

Tindakan dan sikap demikian, menurut Gus Dur, pada hakikatnya tengah lama diajarkan oleh Islam, para nabi dan ulama-ulama terdahulu sejak ribuan tahun lalu. Kemudian, ia mengutip sumber literatur Islam klasik yang berbicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah ungkapan Imam al-Ghazali, seorang sufi besar dan kesohor pada masanya hingga saat ini mengatakan; bahwa tujuan aturan agama adalah memberi jaminan keselamatan akan keyakinan (agama) setiap individu, fisik, profesi, kehormatan tubuh, dan kepemilikan harta.

Kelima prinsip ini kemudian disebut dengan “Maqashid al-Syariah” (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan), yang merupakan pemberian Tuhan kepada setiap umat manusia, yang tak ada seseorang pun yang berhak mengurangi apalagi menghilangkannya. Dan, inilah yang menjadi basis pijakan fundamental pikiran-pikiran dan langkah-langkah Gus Dur dalam memperjuangkan kemanusiaan untuk memperoleh kesejahteraannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa gagasan Gus Dur tentang etika sosial bisa dipahami sebagai gagasan tentang “ajaran Islam, terutama akhlak sebagai pijakan utama memperoleh kesejahteraan sosial bagi manusia”, dengan tanpa memandang perbedaan primordial setiap umat manusia. Selama ia sudah mampu berbuat kebaikan bagi umat, walaupun orang yang berbeda dengan kita, baik agama, suku, budaya, dan bangsa, berarti sudah menerapkan etika sosial dalam konteks kehidupan. Sebagaimana yang digelorakan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan