Memahami Fenomena Kelompok Radikal Pasca-Reformasi

325 kali dibaca

Pasca-Reformasi 1998, ketika kran demokrasi dibuka lebar-lebar, bermunculan varian kelompok-kelompok baru yang pada Orde Baru tidak ada. Kalaupun ada, belum banyak bermunculan di permukaan. Kelompok-kelompok tersebut mencakup berbagai sektor, dari keagamaan, kesenian, hingga kebudayaan.

Pada sektor keagamaan bermunculan variasi baru yang sebelumnya tidak begitu kentara muncul ke permukaan. Seperti, kelompok Islam yang mengusung prinsip Arabisasi, kelompok Islam Modernis, dan lain sebagainya. Juga bermunculan partai-partai baru yang turut mewarnai wacana politik di negeri ini.

Advertisements

Kemunculan kelompok-kelompok baru ini di satu sisi berdampak positif sebagai sehatnya iklim demokrasi di Indonesia. Di sisi yang lain, berdampak negatif dengan munculnya kelompok-kelompok yang condong pada gerakan radikalik. Yang mana gerakan seperti ini ada yang menghendaki negara ini menegakkan syariat Islam, mendirikan ‘Negara Islam Indonesia’, dan (atau) ‘Khalifayh Islamiyyah’.

Kelompok seperti ini ada yang muncul secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Untuk yang pertama sebut saja kelompok Laskar Jihad, Laskar Jundulloh, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahideen Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan lain-lain. Sedangkan, yang kedua seperti Jemaah Islamiyah (JI) (Masdar Hilmy, 2015).

Kehadiran kelompok-kelompok seperti ini tidak lama berselang setelah runtuhnya Orde Baru. Mereka langsung melakukan aksi melalui berbagai peristiwa mengenaskan di Indonesia. Sebut saja Bom Bali (2002), Bom JW Marriot di Jakarta (2003), Bom Malam Natal di berbagai kota di Indonesia (2000), Bom Palopo (2004), dan lain sebagainya.

Hal ini menunjukkan bagaimana ketika kebebasan telah dibuka lebar pada era Reformasi, seringkali justru memberi ruang bagi benih-benih praktik terorisme. Namun, mereka memiliki hak hidup sebagai warga negara di Indonesia sekalipun mereka melakukan yang berkonotasi kontra pemerintahan (Beetham, 2004).

Perlu diketahui, di negara yang menganut demokrasi, kebebasan sipil akan menjadi hak istimewa bagi warganya. Artinya, hak bersuara, hak berserikat, hak beragama, dan lain sebagainya akan dijamin oleh negara sekalipun memusuhi negara (Amartya Sen, 1999). Berkebalikan dengan negara yang tidak menganut demokrasi, hak sipil warganya akan sangat dibatasi. Maka dari itu, munculnya kelompok-kelompok seperti yang disebut di atas merupkan sebuah implikasi dari sistem demokrasi.

Pada prinsipnya, Reformasi memberikan ruang partisipatif yang setara bagi berbagai kelompok masyarakat (Beetham, 2005). Hal itu diakibatkan oleh dicabutnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 1963 yang berbicara mengenai Pemberantasan Kegiatan Subversi. Perpres tersebut menjadi salah satu dari sekian banyak regulasi yang dicabut pada era Reformasi. Bagaimanapun, kelompok-kelompok radikal yang berseberangan dengan pemerintah pun bermunculan dan bermekaran.

Melawan Kelompok Radikal, Tugas Siapa?

Secara arbitrer, seperti halnya ekstrem kanan dan ekstrem kiri yang berada pada kutub yang beralwanan, kelompok radikal dinyatakan sebagai musuh dari kelompok moderat. Sehingga di sini diasumsikan bahwa kelompok moderat memiliki tugas penting, yakni menangkis dan melawan paham radikal. Namun, bukan bermaksud menafikan peran pemerintah sebagai agent of control dari seluruh warganya, peran kelompok moderat pun tidak kalah pentingnya dengan pemerintah dalam konteks melawan kelompok radikal.

Diketahui bahwa kelompok moderat merupakan kelompok yang berperan dalam upaya menanggulangi radikalisme dan memberikan edukasi serta informasi tentang nilai-nilai moderat dan inklusif. Dalam hal ini kelompok keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammdiyyah berada pada koridor tersebut. Kedua kelompok tersebut dalam rentangan sejarah Indonesia memiliki peran yang cukup signifikan dalam menciptakan persatuan dan perdamaian.

Namun, bagi Azyumardi Azra, walaupun kelompok moderat menjadi mayoritas di negeri ini, mereka cenderung diam ketika bersinggungan dengan kelompok radikal. Atau, dalam bahasa Azra, fenomena ini disebut dengan silent majority.

Lebih lanjut, Nur Khafid meneropong fenomena serupa ketika membaca kultur keberagamaan di Surakarta. Hemat Khafid, kelompok seperti NU dan Muhammadiyyah di Kota Solo cenderung diam dan menjadi silent majority di tengah-tengah kelompok minoritas (radikal) (Khafid, 2023).

Hal ini menjadi keprihatinan kita bersama. Sebab, kelompok mayoritas (moderat) tersebut cenderung menikmati kenyamanan di balik jubah kemayoritasannya. Serta cenderung menutup mata dan menganggap remeh kelompok-kelompok radikal yang menjadi minoritas dengan kuantitas yang sedikit.

Dr Nur Hasan Wirayuda pada pidato pembukaan Yogyakarta Dialogue pernah mengatakan, “Kesuksesan kita dalam perang melawan terorisme, dalam jangka menengah dan panjang, akan bergantung pada kesuksesan usaha kita dalam memberdayakan kaum moderat baik di dalam masyarakat maupun di antara negara-negara moderat” (Banawiratma, et al., 2010).

Pada dimensi dunia maya, hasil riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020) juga menunjukkan minimnya peranan dari kelompok moderat dalam pengarusutamaan wacana keislaman (Islam Moderat). Arus utama justru dimenangkan oleh kelompok konservatif (radikal) yang justru menjadi minoritas ketimbang kelompok moderat yang menjadi mayoritas.

Hal tersebut berimplikasi pada produksi wacana pada dunia maya. Yang mana kelompok radikal akan memproduksi wacana yang sehaluan dengan ideologinya. Tentu wacana yang diproduksi pun jauh dari prinsip toleransi dan perdamaian. Sehingga, di satu sisi mereka dapat menginternalisasi ideologinya kepada netizen, di sisi lain mereka juga dapat merekrut anggota baru melalui media sosial. Parahnya, jika poin kedua ini berhasil dan berkembang, status keminoritasan mereka akan berganti menjadi mayoritas. Dalam kata lain, kelompok radikal tidak hanya memenangkan kontestasi wacana dalam dunia maya saja, namun juga dalam dunia nyata.

Di sini perlunya peran maksimal dari kelompok moderat, khususnya dalam dimensi dunia maya. Pasalnya, mereka telah kalah telak dengan kelompok radikal. Dunia nyata pun demikian, namun kelompok moderat perlu memerhatikan prinsip-prinsip hukum, demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia. Jangan sampai upaya penumpasan ini berubah menjadi bergesernya status kelompok moderat menjadi “kelompok radikal baru” karena perlawanan yang digunakan menggunakan cara-cara kekerasan dan kontra dengan berbagai prinsip di atas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan