Mbah Kandar dan Nujum “Ruyung Berkedok Jati”

5,299 kali dibaca

Melihat kondisi umat Islam saat ini, terutama di Indonesia, teringat kata-kata Mbah Kandar puluhan tahun lalu, yang terasa bagai nujum. Inilah kutipannya dalam bahasa Jawa: “Jaman akhir iku jaman jati sunduk ruyung. Okeh paguron kudhung Islam, nanging sejatine ngrusak Islam”. Artinya kira-kira begini: Zaman akhir itu adalah zaman ruyung berkedok jati. Banyak perguruan yang berkedok Islam, tetapi isi ajarannya justru merusak Islam.

Seperti telah dinujum oleh Mbah Kandar: begitu banyak dan semarak saat ini, lembaga-lembaga dakwah, lembaga-lembaga pendidikan agama, yang ajarannya justru merusak Islam. Begitu banyak individu-individu, yang mendaku sebagai pendakwah atau pun ustadz, namun ucapan dan tingkah polahnya bukan hanya jauh dari spirit Islam, tapi malah merusak citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Bukan mendekatkan pada ridla Allah, tapi justru menggiring pada keangkaramurkaan.

Advertisements

Puluhan tahun lalu, nujum itu dilengkapi nasihat Mbah Kandar yang sangat bernas: Mbok isoho mlaku sak dhuwure banyu, kok iseh demen dhuit, iku mesti dudu wali”. Artinya kira-kira begini: Meskipun bisa berjalan di atas air, tapi jika masih suka dengan duit, tentu itu bukan wali. Pendakwah atau ustadz yang gandrung akan hal keduniawian, menurut nujum Mbah Kandar itu, tentu bukan ulama yang sebenarnya. Tak perlu diikuti.

Siapa sesungguhnya Mbah Kandar?

Mbah Kandar (kanan).

Berguru pada Mbah Hasyim

Mbah Kandar tak lain adalah KH Askandar, salah satu mata air pengembangan pesantren dari Banyuwangi. Mbah Kandar adalah menantu KH Abdul Manan atau Mbah Manan, dan ayah dari KH Noer Muhammad Iskandar SQ, Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jakarta.

Mbah Kandar bukan asli kelahiran Banyuwangi. Diperkirakan, ia lahir pada 1901 di Dusun Sragi, Desa Sumber Dukuh, Kecamatan Gampeng Rejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Mbah Kandar putra dari seorang tokoh agama, Kiai Abdullah Iskam. Semua anak Kiai Abdullah dididik dengan baik agar kelak menjadi insan-insan yang saleh dan salehah, berguna bagi agama, bangsa, dan negara.

Di bawah asuhan ayahnya, Mbah Kandar memperoleh pendidikan agama dengan penuh disiplin. Karena itu, saat usianya baru 7 tahun, ia telah mengkhatamkan al-Quran. Selain memperoleh pendidikan agama seperti tata cara ibadah serta akidah, Mbah Kandar kecil juga disekolahkan di lembaga pendidikan formal, Sekolah Rakyat.

Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, pada usia 13 tahun Mbak Kandar dimasukkan di Pondok Pesantren Jampes yang diasuh Kiai Dahlan selama lima tahun. Dari Pondok Jampes, Mbah Kandar meneruskan nyantri kepada Kiai Manaf Abdul Karim di Pesantren Lirboyo. Setelah tiga tahun, Mbah Kandar minta izin untuk mondok ke pesantren lain. Atas saran Kiai Manaf, Mbah Kandar berguru kepada Kiai Khozin di Pondok Pesantren Buduran Sidoarjo. Kepada Kiai Khozin inilah Mbah Kandar banyak belajar ilmu tasawuf mulai usia 21 tahun.

Hanya berlangsung setahun, Mbah Kandar kemudian melanjutkan mondok lagi, kali ini di Pondok Panji Siwalan yang diasuh oleh Kiai Ya’kub yang kesohor dengan kewaliannya. Di Pondok Panji Siwalan mondok selama 1,5 tahun.

Pada 1924, saat usianya sekira 23,5 tahun, Mbah Kandar nyantri kepada KH Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Di sini, niat Mbah Kandar ingin mempelajari ilmu hadits, yang menjadi spesialisasi KH Hasyim Asy’ari. Setelah khatam kitab Shahih Bukhori, tanpa diduga KH Hasyim Asy’ari menyuruh Mbah Kandar untuk pulang kampung guna mengamalkan ilmu yang telah didapatkan di berbagai pondok pesantren.

Kepulangan Mbah Kandar mendapat sambutan hangat. Ia telah menjadi pemuda yang alim. Banyak masyarakat sekitar yang datang untuk mengaji atau belajar ilmu agama kepada kiai muda tersebut. Tak lama sejak kepulangannya, Mbah Kandar dinikahkan dengan putri dari teman ayahnya. Pernikahan ini terjadi pada 1926, saat usia Mbah Kandar mencapai 25 tahun. Dari pernikahan ini, Mbah Kandar dikarunia dua anak, Siti Khodijah dan Hasyim Asy’ari. Saat itu, Mbah Kandar telah memiliki santri lebih dari 150 orang.

Rupanya pernikahan Mbah Kandar tak berumur panjang. Kelahiran dan pengasuhan kedua anaknya yang dibiayai sang mertua ternyata dihitung sebagai utang. Karena kecewa atas ketidaktulusan sang mertua, Mbah Kandar akhirnya menceraikan istrinya. Dalam suasana kekecewaan itulah Mbah Kandar kembali menjadi santri kelana.

 

“Diusir Kiai Kholil”

Pengembaraan Mbah Kandar terhenti di Jember, saat ia berguru kepada KH Shiddiq, ayah dari KH Achmad Shiddiq, Rais Am PBNU. Tertarik dengan cerita-cerita KH Ahmad Shiddiq akan keulamaan Kiai Kholil bin Abdul Latif Bangkalan, Mbah Kandar akhirnya berangkat ke Madura.

Saat bertemu kiai idolanya itu, belum sempat Mbah Kandar mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya, dengan nada membentak, Kiai Kholil memerintahkan Mbah Kandar memakan buah salak yang telah tersedia di hadapannya. Tanpa berpikir panjang, Mbah Kandar langsung memakannya sampai habis.

Setelah itu, Kiai Kholil justru “mengusir” Mbah Kandar dalam logat Madura bercampur Jawa. “Kandar, muliho, mulih! Elmona sengkok, tadeklah ekalak Kiai Kandar! Muliho, mulih! Muliho Askandar Banyuwangi!” Artinya kira-kira begini: Kandar, pulanglah, pulang! llmuku sudah habis kau makan. Pulanglah, pulang, pulang! Pulanglah ke Banyuwangi!

Samina wa athona, Mbah Kandar melanjutkan pengembaraannya ke Banyuwangi. Di Banyuwangi, ia mondok di Pondok Pesantren Jalen, Dusun Setail, Genteng, Banyuwangi. Ia berguru KH Abdul Basyar, yang juga pernah menjadi gurunya Kiai Kholil. Di Pondok Jalen inilah Mbah Kandar bertemu dengan Mbah Manan, yang sama-sama asal Kediri. Di Pondok Jalen ini, keduanya tercatat sebagai santri senior yang sudah menguasai banyak kitab kuning. Karena itu, oleh Kiai Basyar, Mbah Kandar justru ditugasi mengajar kitab Iqna –salah satu kitab fiqih tingkat atas yang awalnya diampu oleh Kiai Manan.

Saat Mbah Manan menjadi pengganti Kiai Basyar yang telah wafat, Mbah Kandar diambil menantu oleh Mbah Manan. Dalam perkembangannya, saat Mbah Manan meninggalkan Pondok Jalen pada 1929 dan mendirikan pondok sendiri di Sumberberas, Kecamatan Muncar, Mbah Kandar ikut serta. Beberapa lama Mbah Kandar ikut membantu mengembangkan Pondok Pesantren Minhajut Thullab yang dirintis mertuanya.

Namun, pada 1932, atas restu Mbah Manan, Mbah Kandar mendirikan pesantren sendiri, yaitu Pesantren Mambaul Ulum, yang letaknya juga tak jauh dari Pondok Pesantren Minhajut Thullab. Hingga kini, Pondok Pesantren Mambaul Ulum menjadi salah satu pesantren besar di Banyuwangi dengan jumlah santri mencapai ribuan orang. Selain tetap mempertahankan model pengajian salaf, di Pondok Pesantren Mambaul Ulum juga telah dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan formal hingga perguruan tinggi.

Itulah warisan Mbah Kandar yang wafat pada 1967: bukan “ruyung berkedok jati”, tapi memang benar-benar paguron Islam yang sejati.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan