Mbah Kaji

1,215 kali dibaca

Yang tak tertulis oleh pena tapi tersalin dalam ingatan adalah langkah kaki gemetar seorang sepuh yang biasa menyuguhkan suara khasnya dalam lantunan adzan maghrib, isya, dan kadang dhuhur juga ashar. Ialah kakek tua yang kerapkali menemani sisa penghabisan hari di surau sehabis isya. Kami seringkali didongengi tentang kenangan, ya kenangan. Itulah yang barangkali menjadi harta paling berharga dan cukup utuh bagi seorang yang berusia lanjut macam kakek ini.

Ya, beliau adalah santri amoh. Disebut santri bukan karena beliau ikut mukim di pondok, tapi saban aktivitas pesantren terutama ngaji dan jamaah jangan ditanya lagi etosnya beliau. Aku yakin jika kau melihatnya secara langsung, akan malu. Disebut amoh sebab usia beliau yang telah masuk kepala sembilan. Syahdan, di usia sesepuh itu beliau masih rajin menghadiri aktivitas pesantren, padahal rumah beliau berjarak 100 meter dari pondok. Begitulah. Tak jarang beliau dengan tawa khasnya ikut guyon dengan kami, sesrawung mendengarkan dan lebih banyak melempar senyum. Sungguh, hanya dengan melihat beliau saja melahirkan semacam perasaan tertentu yang intinya adalah ketersadaran. Mungkin beliau adalah kitab berjalan. Mungkin.

Advertisements

Seringkali aku tiba-tiba merenung kala beliau bercerita. Ya, kalian harus tahu bahwa beliau sangat suka bercerita. Ini mengasyikkan, tapi pada waktu tertentu bisa kurang mengasyikkan. Sebab kadang engkau ingin buru-buru melakukan sesuatu, tapi tak sopan rasanya sebelum beliau benar-benar mengakhiri ceritanya.

Saat itu, ketika beliau sedang berkisah, aku memenung memandangi peraupan beliau, terbawa aku pada perenungan, sebenarnya apakah yang akan kita lakukan (atau persiapkan) jika sudah menginjak usia lanjut dan anak-anak telah sibuk dengan urusannya sendiri. Akankah di usia itu kita hanya semakin menginsafi akan kesejatian dunia, yakni kesunyian, sepi, sendiri dan jika sudah tiba waktunya hanya itukah yang akan kita miliki. Betapa kadang aku berkhayal bahwa itu sangat menakutkan. Tapi, ada apa dengan kakek tua ini. Mengapa sama sekali tak kulihat ketakutan dalam raut wajah atau binar matanya. Ah, tapi baiklah, kita lanjut cerita saja dulu.

Pernakah kalian membayangkan atau katakanlah menyiapkan diri untuk hal yang pasti–jika tak mati muda–yakni masa tua nanti. Seperti mungkin berangan, akan tua seperti apa dan menjadi apa nanti, sedang kebugaran, kesempatan, dan kemampuan tak mungkin sama dengan ketika masih muda. Apakah yang semestinya perlu dipersiapkan untuk menjelang masa tua? Rumahkah? Jabatan? Pesangon pensiunan? Jaminan kesehatan? Atau, apakah sebenarnya yang sangat-sangat perlu untuk dipersiapkan? Ah, entahlah. Yang pasti, ketika masa itu tiba, kesunyian, kesendirian akan semakin jelas menjeratmu. Kau tak percaya? Buktikan besok, atau jika tak sabar, bisa juga kau sisihkan sedikit waktumu dan dekatilah orang-orang sepuh yang ada di sekitarmu. Cobalah.

Malam itu sehabis isya, kami–aku dan seseorang–menemani kakek sepuh ini di beranda surau. Hujan turun cukup deras membuat kami (yang biasanya lekas mengantarnya pulang) singgah sejenak dan tak sampai hati membiarkan beliau sendiri. Ya, malam itu kami kembali didongengi kenangan si kakek ketika beliau dulu berkesempatan berangkat haji. Sebuah cerita yang berkali-kali sudah beliau ceritakan. Begitulah, dan yang selalu tak luput ketika bercerita adalah beliau akan mengakhiri setiap gugus kalimat dengan tawa yang khas. Sungguh, menyaksikan seorang sepuh yang tertawa lepas adalah juga suatu kenikmatan tersendiri.

Seringkali, jika di suatu hari kami tak melihat kakek sepuh ini ada di surau, terbesit kekhawatiran, apakah beliau sedang sakit. Sebab di usia yang hampir mencapai kepala 9, adakah aktivitas yang patut diusahakan kecuali yang barang tentu itu kewajiban, seperti sholat. Dan tahulah kalian bahwa masih banyak orang sepuh di sudut-sudut desa yang akan berjuang sekuat tenaga untuk bisa melaksanakan lima waktunya dengan berjamaah. Bahkan, ada diantara orang sepuh itu yang ketika berangkat harus menggunakan tongkat, berjalan dengan sungguh pelan dan hati-hati, tapi mereka sungguh bersemangat (justru ada yang mengatakan itu adalah hiburan mereka. Hiburan? Ya) dan tak sekalipun terlihat mereka merasa terbebani oleh keadaan yang tak mudah itu. Saat melihat mereka yang demikian itu, sudah barang tentu menjadi insaflah siapa pun yang muda dan sehat akal-jasmaninya.

Aku jadi teringat adagium, manfaatkanlah sungguh masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Dan mengingat itu kadang juga menyisip renung, akankah aku diberi kesempatan untuk merasakan juga masa tua. Entah. Waktu kian jadi barang yang sungguh berharga. Ya, benarlah jika dikatakan bahwa waktu adalah kehidupan. Atau tepatnya, waktu adalah modal yang tak bisa dikulak kembali sehingga yang tersisa kelak (jika tak bisa memanfaatkan) mungkin hanya sesal.

Lalu apakah yang akan–harus–kita lakukan? Menunggu tua dulukah untuk bisa sadar kemudian menyesal telah terlambat sadar? Tidak, tidak perlu tua untuk sadar diri. [Wahai diri, sekecil apa pun yang bisa dikerjakan hari ini, kerjakan. Ingat, di penjuru mana pun kau dilahirkan dengan janji menjadi hanya sebagai abdi, sekali lagi kau telah berjanji menjadi hanya sebagai abdi. Kebaikan ada di mana-mana jika kau menyadari makna siapa dirimu.]

Suara jam mendering mengabarkan sudah pukul 9 malam. Lantas tiba-tiba si kakek sepuh meminta pulang. Hujan reda dan malam kiat beringsut. Diantarkanlah ia oleh kawanku. Sepeda motor disiapkan dan melajulah mereka. Kakek itu masih juga menyempatkan memberi senyum padaku sebelum meninggalkan aku yang kini duduk sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan