Mbah Kaji

1,172 kali dibaca

Yang tak tertulis oleh pena tapi tersalin dalam ingatan adalah langkah kaki gemetar seorang sepuh yang biasa menyuguhkan suara khasnya dalam lantunan adzan maghrib, isya, dan kadang dhuhur juga ashar. Ialah kakek tua yang kerapkali menemani sisa penghabisan hari di surau sehabis isya. Kami seringkali didongengi tentang kenangan, ya kenangan. Itulah yang barangkali menjadi harta paling berharga dan cukup utuh bagi seorang yang berusia lanjut macam kakek ini.

Ya, beliau adalah santri amoh. Disebut santri bukan karena beliau ikut mukim di pondok, tapi saban aktivitas pesantren terutama ngaji dan jamaah jangan ditanya lagi etosnya beliau. Aku yakin jika kau melihatnya secara langsung, akan malu. Disebut amoh sebab usia beliau yang telah masuk kepala sembilan. Syahdan, di usia sesepuh itu beliau masih rajin menghadiri aktivitas pesantren, padahal rumah beliau berjarak 100 meter dari pondok. Begitulah. Tak jarang beliau dengan tawa khasnya ikut guyon dengan kami, sesrawung mendengarkan dan lebih banyak melempar senyum. Sungguh, hanya dengan melihat beliau saja melahirkan semacam perasaan tertentu yang intinya adalah ketersadaran. Mungkin beliau adalah kitab berjalan. Mungkin.

Advertisements

Seringkali aku tiba-tiba merenung kala beliau bercerita. Ya, kalian harus tahu bahwa beliau sangat suka bercerita. Ini mengasyikkan, tapi pada waktu tertentu bisa kurang mengasyikkan. Sebab kadang engkau ingin buru-buru melakukan sesuatu, tapi tak sopan rasanya sebelum beliau benar-benar mengakhiri ceritanya.

Saat itu, ketika beliau sedang berkisah, aku memenung memandangi peraupan beliau, terbawa aku pada perenungan, sebenarnya apakah yang akan kita lakukan (atau persiapkan) jika sudah menginjak usia lanjut dan anak-anak telah sibuk dengan urusannya sendiri. Akankah di usia itu kita hanya semakin menginsafi akan kesejatian dunia, yakni kesunyian, sepi, sendiri dan jika sudah tiba waktunya hanya itukah yang akan kita miliki. Betapa kadang aku berkhayal bahwa itu sangat menakutkan. Tapi, ada apa dengan kakek tua ini. Mengapa sama sekali tak kulihat ketakutan dalam raut wajah atau binar matanya. Ah, tapi baiklah, kita lanjut cerita saja dulu.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan