Manusia Lucu, Manusia Seutuhnya

1,448 kali dibaca

Desakan pola pikir manusia harus diakui bahwa terlalu jauh menyimpang dari tugas dan amanah yang Tuhan berikan. Hal demikian membawa berbagai konsekuensi yang tidak melulu menguntungkan. Juga mengandung berbagai risiko yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.

Buku ini mengajak para pembaca untuk membaca ulang, me-refresh, segala hal yang dilaluinya. Fakhruddin Faiz memulai tulisannya dengan menyadarkan kembali siapa diri kita sebenarnya. Pada fitrahnya, manusia adalah hamba Allah. Adam sebagai manusia pertama diciptakan dari tanah. Dalam dirinya ada kandungan tanah, diberi ruh dan diberi bentuk.

Advertisements

Tujuan Allah menciptakan manusia adalah tidak lain sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai pemimpin dan wakil Allah, maka sudah seharusnya kita memposisikan diri sebagai cermin Allah. Wakil itu mempunyai tugas posisi yang diwakili. Namun, kendati kita menjadi wakil-Nya, jangan lantas hidup seenaknya layaknya yang diwakili.

Manusia tidak memiliki pakem awal. Dia lahir dalam keadaan kosong sebagaimana yang digambarkan dalam QS. An-nahl: 16. Semua pengetahuan didapatkan setelah akal berfungsi dan itu dipengaruhi oleh lingkungan alam sekitar, baik antar-sesama maupun dengan alam semesta. Menjadi baik atau buruk, tergantung sejarah hidup dan pengaruh yang didapatkan.

Contoh sederhananya dilihat dari buku ini, Fakhruddin sebagai sarjana akidah dan filsafat banyak melibatkan tokoh filsafat, baik tokoh filsafat Barat maupun Muslim. Ini memberi bukti sederhana bahwa lingkungan juga sangat menentukan dan berpengaruh kepada seseorang.

Secara umum, fitrah manusia memiliki beberapa kecendrungan. Dipercayai bahwa kita punya kecendrungan positif. Hati nurani yang Allah berikan kepada manusia memberikan sumber agar berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun. Kecenderungan ini mengajak dan terus mengajak kepada kebaikan. Sebiadab apapun tingkah manusia, dalam lubuk hatinya akan timbul rasa sesal, kasihan, dan iba.

Di sisi lain, manusia juga mempunyai kecenderungan negatif. Hal ini dimotori hawa nafsu yang terus mengendalikan dan menggerakkan tingkah laku manusia. Jika manusia terus mengikuti nafsunya, semuanya tak akan terbatas. Hal ini menyalahi fitrah manusia yang penuh keterbatasan dan melakukan semaunya bak Tuhan yang Maha Tak Terbatas.

Dengan akal budi yang dimiliknya, harusnya manusia hidup dalam paradigma philo-shopia (cinta kepada kebijaksanaan), namun dalam kenyataannya, manusia lebih banyak menghindari pertemuan dengan sang kebijaksanaan tersebut, dan lebih sibuk dalam memenuhi hasrat dan ambisinya untuk menjajah dunia dan memuaskan kesenangan sesaatnya. (hlm. 7).

Allah tidak terbatas, sementara manusia sangat terbatas. Manusia tidak mungkin seperti Allah yang menyayangi seluruh alam semesta maha luas ini. Manusia tidak sedahsyat itu. Manusia hanya menjalankan kasih sayangnya dalam batas kita saja.

Makhluk Humor

Fitrah manusia lainnya adalah humor. Dari sekian banyak makhluk, manusia satu-satunya hamba yang mempunyai selera humor. Bercanda, tertawa untuk menghilangkan berbagai rasa di dalam dada.

Fahruddin dalam bagian ini banyak mengutip banyak tokoh untuk menguatkan tulisan pada bagian ini. Salah satunya dia menyebutan Osho, spiritualis asal India pernah menyebutkan “if you find a saint who has no sense of humor, then he is not a saint at all” (jika Anda menemukan orang suci yang tidak memiliki selera humor, maka dia sama sekali bukan orang suci).

Hidup itu lucu. Kenyataannya serius, tapi justru yang serius dalam hidup itulah yang lucu. Jika manusia sangat serius dalam menjalani hidup, hidupnya akan terbebani terus, banyak tugas ini itu yang datang silih berganati sehingga butuh ketenangan, hiburan agar dirinya tidak terlalu memikirkan beban dalam hidupnya.

Fahruddin mengambil tokoh Henri Bergson dalam menguatkan temanya ini. Meski pemikiran Henri berbeda dengan beberapa filsuf yang disebutkan. Kelucuan, menurutnya, adalah ketika orang melenceng dari fitrah vitalitasnya. Manusia itu vital, punya kemerdekaan, kebebasan, kedalaman, tapi banyak yang hidup mekanisnya seperti robot. (hlm.79).

Bercanda secukupnya, jangen berlebih-lebihan. Sebab, segala sesuatu yang berlebih-lebihan tidak disenangi oleh sang Khalik. Dalam Islam tertawa itu boleh, bahkan dianjurkan agar hati tidak mati. Namun, harus hati-hati, sebab jika tertawa melampaui batas bisa menyebabkan matinya hati.

Waktu terus berlalu, jika hidup kita melewatkan waktu dengan tertawa tanpa batas, kita terlalu banyak membuang waktu. Meski dalam firman-Nya menyebutkan manusia dalam kerugian, setidaknya tidak terlalu rugi atau sangat rugi. Waktu adalah misteri, ada banyak rahasia di dalamnya. Niatkanlah segala sesuatu yang kita lalui dengan ibadah, mengandung unsur ibadah agar tidak berlalu begitu saja tanpa ada nilai di dalamnya.

Pada akhirnya, semua pemaparan ideal tentang kehadiran manusia di muka bumi akan mengarah pada satu kesimpulan. Dengan segala fasilitas yang Allah berikan, membawa dua tanggung jawab sekaligus, menjadi manusia dan menghamba. Jadilah manusia seutuhnya, manusia yang menanggung segala beban dan beribadah kepada-Nya.

Buku ini sangat layak dibaca yang ditulis dengan ringan dan sederhana meski banyak sekali menyebutkan tokoh dan istilah dalam filsafat. Ngaji filsafat yang katanya rumit, menjadi mudah dengan dibumbui humor. Renyah menjadi bahan bacaan di waktu senggang. Dengan gaya khasnya, buku ini mengusung misi penting dan ingin menyumbang perspektif dua primer ruhaniah manusia: menjadi manusia dan menjadi hamba.

Data Buku

Buku               : Menjadi Manusia, Menjadi Hamba
Penulis            : Fakhruddin Faiz
Penerbit          : Naura Religi
Terbitan          : November, 2020
ISBN               : 978-623-424-154-7

Multi-Page

Tinggalkan Balasan