Mantra Kiai Ikhlas

6,598 kali dibaca

Sebut saja Namanya Mbah Ikhlas, seorang kiai kampung yang terkenal di seantero desa, bahkan sampai desa-desa lain. Mbah Ikhlas terkenal sebagai kiai yang pinter nyuwuk (mengobati dengan doa). Beberapa jenis penyakit bisa sembuh berkat doa yang dibaca Mbah Ikhlas. Mbah Bejo, misalnya, penderita sakit kronis yang sudah divonis dokter, ternyata sembuh dan hilang penyakitnya setelah minum air doa yang diberikan Mbah Ikhlas. Pengalaman yang sama juga dialami Wak Kaji Murod, pengidap penyakit gula yang sudah menahun. Sudah puluhan kali berobat ke rumah sakit dan puluhan dokter berganti menangani penyakitnya, tapi Wak Kaji Murod tidak kunjung sembuh, bahkan belakangan menjalar menyerang ginjalnya. Semua penyakit itu hilang setelah minum air doa dari Kiai Ikhlas.

Sudah ratusan orang memiliki pengalaman sama dengan Mbah Bejo dan Kaji Murod. Tak hanya mengobati penyakit, doa Kiai Ikhlas juga terbukti manjur menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi orang-orang yang meminta tolong padanya. Mulai usaha bangkrut, sulit menjcari kerja, sampai berdagang yang macet semua bisa terselesaikan dan berhasil setelah minta doa pada Kiai Ikhlas.

Advertisements

Kemasyhuran Kiai Ikhlas sebagai ahli hikmah yang doanya makbul ini juga terdengar oleh para politisi dan pejabat. Banyak politisi yang datang ke rumahnya untuk minta doa agar terkabul hajatnya. Terutama menjelang pilkada atau pileg. Para pejabat juga sering datang ke Kiai Ikhlas untuk minta doa supaya naik jabatan. Banyak di antara mereka yang berhasil menduduki jabatan tinggi dan menjadi anggota legislatif di berbagai tingkatan.

Meski doanya manjur dan sudah banyak menolong orang, namun hidup Kiai Ikhlas tidak banyak berubah. Rumahnya tetap sederhana, bahkan cenderung tidak layak. Tak ada perabotan yang berharga di dalamnya. Pakaiannya juga sangat sederhana, hanya kopiah tua warna hitam yang sudah kecoklatan, baju putih kumal karena sering dicuci, dan sarung kotak-kotak yang sudah nglunthung (melipat) ujungnya karena tidak pernah disetrika.

Sebenarnya banyak yang ingin membantu Kiai Ikhlas, terutama para pasien yang telah berhasil ditolongnya. Tetapi, dia selalu menolak. Pernah ada seorang pengusaha sukses yang pernah ditolongnya mau membantu merenovasi rumah Kiai Ikhlas supaya lebih layak. Tapi Kiai Ikhlas menolak dan menyarankan agar bantuan tersebut disumbangkan untuk pembangunan masjid di desanya yang sedang dipugar.

Pernah juga ada politisi dan pejabat yang menawari bantuan membangun pondok. “Supaya Pak Kiai punya santri dan ilmunya bisa ditularkan. Sebaiknya Pak Kiai bikin pondok,” usul sang politisi. “Soal bangunannya biar kami yang urus sampai jadi. Pak Kiai tidak usah memikirkan darimana biayanya,” timpal sang pejabat meyakinkan Kiai Ikhlas

Ah… mboten, kulo mboten saged ngaji, kulo niku isone naming donga. Nek ajeng mbantu nggih teng pondok nopo tiyang fakir mowon sing langkung mbetahaken,” (Nggaklah… saya tidak bisa mengaji, saya ini bisanya cuma berdoa. Kalau memang niat mau memantu yang serahkan saja kepada pesantren atau orang fakir yang lebih membutuhkan), deikian jawab Kiai Ikhlas mantap dan tegas.

Memang, Kiai Ikhlas tidak bisa mengaji. Dia hanya bisa baca al-Quran dan tidak bisa membaca kitab. Dia lebih dkenal sebagai kiai hikmah dari pada kiai ilmu. Meski tidak mengaji, namun masyarakat tetap menganggapnya sebagai orang alim, kerana doa-doanya yang sering diijabah oleh Allah dan laku hidupnya yang sangat menjunjung tinggi sikap zuhud dan wira’i. Bahkan ada sebagian yang meyakini bahwa sebenarnya Kiai Ikhlas itu seorng alim dan bisa baca kitab. Namun karena sikap tawadlu-lah yang membuat dia menutupi kealimannya itu dengan berpura-pura bodoh.

***

Aku penasaran dengan kiai yang satu ini. Diam-diam aku mencoba menyelidiki, dari mana Kiai Ikhlas ini mendapat ilmu. Kepada siapa dia berguru dan amalan apa yang dilakukan sampai Allah memberikan kelebihan yag hebat itu kepadanya. Aku bukan curiga dia menggunakan ilmu hitam atau menggunakan bantuan jin (rewangan), karena yang aku lihat praktik doa yang diucapkan serta ritual yang dilakukan benar-benar mencerminkan laku tasawuf dan sesuai syariah.

Akhirnya aku bertemu Habib Ahmad, seorang mursyid tarekat yang alim dan memiliki banyak murid. Bib Ahmad tahu persis sejarah dan proses perjalanan hidup Kiai Ikhlas mulai dari awal hingga menjadi seorang ahli hikmah yang sangat terkenal itu.

“Kiai Ikhlas itu orang hebat…,” kata Habib Ahmad waktu saya bertanya tentang Kiai Ikhlas. “Beliau itu awalnya santri yang sederhana dan lugu. Dia bukanlah santri yang berkecukupan, baik secara materi maupun ilmu. Tapi dia memiliki tekad yang besar untuk belajar agar hidupnya bisa bermanfaat bagi orang lain, bisa menolong banyak orang,” demikian kata Bib Ahmad memulai ceritanya.

“Akhirnya berjumpalah dia dengan guru kami, sang Mursyid Agung dan menyampaikan hajadnya,” cerita Bib Ahmad lebih lanjut.

Sang Mursyid Agung memandangi pemuda Ikhlas yang lugu itu dengan sorot mata tajam kemudian berkata: “Kamu baca saja istighfar serratus kali, sholawat seratus kali, dan fatehah tujuh kali,” kata sang Mursyid Agung sambil terus menatap tajam Ikhlas. “Sudah, sekarang kamu pulang. Amalkan saja wirid ini setiap selesai salat. Insya Allah hidupmu akan bermanfaat dan bisa menolong banyak orang,” perintah sang Guru.

Tanpa bertanya lebih lanjut, ia langsung pulang, mengamalkan perintah sang guru secara istiqamah, hingga menjadi kiai ahli hikmah yang masyhur. Setelah terkenal, Kiai Ikhlas ingin sowan ke gurunya, sang Mursyid Agung. Kedatangan Kiai Ikhlas membuat majlis heboh, banyak orang berebut ingin salaman, cium tangan dan ngalap barokahnya. Saat memasuki rumah gurunya, dia baru dapat kabar bahwa sang Mursyid Agung sudah meninggal berapa waktu yang lalu.

Untuk menghormati kedatangan Kiai Ikhlas sekaligus mendoakan guru yang sudah meninggal, akhirnya dilaksanakan doa istighatsah. “Pak Kiai, malam ini kita akan melaksanakan istighatsah, membaca doa ijazah yang diberikan oleh Sang Mursyid Agung kepada murid-muridnya,” kata seorang santri senior pada Kiai Ikhlas.

Singkat cerita, pada malam itu dilaksanakanlah istighatsah yang diikuti Kiai Ikhlas dan semua santri di pesantren sang Sufi Agung. Kiai Ikhlas mengikuti dengan khusyu, tapi hatinya bertanya, katanya hanya baca doa wirid ijazah sang Guru, kok ini panjang sekali. Tak kuat menahan gejolak hati, akhirnya setelah istighatsah selesai, Kiai Ikhlas bertanya pada kiai yang memimpin istighatsah:

“Ini tadi wirid apa, kiai?”

“Ya ini wirid yang diberikan olah sang Musryid Agung.”

“Lho, kok panjang amat,” tanya Kiai Ikhlas penasaran.

“Emang Pak Kiai dulu diberi ijazah apa sama Syech Mursid Agung?”

“Aku diijazahi suruh baca istighfar 100 kali, shalawat 100 kali, dan fatehah tujuh kali.”

“Lha yang kita baca tadi kan itu, Kiai. Emangnya Kiai Ikhlas bacanya bagaimana?”

“Ya karena sang Guru perintah seperti itu, maka doa yang saya lafalkan yang seperti itu. Setiap selesai salat saya melafalkan istighfar serratus kali, shalawat seratus kali, fatehah tujuh kali. Sudah begitu saja. Bahkan, setiap ada orang yang minta tolong, doa yang saya ucapkan ya lafal itu, karena itu yang diperintahkan guru pada saya,” jawab Kiai Ikhlas mantab.

“Subhanallah…,” pekik Bib Ahmad sambil menghela napas.

“Itulah Allah, tidak pernah melihat hamba-Nya semata-mata dari ilmunya, tapi juga dari keikhlasan dan kebersihan hatinya. Terkabulnya doa tidak tergantung pada bahasa dan redaksinya, tapi pada ketulusan dan kebersihan hati otang yang meminta. Orang alim, berilmu tinggi, pandai merangkai kata indah, belum tentu terkabul doanya jika hatinya kotor, sombong, dan penuh kepentingan. Tetapi, Kiai Ikhlas yang tidak punya ilmu, hanya melafal kata yang tidak dipahaminya, tapi karena hatinya bersih, ikhlas, yakin, dan istiqamah maka doanya diijabah oleh Allah. Inilah kekuatan ikhlas, dan hati yang bersih,” jelas Bib Ahmad mengakhiri ceritanya.

Aku tersadar, ternyata mantra Kiai Ikhlas yang hebat itu adalah sikap istiqamah, kebersihan hati, keikhlasannya. Sederhana tapi berat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan