MALAM SERIBU BULAN

2,912 kali dibaca

MALAM SERIBU BULAN

Terbanglah berjuta kubah cahaya
dari kibasan sayap beribu kuda
dari bening air beribu telaga
dari sisa asap beribu dupa

Advertisements

Terbang, terbanglah aku ke sepenuh angkasa
jubah melambai di atas beribu pelana
beribu wajah tanggal dari rupa
beribu wajah tinggal di dasar telaga

O malam, malam seribu bulan
dengan cahayamu alam berdandan
O malam, malam seribu bulan
beribu wajah beribu rupa bertanggalan

Terbang, terbanglah berjuta kubah cahaya
dari kibasan sayap beribu kuda
Terbang, terbanglah aku ke sepenuh angkasa
dari sisa asap beribu dupa

MENUNGGU JIBRIL (1)

Karena kehidupan dimulai dari membaca— membaca angin, membaca cahaya, membaca suara, membaca sepi, membaca tangis, juga membaca yang tak terbaca

Jibril, kepada bangsa yang buta ini, cuma kau yang bisa menitah perintah: iqra! Dan bacalah! Dan kehidupan pun dimulai

Jibril, datanglah kepada bangsa yang buta ini— yang tak bisa membaca arah angin, yang tak bisa membaca sumber cahaya, yang tak bisa membaca nada suara, yang tak bisa membaca rintih sepi, yang tak bisa membaca isak tangis, yang tak mampu mengeja segala tiba

Titahkanlah nyanyianmu, Jibril…

Duhai semua guru peradaban, ajari aku membaca
Duhai semua guru bangsa, ajari aku menangis
Duhai semua guru budi, ajari aku tersenyum
Duhai semua guru sufi, ajari aku tertawa

MENUNGGU JIBRIL (2)

Tapi siapa lagi yang mampu mengosongkan hati pada gua yang berdinding angin beratap cahaya berlantai debu basah. Tapi masih adakah yang mau mencari diri pada gua yang akrab dengan sunyi yang jauh dari segala riuh. Tapi masih adakah yang datang tanpa dari dan tiba tanpa tuju— sebuah kekosongan yang cuma ada untuk menunggu segala tiba

Sedang Jibril masih bersayap. Awan-awan bergerak mengarak. Ke mana lagu akan didendangkan? Ke mana kidung akan dinyanyikan?

Sedang kita menunggu pun tidak. Kita adalah penyanyi tanpa nada, lagu tanpa irama. Sedang kita tak pernah bersekutu dengan waktu. Kita adalah binatang yang berlaksa mau. Kita adalah pemahat berjuta hasrat

Dan kita cuma menunggu. Lalu cuma menggenggam udara— sebuah hampa yang terbungkus. Tanpa ketukan nada. Tanpa suluk yang membungkus sabda

Multi-Page

Tinggalkan Balasan