Logika dan Mistika: Dua Sayap yang Membawa Kita Terbang

Langit senja di kampung halaman selalu mengingatkanku pada dongeng kakek: bintang jatuh adalah suratan takdir, gemericik sumur adalah bisik-bisik leluhur. Saat itu, Tuhan hadir dalam hal-hal kecil—semerdu doa ibu yang menenun malam, sesepi jangkrik di balik rerumputan, semisterius bayangan pohon nangka yang bergoyang seperti rahasia kuno. Dunia terasa utuh; logika dan rasa masih berpegangan tangan.

Namun kedewasaan membawa perpecahan. Sekolah mengajari kami membedah katak demi memahami kehidupan, kampus menyatakan hanya data yang sahih yang diterima, mesin pencari menjanjikan semua jawaban dalam 0,3 detik. Perlahan, kami belajar memisahkan diri: di satu sisi meja ada kalkulus dan teori evolusi, di sisi lain diam-diam tersimpan rindu pada keajaiban.

Advertisements

Lalu datang Tan Malaka dengan MADILOG-nya, bagai angin segar di tengah kebekuan dogma. “Jadilah merdeka!” bisiknya dari halaman-halaman buku usang. Materialisme mengajak kami menyentuh kebenaran melalui benda nyata. Dialektika melatih kami berdebat dengan hantu-hantu pemikiran. Logika menjadi pisau bedah yang membedakan fakta dari ilusi. “Inilah jalan revolusi,” katanya, “berpikirlah atau mati!”

Tetapi hidup kerap lebih liar daripada laboratorium. Ada malam-malam ketika spreadsheet tak mampu menjawab kegelisahan yang menggerogoti tulang rusuk. Algoritma tak mengenali kesepian di balik senyum dengan filter Instagram. Penjelasan logis hanya tumpah seperti koin dari saku bolong, sementara hati tetap menggantung di langit-langit, bertanya-tanya tentang sesuatu yang hilang.

Di titik itulah mistika hadir.

Ia datang bukan sebagai lawan logika, tetapi sebagai bahasa lain realitas. Dalam air mata yang tiba-tiba jatuh saat kau memandang langit biru. Dalam mimpi tentang ibu yang telah tiada, menyapamu dengan dialek masa kecil. Dalam desau angin yang terasa seperti jubah sesuatu yang tak terlihat. Mistika adalah getaran di bawah kulit yang berbisik: “Ada lebih banyak hal di langit dan bumi daripada yang tercatat di spreadsheet-mu…”

Pernah kau berdiri di tepi pantai memandang bulan? Logika akan bercerita tentang gravitasi, pasang surut, dan refleksi cahaya matahari. Mistika akan membisikkan puisi Rumi: “Bulan bukanlah bulan; ia hanya jari yang menunjuk pada bulan.” Dua kebenaran yang saling melengkapi, seperti dua sisi koin yang sama.

Kita manusia adalah makhluk paradoks: kaki berpijak di tanah yang dapat diukur, sementara jiwa merindukan sesuatu yang tak terdefinisikan. Lihatlah ayat Al-Qur’an ini:  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)

“Orang berakal” (ulil albab) bukan sekadar robot penghitung data, melainkan penyelam yang mampu menukik ke samudera makna dengan akal dan kalbu sekaligus.

Di zaman algoritma ini, kita membutuhkan MADILOG lebih dari sebelumnya, untuk tetap kritis terhadap hoaks dan skeptis terhadap dogma. Namun kita juga merindukan ruang tanpa Wi-Fi: zikir yang tak perlu direkam menjadi podcast, keheningan yang tak diubah menjadi konten TikTok, doa yang hanya diketahui hujan dan malaikat.

Karena kita terbuat dari tanah yang nyata dan debu bintang yang misterius. Kita dapat menghitung jarak Bumi ke Matahari hingga desimal terakhir, tetapi juga bisa menangis tanpa sebab saat mendengar azan maghrib. Mungkin keagungan kita terletak pada persimpangan itu: saat logika menuntun tangan kita membangun peradaban, sementara mistika membisikkan mengapa peradaban itu perlu dibangun.

Di senja yang bergerak pelan ini, aku mendengar lagi suara kakek: “Jangan kau potong sayapmu, Nak. Terbanglah dengan keduanya”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan