Literasi Pesantren, dari Monologis ke Dialogis

1,360 kali dibaca

Demi kepraktisan dan kemajuan, tentu kita harus mengakui bahwa perkembangan literasi di pesantren sejauh ini masih meniscayakan kondisi paradoks yang cukup rumit. Paradoks tersebut terindikasi dari tidak konstannya sistem yang diterapakan, terutama perihal konstruksinya yang cenderung monoton dan monolog.

Padahal, kajian literasi di lingkungan pesantren mengajarkan pelbagai macam varian keilmuan yang cukup heterogen, mulai dari kajian klasik sampai kontemporer. Namun, heteroginitas tersebut tidak disikapi secara apresiatif. Ia justru berhenti pada level take and give, diberi untuk diterima. Bukan untuk dikaji, didiskusikan, apalagi dikritisi kompleksitasnya.

Advertisements

Anehnya, tidak banyak dari elemen pesantren (mungkin hanya Gus Dur) yang berusaha untuk memodifikasi kekeliruan epistemik-parsial ini, entah sudah dianggap mapan atau karena sengaja. Padahal, stagnansi sistem model demikian sangat berdampak signifikan bagi produktivitas dan kreativitas santri yang berdomisili di dalamnya.

Tulisan ini sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk dapat memberikan opsi atau jalur alternatif bagi kontruksi dan perubahan sistem literasi di pesantren ke depannya. Mulai dari sistem pengajaran monolog menuju dialog dan dari sistem mengaji menuju mengkaji

Literasi Dialektis

Secara simplistis, literasi lebih memprioritaskan pada hal-hal yang bersifat interpretatif, yaitu kemampuan individu untuk memahami sekaligus mengkritisi objek yang ada di sekitarnya. Kemampuan untuk memahami dan mengkritisi ini tidak bisa muncul secara spontan, ia membutuhkan stimulasi yang intens dan konsisten, dan karenanya harus terus dilatih dengan cara mendiskusikannya secara dialektis (dialogis-kritis).

Lingkungan pesantren sangat jarang mempraktikkan model literasi demikian. Pesantren menawarkan sistem dengan pola yang berbeda, yaitu pengajian monologis. Model demikian tidak berarti salah secara keseluruhan. Dalam beberapa momentum, sistem pengajian monologis sangat efektif untuk diterapkan, terutama pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat teologis-doktriner, walaupun pada titik tertentu juga membutuhkan pendekatan dialektis.

Penting untuk diperhatikan, pada momen tertentu, pendekatan monologis tentu cukup rentan mengarah pada klaim kebenaran sepihak (eksklusivis). Sebab, ia tidak membuka ruang adanya koreksi dan kesempatan untuk memahami sesuatu dari sudut pandang yang lain. Paradigma yang sempit itu, pada kulminasinya akan menghilangkan daya kritis terhadap sesuatu yang seharusnya masih membutuhkan pengkajian dan penalaran.

Untuk meminimalisasi hal yang demikian, pesantren harus bisa membuka horizon cara berliterasi yang lebih konstruktif dan elaboratif. Jika terus menerus mempertahankan cara berliterasi monolog, dampak yang lebih besar akan terjadi, pesantren akan kehilangan peminatnya! Tentu ini bukan yang kita harapkan.

Karena itu, sudah saatnya pesantren memberikan kemampuan literasi yang konstruktif bagi santri-santrinya. Santri perlu mengetahui pelbagai ragam perspektif, mereka jangan dipaksakan untuk menerima satu perspektif saja. Santri harus dituntut untuk memberangus kebodohan dan ketakutan dalam diri mereka dengan cara berdialog. Sekali lagi ini adalah demi kebaikan santri ke depannya.

Warisan Islam Klasik

Salah satu virus akut yang masih menjangkit dalam sistem literasi pesantren adalah perasaan “curiga”. Curiga pada “perspektif baru”, yang disinyalir dapat mengurangi nilai-nilai religius, menciderai ketakwaan, dan merusak kredo iman. Perspektif baru ditolak dengan alasan yang sangat abstrak dan irrasional, yaitu untuk menjaga “kemurnian akidah” dari sesuatu yang bidah.

Kecurigaan ini tentu dapat menghilangkan dinamika dan semangat para pemangku pesantren untuk mengkaji keilmuan. Kita mungkin lupa, bahwa melek literasi dan kesalehan senantiasa berjalan seiring dan mengantarkan peradaban keislaman pada gerbang puncak kejayaan.

Kejayaan masa Islam klasik ditandai dengan warisan literatur yang sangat luar biasa. Lihat betapa banyaknya genre kitab-kitab yang telah ditulis oleh mereka, mulai dari ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh, sampai pada filsafat, dan yang pasti tak dapat dikuantifikasikan.

Kita tentu tahu, betapa banyaknya kalkulasi karya-karya yang telah diterbitkan oleh Al Kindi, Al Asy’ari, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Al Afghani sampai dengan Muhammad Abduh. Mereka adalah patron sekaligus permata khazanah intelektual Islam yang terus mendiseminasi literasi agama agar tetap suluh.

Tokoh-tokoh di atas melahirkan pelbagai produk tajdid (pembaharuan), sekaligus memegang andil dalam mengkonstruk dan menyelamatkan peradaban Islam, sejak ditinggal oleh Nabi Muhammad hingga zaman kontemporer saat ini.

Jika ulama klasik sudah mewariskan kekayaan literasi yang sedemikian masifnya, maka tak ada alasan lagi bagi kita untuk membatasi diri pada alasan-alasan absurd. Sebab, pembatasan diri pada hakikatnya adalah mencegah diri untuk tahu, dan inilah yang umumnya tidak kita sadari, atau pura-pura tidak sadar.

Lingkungan pesantren harus secara asertif memobilisasi para santri untuk belajar apa saja. Jika hanya menekankan santri untuk cukup tahu satu bidang saja, secara eksplisit kita menekankan mereka untuk tidak tahu apa-apa. Dan ulama klasik zaman dahulu tidak pernah mewariskan budaya yang demikian. Pentingnya mengembalikan kembali literasi yang bersifat dialogis-rasional harus terus kita kawal. Budaya yang demikian setindak demi setindak mulai memudar dan hampir punah, padahal literasi yang didasarkan pada semangat dialogis-rasional merupakan kunci peradaban Islam.

Satu hal yang ingin saya tegaskan di dalam tulisan ini adalah, egoisme monologis yang berlebihan terhadap sesuatu yang tidak semestinya pada hakikatnya tidak pernah tercermin dalam sejarah peradaban Islam. Pesantren tentu memerlukan silang budaya, silang inspirasi, dan silang pengetahuan dengan peradaban di luar pesantren. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan progresivitas dunia pesantren yang drastis.

Oleh karena itu, untuk memulai adagium “pesantrenku berliterasi” kita harus hilangkan stagnasi sistem berpikir, dengan cara berkaca pada potret warisan khazanah intelektual Islam klasik yang telah mapan. Kita (dan saya pribadi khususnya) sangat yakin bahwa pesantren akan menjadi pusat sentral peradaban yang fantastis di masa-masa berikutnya. Ada dua jalan untuk meraih hal itu, yaitu stupid way atau smart way!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan