Layang Anbiya dan Kisah Nabi Ibrahim

4,892 kali dibaca

Sembilan ulama penyebar Islam di Jawa yang dikenal sebagai Wali Sanga diketahui memiliki cara-cara khusus dalam mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu masih menganut kepercayaan dan tradisi Hindu-Budha. Salah satu cara tersebut adalah dengan mengenalkan nabi dan rasul Allah dengan gaya cerita khas Jawa. Tujuannya, agar masyarakat Jawa senang dan mudah mengenal nabi dan rasul.

Kisah nabi dan rasul yang dituliskan dalam bahasa Jawa tersebut termuat dalam manuskrip Layang Anbiya. Manuskrip ini ditemukan di Paciran, Lamongan, Jawa Timur, yang merupakan karya Sunan Drajat. Salah satu nabi yang kisahnya termuat dalam Layang Anbiya adalah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim merupakan salah satu nabi dan rasul yang memiliki banyak keistimewaan. Di antara keistimewaannya, Nabi Ibrahim adalah seorang ahli logika, ahli mantiq, memiliki kesabaran yang luar biasa (ulul azmi), memiliki keturunan yang mayoritas menjadi nabi dan rasul (abul anbiya’ atau bapak para nabi, mendapat julukan khalilullah (kekasih Allah), dan masih banyak keistimewaan yang lainnya.

Advertisements

Dalam Islam, Nabi Ibrahim dikisahkan sebagai putra dari seorang pembuat berhala yang bernama Azar. Sedangkan, dalam Layang Anbiya Nabi Ibrahim dikisahkan sebagai putra dari patih Raja Namrud yang bernama Patih Najar. Kelahirannya pun sudah diramalkan akan menjadi musuh dan pengahncur Raja Namrud. Sehingga, Raja Namrud yang mendengarkan ramalan itu, bergegas memerintahkan patihnya untuk mengumumkan pada rakyatnya agar tidak melakukan hubungan suami istri selama tiga hari tiga malam. Laki-laki dan perempuan harus terpisah selama tiga hari tiga malam.

Syahdan, pada malam itu istri patih Najar merasa ingin sekali bertemu suaminya dan datang ke kerajaan. Patih Najar yang melihat istrinya datang, kaget dan ketakutan. Jika Raja Namrud mengetahui pasti akan marah besar. Ketika Raja Namrud sedang tidur, terjadilah Patih Najar dan istrinya berhubungan suami istri. Berikut kutipannya dalam Layang Anbiya :

Sri Naranata, lah patih undangana, salabeting tigang dalu, ajana wang sacumbana. Jalu klawan pawastri, lah pada sira pisaha, wang Babul sarupane, Patih amatur sandika, aluaran Sang Nata, sampun lumebing kedaton, ing Sri Naranata. Saking takdiring Hyang Widi, garwane Najar semana, kagegas saking rasmine, ing kakung pulang asmara, risaksana lumampah, malebet ing jero kedaton, ing dalu tanana wikan. Najar kageyat tumungal, sadatenge garwanipun, kumenyut teyas takonan. Saking takdire Hyang Widi, prapti jin mateni damar, tan antara sapatemon, sacumba ngulu nira, Sang Nata nuju nindra, pinareng nuthfah tumurun, sampune tedak winarna. (Layang Anbiya, 2016: 65)

Dalam Layang Anbiya, Raja Namrud disebut dengan Sri Naranata yang dalam bahasa Jawa berarti sang raja. Ketika sudah waktunya tiba, dan raja bertanya kepada ahli tafsir tentang apaakah musuhnya masih ada di dunia, ahli tafsir menjawab, “Ya Gusti sudah dekat, nutfah turun kepada rahim perempuan pada malam hari dan raja tidak tahu.”

Raja berkata, “Patih, apa yang kau lakukan sehingga kau tidak tahu apa-apa!”

Patih Ahmad menjawab, “Mohon maaf paduka, yang hamil akan diperiksa dan akan diberitahukan kepada raja.”

“Tanpa dosa harus dibunuh, itu keinginanku, jika keluar laki-laki bunuhlah, istrinya Najar sedang hamil tua, hamilnya sudah sembilan bulan,” kata Raja.

Ketika Istri patih Najar akan melahirkan, ia keluar rumah menjauhkan diri dari kota dan tinggal hutan. Di hutan, ia melahirkan di dalam gua. Bayi yang dilahirkan laki-laki dan tampan wajahnya. Setelah itu ia bergegas meninggalkan gua.

Setelah sampai di rumah, ia ditanya oleh suaminya, “Kenapa perutmu sudah kempis?”

“Saya keguguran semalam dan sudah saya keluarkan dan saya buang,” jawabnya.

Patih kemudian kembali ke istana dan melaporkan kepada raja kalau istrinya keguguran dan sudah dibuang di hutan lalu dimakan harimau. Sang raja berkata, “Jika seperti itu carilah, beritahukan pada semua orang, jika bayinya ketemu, bakarlah buang abunya.”

“Wus katur Sri Narapati, garwane Najar awawerat, yen metu lanang pinaten,sapa ingkang awaweka, lanang ing jeroning mongso, pinaten dening Sang Prabu. Garwane Najar winarni, ing dalu arsa waweka, ke-mangan tambuh polahe, medal saking padaleman, miyosi jawining kito, praptaing wana era ing gunung, apuputra jeruning gua. Sampune tinelar mulih, babayi kantun ing gua, jalu abagus warnane, kawarnaha ingkang ibu, injang sami tinakenan. Patih Najar saking kemit, anengali saumahira, teka wus kempir wetege, paran ramping weteng ira, ature garwa amba, karuroning wau dalu, medal lase kulo bujal”. Patih matur ing Narapati, yen rabi kula waweka, kaluroning wau dalu, medal lase wus binujal. Ing wana sineleh siti, kados yen tineda macan, Sang Raja Namrud wuwuse, yen mangkana ulatana, uningaha wang katah, yen jabang bayi katemu, abongen awu binujal.

Sang raja dan patihnya segera mencari bayi Patih Najar, dan Allah memerintahkan malaikat membawa anak jin yang telah mati, dibelah dan diletakkan di tanah. Bayi jin itu akhirnya ditemukan oleh patih raja, dan dilaporkan kepada raja. Setelah raja mendengar kabar itu, ia merasa lega dan senang, sementara itu istri patih Najar menceritakan yang sebenarnya dan mengajaknya ke gua untuk melihat anaknya.

Setelah sampai di gua, Patih Najar dan istrinya kagum melihat sang bayi yang bercahaya seperti rembulan. Bayi itu diberi nama Ibrahim dan disembunyikan dalam gua sampa dia remaja, saat dia mulai memikirkan siapa yang seharusnya disembah. Ia kemudian melihat matahari, bulan, dan bintang yang semuanya akan padam pada waktunya.

Kemudian, Allah mengilhamkan kepadanya bahwa Tuhan yang harus disembah hanya Allah. Sejak itu Nabi Ibrahim membenci berhala, padahal ayahnya senang membuat berhala untuk dijual. Tapi, Nabi Ibrahim malah merusak berhala dan mengatakan kepada ayahnya jangan menyembah berhala, tapi ayahnya tetap pada keyakinanya.

Ketika raja ingin menyembah berhala dengan berbagai perayaan, Nabi Ibrahim telah merusak banyak berhala dan hanya menyisakan satu berhala yang paling besar. Saat itu Nabi Ibrahim telah meletakkan kapak di pundak berhala itu sebagai tanda bahwa berhala yang paling besarlah yang merusak berhala lainnya.

Melihat semua itu, raja marah dan bertanya kepada rakyatnya, “Siapa yang berani-berani merusak berhala-berhala ini!”

“Semua orang di kerajaan Babul tidak aada yang berani merusak berhala gusti, ini pasti perbuatan Ibrahim. Hanya dia yang tidak suka dengan berhala.”

“Cepat panggil Ibrahim, suruh dia menghadap padaku!” perintah sang raja.

Setelah Ibrahim menghadap raja, ia bertanya, “Kenapa kau merusak Tuhanku?”

Ibrahim menjawab, “Silakan paduka periksa adakah bukti bahwa aku yang merusaknya? Lihat berhala yang satu itu, dialah rajanya berhala, tanyakan kepadanya, kalau raja berhala itu tidak  bisa menjawab, maka ada bukti kapak dipundaknya.”

Sang raja terdiam dan menahan marah. Nabi Ibrahim berkata, “Berhala itu kau yang membuatnya dan diserupakan dengan manusia. Mereka tidak punya penglihatan dan tidak bisa bicara. Berhala-berhala itu hanya Tuhan yang sia-sia. Yang seharusnya disembah adalah Tuhan yang menciptakan dunia dan alam seisinya, yang memberi balasan dan siksa yang disebut sebagai Allah ta’ala, Tuhan yang saya sembah. Masuklah agama Islam kalian semua! Dan ucapkan Laa Ilaaha Illallah, Ibrahim Halilullah.”

Sang raja yang naik darah, dan telah memuncak kemarahannya, berkata, “Semuanya, tangkap Ibrahim! Pegang dia, ikatlah ia pada kayu, aku akan membakarknya hidup-hidup.”

Segala persiapan pembakaran nabi Ibrahim dilakukan. Tumpukan kayu dan minyak sudah tertata hingga waktunya nabi Ibrahim dinaikkan ke atas pembakaran dengan api yang menyala-nyala. Segera malaikat Jibril datang diiringi malaikat lainnya dan menawarkan bantuan.

“Wahai Ibrahim halilullah, engkau sedang dalam kobaran api, selagi nyala api masih di bawah dan belum naik ke tubuhmu, izinkan aku mengepakkan sayapku di laut dan aku bisa memadamkan api ini dengan air dari sayapku.”

Nabi Ibrahim berkata, “Jika itu bukan perintah dari Hyang Sukma, maka jangan lakukan itu.”

Mendengar jawaban Ibrahim, malaikat Jibril pun pergi. Sekarang giliran malaikat Mikail datang. “Wahai tuan, hamba kasihan melihat tuan. Hamba akan mendatangkan hujan dan segera api akan padam, orang kafir akan musnah,” kata malaikat Mikail.

Nabi Ibrahim menjawab, “Jika itu bukan kehendak Sang Hyang, sudahlah tidak perlu.”

Malaikat Mikail pun pergi, dan datanglah malaikat Israfil menawarkan bantuan. “Bagaimana tuan, hamba akan menolong tuan menurunkan hujan dan api akan mati.”

Nabi Ibrahim tetap menolak jika bukan perintah dari Allah. Terakhir, malaikat Izrail datang dan berkata, “Apa tuan tidak meminta pertolongan kepada Allah ta’ala saat orang kafir membakar tuan?”

Nabi Ibrahim menjawab, “Mundurlah dari api ini, hanya kasih sayang Sang Hyang yang hamba minta, tidak ada yang lain, Allah sama’ bashir, Maha Mengetahui sakit, mati, dan lainnya.”

Dalam kobaran api, Nabi Ibrahim membaca “qul yaa naarukuuni bardan wa salaman” (wahai api matilah, datanglah dingin, selamatkan Ibrahim). Seketika api pun padam. Semuanya menjadi dingin seolah Nabi Ibrahim berada di tengah taman yang dikelilingi sungai dan pemandangan yang indah, dipenuhi bunga dan buah-buahan.

Melihat keadaan Nabi Ibrahim yang baik-baik saja, Raja Namrud marah besar dan memerintahkan seluruh prajuritnya untuk membunuhnya. Akan tetapi, patihnya memberikan saran kepada Raja Namrud agar lebih berhati-hati kepada Nabi Ibrahim yang dipandang sakti karena sudah bisa memadamkan api, dan kembali hidup-hidup dari kobaran api. Akhirnya, raja pun mengikuti nasihat patih dan menunggu waktu yang tepat untuk melawan nabi Ibrahim.

Suatu ketika, diceritakan seorang putri Raja Syam cantik jelita bernama Dewi Sarah yang tidak mau dijodohkan, dan hanya ingin menikah dengan syarat ada sayembara. Dalam sayembara, disebutkan bahwa barang siapa berhasil menangkap sapu tangan sang dewi, maka ia-lah yang akan menikahi Dewi Sarah.

Akhirnya semua orang berkumpul di lapangan, dan Nabi Ibrahim menyaksikan sayembara itu. Dewi Sarah berada di tengah-tengah lapangan dan melemparkan sapu tangannya, tak disangka sapu tangan itu jatuh tepat di pundak Nabi Ibrahim, sehingga semua orang tahu bahwa yang berhasil memenangkan sayembara sang Dewi adalah Nabi Ibrahim.

Raja Syam berkata kepada Nabi Ibrahim, “Kaulah orang yang berhak menikah dengan putriku.”

“Jika demikian, hamba mau asal agama kita sama. Aku tidak mau jika menikah dengan orang yang menyembah berhala,” jawab Nabi Ibrahim.

Sang raja berkata, “Beraninya kau meminta kami mengubah keyakinan kami!”

Mendengar hal itu, Dewi Sarah memohon kepada ayahnya agar diizinkan mengikuti agama Nabi Ibrahim, karena kalau tidak, Dewi Sarah lebih memilih kehilangan nyawa daripada tidak menikah dengan Nabi Ibrahim. Akhirnya, sang raja iba terhadap putrinya dan mengizinkan sang putrid. Begitu pula, sang raja dan seluruh rakyatnya mengucap syahadat dan mengikuti agama Nabi Ibrahim.

Alur cerita Nabi Ibrahim mulai dilahirkan hingga berhasil menikahi Dewi Sarah dengan memenangkan sayembara tidak diceritakan dalam Islam karena semua itu tidak disebutkan dalam al-Quran. Alur cerita tersebut dituliskan oleh Sunan Drajat dengan ciri khas cerita sastra Jawa tentang kepahlawanan seorang tokoh, dan masyarakat Jawa memang menyukai cerita yang bersifat epos, yang menceritakan kepahlawanan terlihat dari Nabi Ibrahim berhasil keluar dari kobaran api, dan juga sebagai sosok yang memenangkan sayembara berhasil menikahi putri raja dan berhasil mengislamkan raja beserta rakyatnya.

Selain itu, dalam Layang Anbiya masih menggunakan kata Sang Hyang yang dimaksudkan adalah Allah, karena masyarakat Jawa yang masih kental dengan kepercayaan sebelumnya dan sering menyebut tuhannya dengan sebutan Hyang Widi. Jadi, ada proses mengenalkan Allah kepada masyarakat Jawa bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah yang kekuasaannya melampaui Hyang Widi yang selama ini mereka yakini. Sehingga, dengan begitu, masyarakat Jawa dengan lebih mudah mengenal Nabi Ibrahim.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan