Lapar

1,835 kali dibaca

Lebih dari dua hari, adikku paling bungsu terbaring di ranjang pesakitan. Dan ia sering mengigau, memanggil-manggil ibu. Perasaan cemas pun menghampiri. Dari situlah, aku punya firasat, jika ia akan menyusul ibu ke surga.

Aku pun tidak tahu ia sakit apa, tapi kelihatannya, ia sakit karena kurang makan. Tubuhnya kurus kering. Matanya sayu dan perutnya buncit. Kulitnya tampak kering dan bersisik.

Advertisements

***

Aroma sate dan gule kambing menyusup ke hidungku saat aku berjalan melewati sebuah warung sate. Sementara perutku ingin segera dibungkam. Tapi lagi-lagi, aku tidak punya uang untuk membeli sebungkus nasi. Bahkan aku tidak bisa meyerahkan apa pun, jika harus makan tanpa membayar.

Aku melihat beberapa orang duduk melingkar dengan hidangan lengkap. Sate, gule, acar dan beberapa menu yang lain, termasuk minuman segar. Aku membayangkan jika minuman itu membasahi tenggorokanku, pastinya akan nikmat dan itu sangat membahagiakan. Bagi orang yang sedang bercengkrama dengan perut lapar, salah satu penderitaan yang paling mungkin adalah melihat orang-orang begitu lahap menyantap hidangan yang ada di hadapannya. Tentu saja, aku menderita melihatnya. Orang-orang itu juga menghina orang-orang yang sedang kelaparan sepertiku. Jika makanan itu tidak habis kemudian dibuang ke tempat sampah, betapa sakitnya orang-orang miskin yang kelaparan sepertiku.

Aku teringat mendiang ibu yang mengatakan, jika kamu lapar dan tidak ada yang bisa kamu makan, maka berpuasalah.

Maka orang-orang itu perlu berpuasa, pikirku. Ketika puasa, maka, mereka akan lapar, kemudian akan menghormati makanan dan bisa merasakan penderitaan orang-orang miskin yang tidak bisa makan.

Aku duduk di sebuah pagar jalan, menanti orang-orang selesai makan. Suara bising kendaraan terdengar seperti suara ribuan nyamuk. Dengan sabar, dengan perut lapar, aku menunggu mereka selesai makan, karena aku tahu, masih banyak makanan yang belum mereka santap dan bisa dipastikan, jika makanan-makanan itu pasti tak akan habis oleh lambung mereka.

Sebelum sisa-sisa makanan itu dibuang ke tempat sampah, aku memberanikan diri berlari mengejar pelayan warung itu sekuat tenaga. Dadaku berdegup kencang. Aku segera memanggilnya. Ia menengok ke belakang.

“Bolehkah saya mengambil sisa makanan itu? Kebetulan dari kemarin saya dan adik-adik saya belum makan,” ucapku.

Pelayan itu sedikit kaget dengan kehadiranku. Ia terdiam sejenak. Lalu memperhatikanku. Barangkali, pelayan itu iba dengan penampilanku yang melas.

“Adik saya sedang sakit,” sambungku, dengan peluh bercucuran di kening. Keringat sebagian merembes di ketiak. Kemudian pelayan itu menyuruhku untuk menunggu sebelum pelayan itu berjalan menuju dapur.

Semenjak ibu tiada, aku yang harus merawat adik-adikku. Adikku yang pertama berusia enam tahun. Sementara adikku yang bungsu baru berusia empat tahun. Sebisanya aku menghidupi mereka dengan cara apa pun termasuk memulung, terkadang mengamen. Kalau tetangga sedang membutuhkan tenaga kuli, aku juga siap mengerjakannya. Kami menghindari mengemis. Itu pesan ibu beberapa tahun yang lalu, sebelum ia mangkat.

Ketiga pekerjaan itu sangat sulit untuk kukerjakan. Menjadi pengamen, aku tidak berbakat untuk menjadi penyanyi sedikitpun. Suaraku tidak lebih baik dari suara kaleng rombeng. Orang yang mendengarnya pasti merasa risih. Aku pun tidak tahu tentang lagu-lagu yang biasanya dinyanyikan oleh pengamen. Selain itu, aku hanya berbekal tamborin yang kubuat sendiri dengan tutup botol minuman bersoda.

Pernah aku menjadi pemulung, namun aku dituduh maling. Sejak saat itu, aku sudah berhenti menjadi pemulung. Sampai kemudian, setiap ada gapura desa, ada tulisan pemulung dilarang masuk. Menjadi kuli tidak bisa kerja setiap hari. Hanya hari-hari tertentu.

Setelah aku menunggu beberapa waktu, seorang laki-laki berjalan ke arahku. Seorang lelaki paro baya dengan sorot mata yang meneduhkan menghampiriku dengan membawa bungkusan plastik hitam. Lelaki bermata teduh memberikan bungkusan itu kepadaku. Dari aromanya bungkusan itu berisi makanan. Setelah ia memberikan kepadaku, aku sangat bahagia. Sampai aku membayangkan betapa bahagianya adik-adikku bisa makan. Aku pun tidak bisa berkata apa pun, kecuali berterima kasih, sebab lelaki bermata teduh itu telah menyelamatkan hidupku dan kedua adikku untuk hari ini.

Aku sudah membayangkan betapa senangnya mereka bisa makan, terlebih adikku yang bungsu. Pasti ia akan segera sehat dan aku bisa melihat tawa riangnya kembali. Bayangan-bayangan menyenangkan sudah tergambar di benakku sambil menimang-nimang makanan yang ada di tanganku.

Aku pun tergerak untuk membuka bungkusan itu. Sungguh mengejutkan, ternyata makanan-makanan itu adalah makanan yang baru dimasak, bukan makanan sisa. Aroma daging sate harum sekali, ditambah lagi dengan bumbu kecap dan kacang yang membuat aromanya semakin menggiurkan. Selain itu, bungkusan yang kubawa ada nasi yang masih hangat. Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan, pikirku.

Aku berjalan tergesa-gesa, ingin segera mengetuk pintu dan segera menyajikan makanan yang aku bawa. Berlari kecil. Aku sudah tidak memedulikan delman yang melintas. Aku juga tidak peduli dengan mobil-mobil dinas yang super mewah yang dikawal oleh polisi dan sekelompok ajudan. Ya, kata orang-orang, itu adalah rombongan presiden yang meninjau pembangunan bandara. Sirine polisi pengawal presiden terus terdengar menggema di udara. Di tengah perjalananku, aku pun berhenti, membiarkan rombongan itu melewatiku.

Aku melempar pandanganku ke  balik kaca mobil. Aku tidak tahu mobil yang mana yang ditumpangi pak presiden. Tapi aku yakin, mobil yang paling depan itulah mobil yang dikendarai presiden, setelah dua polisi mengawalnya di bagian depan.

Selepas itu, presiden dan para rombongan berlalu. Tampak dari kejauhan, sirine masih terdengar lamat-lamat. Tetapi setelah suara itu lenyap, ada seorang perempuan berteriak minta tolong di depan gedung pengambilan uang. Dalam teriakannya, perempuan itu tengah mengalami kecopetan. Barangkali, tas perempuan itu telah disahut oleh pencopet. Dari arah barat, beberapa orang mengejar pencopet itu.

Si pencopet mencoba menggunakan jurus kaki seribu dengan berlari sekencang-kencangnya. Ia berlari di hadapanku, dan aku mencoba untuk menangkapnya, tetapi gagal. Ia terlalu tangguh untuk aku hadang. Akhirnya pencopet itu berhasil lolos.

Barangkali pencopet itu juga dalam keadaan lapar sepertiku, karena terkadang orang akan perbuat apa saja demi menghindari rasa lapar. Apalagi menghindari rasa lapar di malam hari, karena rasa lapar di malam hari lebih menyakitkan dari apa pun. Tetapi, ya sudahlah, pikirku, yang terpenting, hari ini, keluargaku bisa makan tanpa melakukan kejahatan.

Orang-orang yang mengejarnya putus asa. Perempuan yang menjadi korban pencopetan tak bisa berbuat apa-apa, selain melaporkan kasus ini ke polisi. Dari raut wajahnya, ia tidak terlalu bersedih. Tidak ada air mata yang tumpah di pelupuk matanya.

“Terima kasih bapak-bapak sudah menolong saya,” ucap perempuan itu.

“Kalau boleh kami tahu, apa saja yang ada di tas itu Bu,” tanya seorang warga yang membantu dalam pengejaran copet itu.

Perempuan itu tampak berat menjawabnya. Tapi ia tetap menjawabnya. Ia mengatakan jika tas itu berisi sejumlah uang untuk mendaftarkan haji dirinya dan suaminya. Akhirnya, perempuan itu menangis, sesenggukan. Ia bingung, harus bilang apa pada suaminya.

***

Sesampainya di rumah, aku mengetuk pintu dengan tangan bergetar. Dua kali ketukan tak ada respons dari dalam. Ketukan ketiga juga tidak ada jawaban. Jantung ini berdebar. Kemudian, aku membuka pintu dengan pelan. Daun pintu berderit. Terdengar suara tangisan dari arah kamar. Segara aku berlari lalu membuka pintu kamar. Adikku menangis. Air matanya membasahi kedua pipinya. Dalam keadaan terkejut, aku masih berdiri di hadapannya. Ia tidak menoleh sama sekali oleh kehadiranku. Matanya menatap lekat-lekat tubuh si bungsu dan menggoyang-goyangkan tubuhnya yang tergeletak tanpa bergerak. Seketika mataku memanas. Ada tenggorokan yang terasa tercekat. Pada akhirnya, air mata tidak bisa bertahan untuk tidak meleleh.

Kini si bungsu sudah menyusul ibu dan ia tidak akan kelaparan lagi.

***

Setelah kepergian si bungsu, dua hari kemudian, aku terbangun dari tidurku. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari, aku bermimpi bertemu dengan lelaki bermata teduh. Di mimpi itu, ia mempertemukan aku dengan ibu serta si bungsu. Mereka tampak begitu bahagia. Wajahnya berseri-seri mengenakan baju yang sangat indah.

Kemudian lelaki bermata teduh itu mengatakan sesuatu kepadaku. Jika aku tidak salah, ia mengatakan begini, “Seseorang bisa menjadi mulia karena dua hal, yaitu bersabar dan bersyukur. Nabi Ayub menjadi mulia karena kesabarannya, Nabi Sulaiman menjadi mulia karena rasa syukurnya.”

ilustrasi: karya heno airlangga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan