Laki-laki itu datang saat kami bertiga mulai terlelap. Awalnya aku menganggap kedatangan laki-laki itu hal biasa karena ia memang sering datang. Namun semakin lama aku mulai curiga sejak terdengar kabar miring dari orang-orang kampung tentang hubungan laki-laki itu dengan ibu. Ada sesuatu yang dia inginkan dari kami.
Malam itu aku dan kedua adikku, Wulan dan Sinta, sepakat untuk pura-pura terlelap. Kami tahu malam ini laki-laki itu pasti datang lagi. Ternyata dugaan kami benar. Diam-diam kami keluar dari kamar, mengendap-endap berjalan menuju ruang tamu, dan membuka telinga lebar-lebar.

Samar-samar kami mendengar ibu terisak. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan?
Ibu berdiri dan berkata kepada laki-laki itu dengan deraian air mata, “Sadarlah Umar! Orang sekampung sudah membicarakan kita, seorang janda beranak tiga yang selalu dikunjungi laki-laki bujang. Kau jangan segila ini!”
Laki-laki itu tertunduk lalu ia pergi.
“Kak, mengapa ibu mengusir paman Umar?” tanya Sinta. Aku tak menjawab, walaupun aku tahu alasannya. Kedua adikku masih terlalu kecil untuk mengetahui urusan orang dewasa. Walaupun masih berumur dua belas tahun, namun aku sudah paham, ternyata perkataan orang-orang kampung itu benar. Dia paman Umar. Laki-laki yang mencintai ibu kami, janda beranak tiga.
Dia datang merengkuh kami bertiga saat ayah tiba-tiba meninggal. Ia teman kecil ayah dan ibu. Ia memang sudah sangat dekat dengan kami sejak kami masih kecil. Tapi dia belum menikah padahal parasnya tampan, tubuhnya kekar, kulitnya putih, dan memiliki karier yang gemilang. Tentu secara finansial ia serba cukup. Banyak wanita yang ingin menjadi istrinya, namun ia masih saja enggan menikah. Kata ayah, ia laki-laki yang berhati mulia, tak pernah malu untuk bergaul dengan teman kecilnya yang hanya seorang kuli di pasar.
Sejak ayah meninggal, dia semakin sering datang ke rumah. Semakin memerhatikan kami bertiga, memenuhi setiap kebutuhan, bahkan juga yang membiayai sekolah kami. Awalnya ibu benar-benar menentang keras. Ia tak mau bergantung kepada siapapun. Namun laki-laki itu tetap tak mau menurut.
“Jangan kau larang aku untuk membiayai sekolah anak-anakmu. Aku memiliki utang kepada suamimu yang tak pernah bisa aku lunasi, seberapa banyak pun nominalnya. Jangan kau buat aku menyesal seumur hidup.”
Laki-laki itu memang memiliki masa lalu yang kelam saat menginjak usia remaja. Pergaulannya rusak, pecandu alkohol, dan keberadaanya membuat resah masyarakat. Ia diusir oleh keluarganya. Berbulan-bulan hidup di jalanan, hingga akhirnya ia kembali bertemu ayah. Sejak bertemu ayah, hidup paman Umar bisa terselamatkan. Ia bisa lepas dari alkohol, dan kembali menjadi seorang muslim yang taat. Keluarganya kembali menerimanya, bahkan kariernya pun melejit melebihi ayah yang hanya kuli di pasar sejak ia masih bujang.
Pernah suatu hari saat paman Umar berkunjung, Sinta tiba-tiba berkata, “Mengapa paman tak menikah saja dengan ibu agar kami punya ayah lagi?”
Pernyataan Sinta yang masih kecil itu membuat kami terbelalak. Termasuk ibu juga yang baru saja datang menuangkan minuman. Paman Umar hanya tersenyum, namun pipinya tampak merona. Sedangkan ibu, ia langsung buru-buru pergi ke dapur.
Sebenarnya apa yang di katakan Sinta ada benarnya juga. Kami butuh sosok ayah seperti paman Umar. Aku dan kedua adikku sering berandai-andai, jika dia menikah dengan ibu, keluarga ini akan kembali utuh.
Apalagi kini antara paman Umar dan ibu mulai menjadi buah bibir orang-orang kampung. Ada yang mendukung mereka untuk menikah, ada yang hanya mencibir. Entah apa yang sebenarnya mereka tunggu. Ternyata masalah rumit itu bukan berasal dari laki-laki itu yang tak mau melamar ibu. Namun, ibu sendirilah yang membuat hubungan mereka tak pernah berlanjut.
Kehadiran paman Umar yang awalnya hanya menghibur kami semakin lama berubah dengan maksud yang lain. Dia melamar ibu. Dia memendam rasa cinta sejak sebelum ayah dan ibu menikah. Ia mencintai ibu bahkan sebelum cinta tumbuh di hati ayah. Hanya soal waktu, ia terlalu lama memendam cinta hingga terlambat menyatakannya.
Dia tidak memiliki keberanian untuk meminang ibu karena saat itu hidupnya sangat hancur. Dia memutuskan untuk mengurungkan niatnya, memperbaiki hidup dulu hingga merasa pantas untuk meminang ibu. Namun ternyata ayah juga menaruh hati kepada ibu; begitu pula sebaliknya. Malam ini dia kembali datang setelah satu bulan yang lalu melamar ibu. Tujuannya masih sama. Dia tidak menyerah meski ibu sudah menolaknya.
“Susah payah aku menyingkirkan perasaan ini karena aku tak ingin merusak hubungan baik kita. Tapi aku juga sulit menerima orang lain. Itulah alasan mengapa aku tak kunjung menikah. Namun sejak pertanyaan singkat Sinta kala itu yang memintaku untuk menjadi ayahnya, seketika perasaan itu muncul kembali dan aku tak mampu mengendalikannya lagi. Maryam, bolehkah aku menjadi penghuni rumahmu untuk mengobati setiap sudut hatimu yang masih dirundung duka?”
Seketika ibu menangis mendengar pernyataan dari laki-laki itu.
“Apa kau tak malu melamar janda dari sahabatmu sendiri? Itu sama saja kau mensyukuri akan ketiadaan sahabatmu, dan memanfaatkan kasih sayang anak-anakku untuk bisa mendapatkanku.”
“Tidak, Maryam. Aku tak bermaksud begitu. Aku juga tak menginginkan atas ketiadaan suamimu dan aku tulus menyayangi anak-anakmu.”
Malam itu ibu hanya bisa menangis, tak mampu menjawab permintaan paman Umar. Ibu seketika amat membenci laki-laki itu. Cinta suaminya tak akan pernah bisa dibandingkan dengan siapapun. Sejak itu paman Umar tidak pernah datang lagi.
Waktu berjalan begitu lamban hingga datanglah hari yang tidak pernah kami inginkan. Tiba-tiba ibu jatuh sakit. badannya semakin kurus dan sangat lemah. Akhirnya kami bertiga sepakat untuk melakukan semua pekerjaan yang biasa dilakukan ibu, dan bergantian mengurus ibu. Sebenarnya ibu melarang kami untuk melakukan semua ini, tetapi bagi kami lebih baik kami merasa letih dibandingkan harus melihatnya semakin hari semakin meredup.
Hingga malam yang tak pernah kami inginkan pun tiba. Wulan dan Sinta menangis tersedu-sedu di samping badannya yang mulai dingin, sedangkan aku tak sedikitpun melihat wajahnya. Aku tak rela air mataku jatuh hanya untuk menangisi kepergiannya. Kami masih sangat kecil untuk hidup sendiri di dunia yang menyeramkan ini. Sungguh, malam itu aku sangat membencinya.
Semua orang kampung berdatangan di rumah reyot kami. Mereka mulai membacakan surat yasin dan ibu sudah dibaringkan di ruang tamu, menyambut ajalnya yang sebentar lagi tiba. Setelah sekian lama paman Umar datang, duduk di samping kami, sesekali menyeka air matanya. Ibu menatap paman Umar dan memintanya untuk mendekat.
“Apa kau masih mencintaiku?”
“Tentu, Maryam. Bagaimanapun dan di manapun kau berada.”
“Maaf, bahkan sampai di ujung napasku pun, aku tidak bisa membalas atas semua kebaikanmu. Selama ini aku tak pernah mengizinkanmu menjadi penghuni rumahku dan hatiku. Kau tak salah dengan perasaanmu. Andai saja saat itu kau lebih dulu meminangku, mungkin aku bisa memberimu cinta yang melimpah. Namun cintaku sudah telanjur habis aku berikan kepada suamiku dan ketiga anakku. Namun jika memang kau ingin menjadi penghuni rumahku, buktikan bahwa kau layak.”
“Tentu, Maryam. Akan aku buktikan. Akan aku lakukan apapun yang kau minta.”
“Jaga ketiga anakku. Bimbing dan dampingi mereka hingga aku benar-benar bangga dengan mereka dan usahamu. Baru aku akan mempersilakan kau masuk dalam rumahku.”
Laki-laki itu mengangguk dengan terus menyeka air matanya. Meskipun ia tahu bahwa umur ibuku tak lama lagi.
Ibu pun pergi. Mengembuskan napas terakhirnya. Kini kami sendiri sebatang kara. Kami tak tahu harus hidup seperti apa setelah ibu pergi. Laki-laki itu pun langsung memeluk kami bertiga. Ia terus terisak dan berkali-kali meminta maaf. Ia merasa ibu sakit karena perbuatannya yang membuat orang-orang memandang buruk kepada ibu sehingga membuatnya sakit. Kami tak membencinya. Perasaannya bukanlah sebuah kesalahan. Ia tak pernah menginginkan cinta datang dan terus menekan emosinya. Kini hanya dia yang kami punya. Laki-laki yang tak memiliki ikatan darah dengan kami, tetapi kini justru menjadi ayah bagi kami.
***
Lima belas tahun berlalu begitu cepat sejak kejadian pilu itu. Kami memutuskan untuk pergi merantau melanjutkan hidup agar ayah dan ibu kami bangga. Lima belas tahun lamanya kami tak sekalipun pulang ke kampung halaman karena masih belum bisa berdamai dengan kenyataan, hingga akhirnya kami mulai sadar kami harus pulang dan merelakan segalanya. Kami pulang sejenak untuk menjenguk pusara ibu tepat di hari peringatan kematiannya. Apapun yang terjadi hidup harus terus berjalan. Melaksanakan tugas kehidupan hingga pada waktunya kami akan ikut menyusul ibu.
Namun semua itu mungkin tak berlaku bagi laki-laki itu yang sejak fajar tiba. Ia sudah duduk di samping pusara dan asyik bercengkrama dengan batu nisan ibu. Kedua adikku hanya bisa bungkam saat mengetahui keadaannya. Aku tak terkejut akan hal itu, karena aku sudah lama mengetahui kebiasaan gilanya ini.
Sejak ibu meninggal hidupnya benar-benar berhenti. Ia tak pernah menikah. Hanya sibuk bekerja membiayai hidup kami, merawat rumah kami yang sudah kosong, dan pusara ibu. Berharap kelak ia bisa menjadi penghuni rumah kami, menjadi keluarga bahagia, hidup bersama ibu dan kami. Sungguh harapan yang sia-sia.
“Paman,” sapaku. Dia pun menoleh dan tersenyum bahagia. Dia langsung memeluk kami bertiga.
“Lihatlah, Maryam. Mereka akhirnya pulang. Seperti yang kau minta, aku telah berhasil membuat tiga mutiaramu menjadi kokoh. Apa kau masih meragukan cintaku? Mengapa kau masih egois dengan perasaanmu sendiri?”
Bunga-bunga kamboja mulai berguguran jatuh di atas puluhan batu nisan. Angin masih mendesau pelan, mengirimkan akan kabar hati yang hampa dan sunyi. Kami tidak menyangka keadaan laki-laki itu seperti ini. Saat dia berada di luar pemakaman, dia layaknya laki-laki normal. Tapi saat dia sudah duduk di samping pusara ibu, dia berubah menjadi laki-laki tak waras.
Aku menghela napas panjang. Memang hanya inilah yang bisa dia lakukan.Sebuah kesetiaan yang berakhir sia-sia. Penantian jawaban yang tak pernah terucapkan. Sebuah cinta yang tidak pernah terbalaskan. Cinta memang bisa membolak-balikan semua hal dan tak bisa dinalar. Aku pun mendekatinya dan berbisik, “Apa kau tidak mengerti juga bahwa Tuhan menciptakan cinta tidak untuk sebuah kegilaan, Paman.”