Kuda Terbang Izrail

2,797 kali dibaca

“Dulu di Sumenep ada kuda terbang, kata ibuku kuda terbang itu adalah peliharaannya Joko Tole,” kata Samad, memulai cerita suatu hari. Aku dan teman-temanku yang lain duduk melingkarinya, mendengarkan dengan seksama.

“Oh ya?” Arif bertanya memastikan. Di sebelahnya Samad menatapnya berang, tidak suka karena ceritanya diputus begitu saja oleh Arif. Tapi tidak lama kemudian ia menganggukkan kepala juga. Setelahnya hening tercipta.

Advertisements

Angin sepoi-sepoi membelai wajah kami pelan-pelan. Segarnya begitu terasa karena saat ini kami tengah berteduh di bawah pohon beringin samping masjid, ‘markas kami’. Setitik dua titik sinar matahari menembus lebatnya daun pohon beringin. Aku pikir keadaan ini menguntungkan bagi pohon beringin, entah kenapa aku merasa bahwa ia sedang berkata, “Terima kasih, keheningan adalah makanan yang lezat bagiku.”

Keheningan itu tidak berlangsung begitu lama karena beberapa menit kemudian azan ashar berkumandang keras dari masjid di seberang pohon beringin. Kami pun berlarian ke masjid, membuat lomba lari dadakan.

***

Cerita Samad masih terngiang di pendengaranku. Ketika mandi, ketika makan, ataupun ketika belajar, cerita itu menelusup diam-diam ke pikiranku. Bahkan ketika tidur, mimpiku dicemari oleh pikiran tentang kuda terbang. Pernah suatu ketika aku bermimpi diculik oleh seekor kuda terbang.

Kuda terbang itu membawaku ke sebuah negeri yang indah tiada tara. Awalnya aku terpesona, namun ketika aku mengutarakan niatku untuk pulang, ia malah mengamuk. Negara yang indah itu seketika menjelma neraka. Ia sudah menganggapku sebagai perbendaharaannya, dan ia tidak membolehkanku pulang. Sungguh mengerikan. Setelah mimpi itu, mimpi-mimpi lain mulai muncul deras seperti aliran sungai.

Seperti sekarang, saat aku menenggelamkan diriku dalam lautan khayalan yang terangkai melalui kata dan kalimat pada buku di tanganku, pikiran tentang kuda terbang diam-diam kembali membayangiku. Namun kali ini bukan pikiran negatif yang muncul, tapi pikiran positif.

Buku di tanganku ini boleh di kata telah berhasil memasukkan gambaran tentang kuda terbang yang cantik, baik hati dan suka menolong manusia. Jauh dari pandanganku dahulu tentang kuda terbang yang suka menculik anak-anak, jahat dan suka mengamuk (pandangan itu mulai muncul sejak aku memimpikan mimpi-mimpi mengerikan itu).

Buku itu, buku sejarah Islam menceritakan bahwa dahulu Nabi Muhammad SAW mengendarai buraq dalam perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Buraq adalah hewan istimewa yang tidak ada di dunia. Konon, dan memang hanya konon, buraq turun ke dunia ini hanya ketika peristiwa Isra’ Mi’raj untuk menjadi tunggangan Nabi. Setelahnya hewan itu tak pernah menampakkan diri lagi.

Ada yang mengatakan bahwa buraq itu mirip kuda, ada juga yang bilang bahwa buraq itu adalah cahaya. Allahu a’lam bi-s-sawab. Pastinya perkataan bahwa buraq itu mirip kuda membuatku ingat pada kuda terbang Joko Tole. Keduanya sama-sama hewan yang ditunggangi oleh orang penting. Selain itu, keduanya juga boleh dikata selain bermanfaat kepada orang yang menunggangi juga bermanfaat kepada manusia. Yang satu berjasa karena telah mendampingi Nabi dalam peristiwa bersejarah bagi umat islam (peristiwa kunci diturunkannya lima perintah salat). Yang satu lagi berjasa dengan menjadi tunggangan Joko Tole dalam melawan Dempo Abang, pencenayah Madura dari negeri Cina.

Sejak saat itu aku begitu terobsesi dengan kuda terbang. Aku ingin menjadi orang istimewa yang bisa menungganginya. Orang-orang pernah bercerita bahwa orang yang istimewa itu adalah orang yang rajin beribadah kepada Allah SWT dan menjauhi laranganNya. Maka akupun melakukannya untuk menyongsong cita-citaku menjadi orang istimewa yang bisa menunggangi kuda terbang.

***

Tanggal 17 Agustus, aku ditunjuk sebagai salah satu siswa yang akan menjadi delegasi SD-ku dalam acara upacara HUT Kemerdekaan RI ke-74 di Sumenep kota. Aku begitu senang karena sedikit banyak hal ini sudah membuktikan bahwa aku cukup istimewa sehingga bisa dipercaya untuk mewakili sekolah dalam acara itu.

Pagi betul, aku dan rombongan delegasi SD-ku berangkat. Di sepanjang perjalanan kupandangi pemandangan alam pinggir jalan yang cukkup indah dari dalam mobil. Apalagi ketika sampai di jalan raya Nambakor, keindahannya begitu terasa.

Di kiri kanan jalan nampak hanmparan tambak yang putih berkilauan diterpa matahari pagi. Air-air sudah menjadi kristal garam. Namun menurutku, keindahan sejati dari jalan raya ini terletak pada pinggir jalannya. Setiap beberapa meter dapat kutemui pohon cemara udang.

Pohon yang konon hanya ada di Indonesia dan Cina itu membuat pemandangan yang ada nampak seperti pemandangan beberapa jalan di Korea Selatan. Bedanya, jika di Korea Selatan pemandangan seperti ini bisa ditemui di jalan pedesaan – menurutku setelah melihat film Korea – maka di Sumenep pemandangan ini bisa ditemukan di jalan besar atau jalan antar kota, yaitu jalan raya Nambakor.

Lamunanku terhenti ketika mobil yang ditumpangi delegasi sekolahku berhenti di tempat parkiran umum dekat lapangan upacara. Tempat parkiran umum ini kudapati sudah penuh sesak oleh mobil-mobil lain. Siswa-siswa – entah itu siswa SD, SMP atau SMA – hilir mudik di sekitarku. Ada yang jalan-jalan, ada yang menjajal kelezatan pangan yang dijual oleh PKL, dan lain-lain.

Jam 7 upacara dimulai. Aku dan teman-teman sedelegasiku sudah stand by di posisi kami. Begitu pun dengan delegasi sekolah yang lain.

Upacara berlengsung khidmat. Jiwa 45 merasuki tubuh kami, membuat kami gemetaran karena terharu, bahkan beberapa sudah tampak menangis. Sungguh indah bagiku melihat para generasi muda mewarisi semangat perjuangan dari para pejuang dan pahlawan. Upacara ini membuka sedikit tabir di mataku tentang generasi muda yang kebanyakan telah terperosok ke dalam tipu daya duniawi. Ternyata tidak semuanya begitu, masih ada satu dua jiwa yang selamat.

Pada saat upacara sampai pada tahap pengerekan menaikkan bendera, sebuah titik hitam yang bergerak di langit tertangkap oleh mataku. Lama-lama titik hitam itu mulai membentuk sesuatu dan sepertinya, entah perasaanku atau apa titik hitam yang kini mulai berbentuk itu tampak seperti sedang menuju ke arahku.

Aku menyenggol teman di sebelahku, ia mengernyit bingung, alisnya sedikit terangkat. “Kamu melihat ada benda melayang di langit gak?”

“Nggak.”

“Masa? Itu di sana?” tanyaku sekali lagi sambil menunjuk ke arah benda itu.

“Nggak.”

Aku tertegun. Bayangan itu, apakah hanya ilusi mata? Aku menggeleng, bayangan itu terlalu nyata untuk dikatakan sebagai ilusi. Tapi kenapa teman di sebelahku ini tidak melihatnya? Lamat-lamat kulihat kaki pada benda itu, juga sesuatu yang mengepak-ngepak. Itu sayap. Ketika kulihat lebih seksama, nampaklah perwujudan kuda terbang di langit sana. Dan ia menuju ke arahku.

Kuda terbang itu semakin mendekat. Aku bertanya-tanya apakah kuda terbang itu pergi menemuiku karena aku sudah menjadi orang yang istimewa? Belum lagi pertanyaan itu terjawab, kudapati bahwa kuda itu ternyata sedang ditunggangi seseorang.

Kuda terbang itu semakin mendekat. Sekarang nampaklah rupa penunggang kuda terbang itu. Seorang pria berumur kira-kira berumur 30 tahunan, berwajah putih bersih, memakai gamis putih, berkopiah hitam dan bersurban putih. Di tangannya tersampir kain putih. Aku memandang aneh pada pria itu, karena ia mengendarai kuda terbang itu tanpa memegang tali kekang – dan memang kuda terbang itu tidak dilengkapi tali kekang -. Yang aku herankan adalah, bagaimana mungkin pria itu bisa duduk tenang di atas punggungnya tanpa takut terjatuh?

Belum lepas diriku dari rasa heran, kudapati kuda itu semakin mendekat. Pria itu membentangkan kain di tangannya. Sepersekian detik berikutnya, ia melemparkan kain itu ke arahku hingga menutupi wajah dan sebagian tubuhku. Mendadak aku merasa sesak nafas dan pandanganku memburam. Setelah itu gelap.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan