Kualitas Hewan Kurban dan Nilai Pengorbanan

663 kali dibaca

Orang Jawa menyebut bulan Zulhijjah, yaitu bulan ke-12 dalam kalender Hijriyah, sebagai Bulan Besar. Bulan yang termasuk ke dalam empat bulan yang dimuliakan oleh Allah, dan diharamkan di dalamnya berperang. Ini merupakan salah satu bulan istimewa. Alasan orang Jawa menyebutnya ‘Besar’ ada hubungannya dengan peristiwa besar yang terjadi pada bulan tersebut. Ada dua peristiwa yang bisa dibilang fenomenal, monumental, dan juga sakral, yaitu kurban dan haji.

Peristiwa tersebut bukan hanya jadi sejarah, namun juga menjadi salah satu ibadah yang substansial bagi umat Islam. Bahkan, kurban perintahnya langsung difirmankan Allah dalam surat Al-Kautsar. Sedangkan, ibadah haji menjadi pilar kelima dari lima pilar utama agama Islam. Dua ibadah tersebut adalah simbol kesempurnaan ibadah, di mana letaknya yang di akhir serta pelaksanaanya yang berada di akhir tahun adalah alasannya.

Advertisements

Dan dalam tulisan ini, penulis hendak memberikan opini tentang pelaksanaan kurban, dan secara khusus pada kriteria hewan kurban. Mengambil sudut pandang sebagai panitia kurban yang selama tiga tahun mengurus segala hal terkait kurban mulai dari administrasi, pemotongan, sampai distribusi menjadikan tulisan ini akan penuh dengan opini subjektif dengan sedikit menyelipkan kaidah ilmu fikih terkait.

Kurban bukan hanya tentang memotong kambing, sapi, kerbau, atau unta. Tapi lebih dari itu, kurban juga adalah tentang kesempurnaan dan pengorbanan tingkat tinggi seorang hamba.

Kewajiban mengetahui segala aspek tentang kurban bukan hanya menjadi tanggung jawab panitia, tetapi sebagai pengurban seharusnya juga paham mengenai hal apa saja yang harus diperhatikan ketika hendak berkurban. Salah satu aspek tersebut adalah kriteria hewan kurban. Jangan sampai hanya karena hewan kurban tidak memenuhi kriteria, apa yang sudah dikurbankan menjadi sia sia.

Ada empat jenis hewan yang bisa dijadikan sebagai hewan kurban. Yang pertama kambing – untuk satu orang – sapi, kerbau, dan unta – untuk tujuh orang. Jadi tidak sah jika kita berkurban dengan ayam, bebek, burung, atau sekadar kurban perasaan.

Adapun, kriteria kelayakan keempat jenis hewan tersebut antara lain, pertama, sehat. Kesehatan hewan kurban menjadi krusial karena selain sebagai sarana ibadah kepada Tuhan, hewan yang disembelih itu juga nantinya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan sebagai representasi dari ibadah sosial. Hewan kurban yang tidak sehat tentu berpotensi menyebarkan penyakit bagi orang yang memakannya.

Kedua, tidak cacat. Selain sehat secara jasmani dan sebagai simbol pengorbanan yang besar, maka hewan yang dikurbankan pun harus sempurna alias tidak mempunyai cacat fisik. Fisik yang sempurna dari hewan kurban merupakan simbolisasi dari sakralnya ibadah ini. Hewan yang cacat dianggap tidak merepresentasikan keagungan dan keseriusan dari pengurban.

Selain itu, cacat fisik juga dapat berefek terhadap kesehatan si hewan. Beberapa cacat fisik yang ada pada hewan di antaranya, tanduk yang patah atau tidak tumbuh sempurna, mata yang buta atau tidak normal, kaki pincang, ekor putus, dan sebagainya. Oleh karena itu pengetahuan tentang hewan yang akan kita kurbankan sebelum membeli sebagai pengurban atau menerima sebagai panitia wajib hukumnya. Jangan sampai kurban kita dinilai sebagai ibadah yang cacat oleh Allah SWT.

Ketiga, umur yang cukup. Memang ada perdebatan tentang umur seekor hewan jika kita membandingkannya dengan hewan-hewan lain. Tapi ada satu ukuran yang ditentukan oleh ulama-ulama yang semoga saja sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Ukuran itu adalah berganti gigi geraham. Memang sulit membedakan mana hewan yang sudah berganti gigi atau belum, namun kita tidak perlu khawatir karena biasanya peternak atau dokter hewan bisa memeriksanya. Atau jika menurut adat atau kebiasaan yang terjadi pada hewan adalah usia sekitar 2 tahun. Sekadar informasi pengetahuan ini saya dapat dari orang tua saya yang merupakan peternak kambing.

Keempat, berbadan gemuk. Kriteria terakhir adalah pelengkap dari ketiga kriteria sebelumnya. Jika kita tarik ke belakang, peristiwa kurban ini sudah terjadi pada zaman nabi Adam As di mana saat itu Qabil dan Habil diperintahkan berkurban. Qabil berkurban dengan hasil bumi karena dia adalah petani, namun hasil bumi yang ia kurbankan adalah hasil bumi yang buruk sedangkan Habil mengorbankan seekor kambing yang besar. Maka Allah menerima kurban Habil dan tidak dengan kurban dari Qabil. Dari sini kita dapat mengkiaskan bahwasannya dalam berkurban hendaklah memberikan yang terbaik. Jika berkurban kambing, pilihlah kambing yang terbaik, yang sehat, tidak cacat, yang cukup umur, dan juga gemuk. Dan begitu juga dengan hewan kurban yang lain.

Faktanya, banyak orang asal saja memilih hewan kurban. Asalkan masuk kategori empat hewan tersebut. Kambing asal kambing, sapi asal sapi, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman saya menjadi panitia kurban di masjid, hanya ada sedikit saja yang memenuhi kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada, yang paling banyak tidak memenuhi adalah badan gemuk dan umur yang cukup. Kambing yang mereka bawa untuk berkurban rata-rata adalah jenis kambing yang kecil – meskipun jantan – masih muda dan terkadang seperti sedang sakit karena terlihat tidak bringas seperti kambing kebanyakan.

Pada akhirnya kita bisa menilai, di mana letak pengorbanan yang sesungguhnya. Betapa keagungan kurban tidak sejalan dengan pengorbanan yang dilakukan. Ibadah sakral itu hanya dilaksanakan sebagai ajang pesta, bukan lagi momen besar yang butuh perhatian tingkat tinggi. Karena, pada dasarnya manusia ingin eksis sebagai hamba, tapi tidak ikhlas menghambakan diri dengan seutuhnya.

Lalu, masihkah sebutan ‘besar’ bagi bulan zulhijjah itu relevan dengan fenomena yang terjadi saat ini? Dan apakah kebesaran peristiwa kurban itu masih melekat di tubuh kita sebagai umat Islam?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan