Kritik Sosial dalam “Tilik”

2,729 kali dibaca

Jagat maya akhir-akhir ini dihebohkan oleh Tilik. Film pendek nan sederhana ini menjadi perbincangan di mana-mana, oleh berbagai kalangan. Tentu saja juga memantik pro-kontra. Apa sesungguhnya yang terjadi di masyarakat kita?

Film Tilik berkisah tentang perjalanan sekelompok ibu-ibu dari sebuah desa menuju ke rumah sakit, untuk menjenguk ibu kepala desa mereka yang tengah dirawat. Rombongan itu pergi ke rumah sakit dengan menggunakan truk milik Gotrek.

Advertisements

Dari dalam truk inilah, obrolan menggibahkan Dian, sosok kembang desa, menjadi magnet dalam kisah film ini. Tidak hanya itu, ghibah mengenai sakitnya Bu Lurah juga membuat cerita semakin hidup. Dian diperbincangkan karena parasnya yang membuat para suami di desa gemar memandanginya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Facebok dan pengamatan Bu Tejo, Dian sebagai wanita yang tidak benar. Cara Bu Tejo memprovokasi ibu-ibu lainnya untuk mendukung ceritanya itulah yang membuat penonton mengaku geregetan. Namun, tidak semua ibu-ibu dalam truk tersebut setuju dengan perkataan Bu Tejo. Ada Yu Ning, yang masih famili Dian, yang merasa kurang setuju dengan semua pernyataan tentang Dian yang disampaikan oleh Bu Tejo.

Yu Ning semakin geram mendengar berita yang disampaikan Bu Tejo. Dia mencoba mengingatkan Bu Tejo untuk menghentikan pernyatan-pernyataan negatif tentang Dian. Mereka berdua bahkan sempat bertengkar karena mempertahankan pendapat masing-masing.

Selain gemar membicarakan aib tetangga, karakter Bu Tejo juga digambarkan sebagai orang yang suka pamer harta, sehingga cukup mengusik Yu Ning. Hal itu terlihat dari banyaknya perhiasan yang dikenakan meski hanya pergi menjenguk orang yang sedang sakit. Bu Tejo juga ringan tangan mengeluarkan uang kepada Gotrek. Ternyata, maksud pemberian uang itu mempromosikan suaminya sebagai bakal calon lurah baru.

Kerika sampai di rumah sakit, rombongan ibu-ibu itu rupanya gagal menjenguk Bu Lurah karena ia masih terbaring di ICU. Mereka pun hanya bisa bertemu dengan anak Bu Lurah, Fikri, dan gadis bernama Dian yang sejak tadi diperbincangkan. Di akhir film, penonton akan dibuat tercengang sekaligus kebingungan, karena memperlihatkan adegan yang berbeda dari anggapan masyarakat mengenai jalur cerita film ini. Adegan percakapan Dian dengan seseorang laki-laki paro baya yang merupakan pacar Dian menutup adegan film ini.

Sebelum banjir pujian dari warganet, film ini terlebih dahulu mendapat beragam penghargaan sebagai pemenang untuk Kategori Film Pendek Terpilih pada Piala Maya 2018, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018, hingga Oficial Selection World Cinema Amsterdam 2019.

Bu Tejo adalah karakter utama dalam film pendek tersebut. Film berdurasi 32 menit ini berhasil menghibur warganet, termasuk sutradara ternama, Joko Anwar. Melalui unggahan akun Twitter-nya, Joko Anwar mengatakan film pendek Tilik memiliki cerita yang segar. “Barusan nonton film pendek TILIK. Fresh, delightful. Setting ceritanya cukup brilian. Sederhana tapi gigit,” tulis Joko Anwar.

Kritik Sosial

Sampai awal hingga akhir terdapat adegan-adegan yang lucu sekaligus ironis. Keironisan adegan dalam Tilik itu disampaikan dalam wujud potret perilaku negatif yang tidak sesuai norma-norma di masyarakat. Adegan-adegan Tilik begitu mengalir karena mengambil latar realis yang ada dalam kehidupan sehari-hari kehidupan masyarakat perdesaan.

Dalam sebuah karya sastra, baik drama, prosa, ataupun puisi tidak bisa dilepaskan dari norma-norma di masyarakat. Norma-norma yang ada di masyarakat yang termuat dalam sebuah karya sastra disebut dengan nilai. Nilai-nilai atau peraturan-peraturan dalam masyarakat berlaku dan disepakati bersama-sama dalam kehidupan, sehingga Anda sering mendengar kata-kata baik dan tidak baik, boleh dan tidak boleh,sopan dan tidak sopan, dan sebagainya. Manusia tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu sangat penting memahami nilai kelompok,masyarakat, negara, dan pribadi sendiri.

Ada beberapa nilai-nilai positif yang hidup di masyarakat desa yang disampaikan mulai menit pertama sampai terakhir.  Nilai sosial masyarakat desa yang positif pertama yang diangkat sekaligus menjadi judul cerita yaitu menjenguk (orang sakit).

Nilai sosial positif yang ada dalam film pendek Tilik di antaranya yaitu pertama, ibu-ibu warga desa berniat menjenguk kepala desa yang sakit, menyumbang orang yang tertimpa musibah, dan membantu temannya yang sedang mabuk. Nilai moral baik juga tak luput disajikkan dalam film ini. Nilai agama positif terlihat ketika Yu Ning yang tetap berkhunuzon kepada Dian di tengah ibu-ibu warga desa sedang bergosip

Tetapi, nilai-nilai negatif yang lebih ditonjolkan dalam film pendek ini. Beberapa nilai moral yang perilaku suami Bu Lurah dan Dian yang menjalin hubungan percintaan. Selain itu, nilai agama negatif yang menonjol, yaitu Bu Tejo dan Yu Tri juga bersuudzon kepada Dian dan menghibahkan Dian. Yang terakhir, nilai moral negatif yaitu Yu Sam yang berkarakter tidak punya pendirian.

Hampir seluruh durasi film pendek didominasi oleh ghibah mengenai Dian yang belum menikah dan bekerja tidak jelas, tetapi memiliki barang-barang mewah. Pernyataan dalam ghibah semakin terlihat benar ketika banyak warganet di desa semakin banyak yang nyinyir di medsos dan Bu Tejo melihat Dian muntah-muntah.

Dari segi bahasa, ghibah artinya membicarakan mengenai hal negatif atau positif tentang orang lain yang tidak ada kehadirannya di antara yang berbicara. Dari segi istilah, ghibah berarti pembicaraan antarsesama muslim tentang muslim lainnya dalam hal yang bersifat kejelekan, keburukan, atau yang tidak disukai. Bedanya dengan dusta, sesuatu yang diperbincangkan dalam ghibah memang benar adanya.

Dalam film pendek Tilik ini, sengaja menyajikan nilai agama yang negatif. Hal tersebut terlihat bahwa mengghibahkan orang lain itu sudah dianggap biasa. Jika dianalisis, pemilihan nilai negatif ghibah itu bertujuan mengkritik kebiasaan warganet atau masyarakat kita yang mengganggap bahwa kebiasaan ghibah itu hal yang wajar dan tidak mendapat dosa. Padahal dalam ajaran Islam, menggibah itu salah, termasuk salah satu dosa besar. Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخْيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah SAW  bersabda: “’Tahukah kalian apa itu ghibah?’ Lalu sahabat berkata: ‘Allah dan rasulNya yang lebih tahu’. Rasulullah bersabda: ‘Engkau menyebut saudaramu tentang apa yang dia benci’. Beliau ditanya: ‘Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan benar tentang saudaraku?’ Rasulullah bersabda: ‘jika engkau menyebutkan tentang kebenaran saudaramu maka sungguh engkau telah ghibah tentang saudaramu dan jika yang engkau katakan yang sebaliknya maka engkau telah menyebutkan kedustaan tentang saudaramu.’” (HR. Muslim 2589)

Setiap orang memiliki cacat dan aib, kesalahan dan kekeliruan karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang sering lupa dan tergelincir dalam dosa. Jika kita mengetahui aib orang lian, kita harus menutupinya. Sayangnya, dalam keseharian, banyak orang awam yang tidak sadar bahwa membicarakan keburukan orang lain dalam media sosial atau dalam pergaulan dengan teman atau tetangga adalah dosa besar.

Jadi, Tilik adalah sebentuk cermin diri, untuk mengetahui siapa kita sebenarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan