Kritik Gus Dur terhadap Pengusung Khilafah

1,109 kali dibaca

Tuntutan untuk mendirikan sistem khilafah atau formalisasi syariat Islam oleh sebagian kelompok dari waktu ke waktu terus menggeliat di negeri ini. Tak jarang, mereka menempuh berbagai cara guna mencapai tujuannya, dari mempolitisasi agama hingga terjadinya bencana alam tak lepas dari cengkeraman mereka. Misalnya, guncangan gempa bumi beberapa waktu lalu yang menimpa Kabupaten Cianjur, diklaim sebagai balasan terhadap negeri yang tidak menerapkan sistem khilafah.

Sontak, pernyataan mereka menuai tanggapan dan kritik dari pelbagai pihak. Salah satunya dari KH Abdullah Kafabihi Mahrus, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Menurut beliau, apa yang dinarasikan kelompok radikal (pengusung khilafah) tersebut adalah sebuah kekeliruan dan menyesatkan. Sebab, di zaman akhir ini dan dunia sudah berumur tua, ada banyak musibah atau bencana yang akan terjadi. Tentu, kita akan menghadapi itu semua. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Bahkan, di negara Islam pun hal ihwal bisa terjadi. Karena itu, bencana tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan khilafah.

Advertisements

Terlepas dari pernyataan mereka itu, hal yang mesti diakui sejak dulu hingga sekarang bahwa wacana pendirian Khilafah Islamiyah di negeri ini selalu menuai perdebatan cukup pelik dari berbagai kalangan. Ada yang sepakat terhadap wacana tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang menolaknya. Salah satu tokoh yang sangat getol menolak akan hal ihwal adalah Gus Dur, sapaan akrab KH Abdurrahman Wahid. Ini bisa dilihat dalam kumpulan artikel-artikel Gus Dur yang berserakan di pelbagai media, dan kemudian dibukukan bertajuk Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita.

Jika para pengusung khilafah berargumen, bahwa Islam di dalamnya memuat doktrin yang mewajibkan pemeluknya untuk menerapkan syariat Islam dalam laku hidupnya, tak terkecuali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, menurut mereka, “Khilafah Islamiyah” menjadi sesuatu yang niscaya untuk ditegakkan. Sebab, hanya dengan menjadikan Islam sebagai “ideologi” negara, atau mendirikan negara berbasis “syariat Islam” doktrin tersebut dapat direalisasikan. Akibatnya, orang yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai ideologi negara (seperti Negara Pancasila) dinilai telah meninggalkan Islam, sesat, kafir dan wajib dimusnahkan.

Hal itu berbeda dengan pandangan Gus Dur. Menurutnya, Islam tak perlu dijadikan sebagai ideologi negara. Mengapa demikian? Selain karena Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang baku (jelas) tentang ketatanegaraan, misalnya, bagaimana negara dibuat dan dipertahankan (baca: sejarah pergantian kepemimpinan pasca Nabi), juga di dalam teks-teks agama tak dijumpai dalil-dalil yang mengharuskan untuk menjadikan syariat Islam sebagai ideologi negara. Sebaliknya, Islam memberi kebebasan penuh kepada pemeluknya untuk mengelola urusan dunianya, tak terkecuali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, menurut Gus Dur, kejayaan Islam tidak terletak pada formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam sebagaimana yang diimpikan para pengusung khilafah. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini berkembang secara kultural.

Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim wajib menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar tatkala menghadapi cobaan dan ujian. Inilah, inti ajaran Islam yang sebenarnya.

Dari sini, jelaslah bahwa Gus Dur lebih mengapresiasi Islam sebagai “etika sosial” daripada “ideologi negara”. Dengan kata lain, Islam difungsikan sebagai spirit untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan demi tercapainya kesejahteraan bagi umat manusia.

Islam, demikian Gus Dur, tak akan kehilangan cahaya kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika sosial masyarakat. Sebaliknya, kebesaran Islam semakin memancar dan sinarnya kian terang karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi yang bernama “negara”.

Dengan demikian, menurut Gus Dur, kaum Muslim tak boleh acuh terhadap berbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-politik-ekonomi, dan lain-lain yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tetapi, mereka harus berani dan terlibat langsung untuk mengadakan koreksi atas tindakan yang dinilai dapat merugikan masyarakat. Jika mereka membiarkan berkembangnya ketidakadilan, diskriminasi, dan korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan pribadi semata, berarti telah membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan dan pengrusakan bangsa.

Tak hanya itu, menurut Gus Dur, sekira Islam dijadikan ideologi negara maka akan melahirkan sekularisasi Islam. Mengapa demikian? Karena islamisasi negara secara langsung berarti “negaraisasi Islam”. Akibatnya, negara bersifat determinan dalam menentukan keberadaan Islam. Dengan kata lain, ajaran-ajaran luhur agama (Islam) hanya akan dijalankan oleh pemeluknya manakala ada ketetapan dari negara sebab, institusi negara lebih kuat daripada Islam. Karena itu, menurut Gus Dur, hal ihwal haruslah dihindarkan agar Islam tak diletakkan di bawah wewenang negara, tetapi menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat.

Akhirnya, kendatipun Gus Dur mengkritik secara lantang ideologisasi Islam, bukan berarti ia bermaksud untuk memisahkan Islam dengan negara, sebagaimana pemikiran Ali Abdul Raziq, sang kritikus sejati para kelompok pejuang “Negara Islam” asal Mesir.

Sebaliknya, Gus Dur mendasarkan pemikiran politiknya (terutama tentang ketatanegaraan) kepada dasar-dasar ajaran Islam. Sebab, Islam, demikian Gus Dur juga di dalamnya memuat tentang ajaran-ajaran keadilan dan kesejahteraan sosial. Ini sebagaimana kaidah fikih yang sudah masyhur dikutip para ulama, tak terkecuali Gus Dur ketika membicarakan tentang relasi agama dan negara, yaitu tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah (kebijakan seorang pemimpin harus didasarkan pada kesejahteraan rakyat). Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan