Kota Mati dan Ingatan yang Tenggelam

1,200 kali dibaca

Pada dinding-dinding sunyi tempatku berbagi, jelajah lorong yang kehilangan makna. Batu-batu cuilan peradaban berserakan diempas zaman. Denting jam tua di ketinggian menara meraung sendirian. Lintasan waktu berulang kali membisu. Ikatan sejarah berawal dan akhirnya hampa.

Kota itu diam. Mati. Tidak ada lagi getaran di sendi-sendinya. Tak ada lagi kehidupan di buluh nadinya. Terbengkalai. Tidak terurus. Kosong. Hanya mimpi sesekali jumpai sunyi. Menciptakan goresan hitam tidak berkesudahan. Pada jelaga-jelaga perapian yang lama padam. Melintasi kota mati ketika senja menanti. Buram pandangan penuh kelam perasaan. Di sudut-sudut terdalam membuka tabir rahasia.

Advertisements

***

Suara erangan tiba-tiba membuatku mengerjapkan mata. Membangunkanku dari buaian mimpi. Aku tidak tahu pasti bagaimana semua ini bermula. Aku bangkit dan memperhatikan sekeliling. Betapa terkejutnya setelah mengetahui bahwa aku sedang berada di dasar laut. Ya, aku tidak sedang bergurau. Ini benar-benar air telah berkuasa. Terumbu karang dan ikan warna-warni bergoyang mengikuti arus. Namun, bagaimana mungkin aku bisa bernapas dan melihat dengan jelas, sementara tubuhku berada di dasar laut?

Ada sesuatu yang mengganjal dalam kepala. Aku tak bisa mengingat kejadian sebelum sampai di tempat ini. Ingatanku seperti tenggelam. Aku tak mampu mengingat siapa diriku sebenarnya. Siapakah aku? Nama, nama, nama. Aku berusaha mengingat lagi, mencari nama di antara huruf-huruf.  Nama. Siapakah namaku? Sial! Apakah aku hilang ingatan? Apakah sebelum sampai di tempat ini kepalaku membentur sesuatu, hingga lupa dengan segalanya? Tetapi, mengapa takada sedikit pun memar di kepala atau di sekujur tubuh? Takada rasa sakit. Aku merasa baik-baik saja. Kalau pun memang benar hilang ingatan, lantas mengapa masih bisa mengingat kata-kata dan bisa berkata-kata?

Perhatianku seketika teralihkan oleh suara erangan itu lagi. Seperti rintihan yang semakin memekakkan telinga. Aku semakin penasaran dan mencoba mencari sumber suara. Aku tak tahu arah, karena sejauh mata memandang hanya air, hewan, dan tumbuhan laut yang tampak.

Tunggu! Sebelum menemukan suara erangan yang sempat kudengar tadi, suatu keanehan terjadi. Aku seperti berada di sebuah kota yang dibangun di tengah laut. Lagi-lagi aku sedang tidak bergurau. Ini benar-benar kota. Kutemui banyak bangunan berdiri. Namun, apakah ini laut? Di saat bersamaan, seonggok manusia tergeletak di depan resor megah. Kuhampiri ia, barang kali inilah yang kucari.

“Selamat datang di Kota Baia, Nona. Surga dunia kaum hedonis,” laki-laki yang kuhampiri bangun dari tidurnya, lalu berbicara. Namun, mulutnya masih tertutup rapat.

Apakah aku sudah gila? Ah, rasanya tidak mungkin. Bilamana aku gila, mana mungkin bisa menceritakan semua ini? Ataukah laki-laki itu yang gila? Surga dunia ia katakan. Entah, tapi ini benar-benar kota menakjubkan di dasar laut.

“Orang-orang kaya Romawi berlibur dan berpesta di Baia pada akhir Minggu. Politisi-politisi berkuasa membangun vila di pantainya.”

Laki-laki itu lantas menggenggam tanganku. Seperti ingin mengajakku ke suatu tempat. Kami pun berenang. Melewati lorong-lorong. Berpapasan dengan orang-orang. Melewati rumah-rumah, toko-toko, sebuah taman dengan bunga-bunga, bangku-bangku, dan lampu-lampu yang berjajar di sepanjang sisinya. Aku tidak mengerti, apakah aku sedang bermimpi atau berhalusinasi, ini benar-benar menakjubkan.

“Ada intrik dan kisah tak terduga di kota ini, Nona,” laki-laki itu berbicara lagi sembari menoleh ke arahku.

Aku masih bergeming. Sebab, belum mengerti apa yang dikatakan laki-laki itu.

“Ikutlah denganku. Mari kutunjukkan sesuatu.”

Laki-laki itu membawaku berkeliling. Vila-vila mewah berdiri megah. Resor-resor banyak menggelar pesta. Kemudian ia menunjukkan rumah, kolam-kolam pribadi, dan pemandian mewah. Ini benar-benar di luar nalar. Setelah belok kiri dan melewati enam rumah, sampailah kami di sebuah rumah berdinding silver dengan pagar yang sama peraknya. Di beranda, tampak meja bundar dengan dua kursi di kanan dan kirinya. Laki-laki itu mengajakku masuk. Ada sebuah goa yang berisi beberapa patung marmer. Aku tercengang menatap goa itu. Di goa tersebut, aku hampir takbisa membedakan antara manusia dengan anjing. Sebab, orang-orang di dalamnya tengah melampiaskan kesenangan paling liar. Lebih liar dari seekor anjing sekali pun.

Selain goa, ada pula bangunan besar dengan kamar-kamar kecil. Aku pun dapat menangkap suara erangan menjijikkan. Dapat kupastikan itu adalah rumah bordil. Industri hiburan dan seks berdenyut kencang. Kota ini seperti tempat bagi orang kaya dan penguasa melakukan hubungan terlarang dan kesenangan duniawi.

“Mengapa kota ini berada di bawah laut?” tanyaku.

“Baia adalah kota kuno yang tenggelam,” laki-laki itu menjawab pendek.

“Mengapa?”

Laki-laki itu menatapku dalam.

“Baia memiliki citra negatif dalam sejarah manusia. Layaknya cara pikir bahwa bencana merupakan azab langit atas perilaku manusia yang tamak dan ugal-ugalan. Baia, kota yang dikutuk karena perzinaan,” ujar laki-laki itu.

Beragam tanya berloncatan dalam benakku. Kalau memang kota ini adalah kota mati, lantas mengapa orang-orang yang kutemui tadi masih ada? Tidakkah mereka turut lenyap bersama tenggelamnya kota mereka? Aku terus mengeja tanya dan belum kutemui jawabannya.

Kuil dan patungnya bergemuruh seriuh kepundan kawah yang runtuh. Mengirim ledakan demi ledakan, ketika kemarahan menumpahi jalanan kuno. Mulut-mulut gagu. Percakapan yang ada, adalah hempasan badai yang tertunda. Masing-masing memperhatikan kekacauan sedang berlalu-lalang. Menyeberangi jembatan, melompati genangan, sembari menghindar dari cipratan kemaksiatan.

Aku tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Orang-orang yang kutemui tadi, membatu layaknya patung. Sorot mataku tiba-tiba tertuju ke salah satu patung tubuh seorang laki-laki yang sedang bersimpuh. Patung itu menangis. Dari dua lubang matanya keluar seperti mata air. Diikuti suara rintihan masygul. Meski berada di dasar laut, masih terlihat jelas air matanya mengalir, melewati pipi, dagu, sampai akhirnya membaur dengan air laut.

“Aku tidak habis pikir dengan semua ini,” kataku heran.

“Tidakkah segala perbuatan mendapatkan balasannya?”

***

Yogyakarta, September 2021

*) Cerita ini diadaptasi dari tenggelamnya Kota Baia, Italia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan