Korelasi Ajaran Tasawuf Al-Ghazali dan Kiai Hasyim Asy’ari

2,217 kali dibaca

Manusia tak bisa dilepaskan dari hal-hal metafisik, terutama yang berkaitan dengan agama dan Tuhan. Maka dari itu, ada beberapa metode (jalan) untuk menuju Tuhan. Di dalam agama Islam, jalan yang dikenal adalah tasawuf\sufisme. Namun, tidak sedikit masyarakat Islam yang mengabaikan ajaran spiritual Islam atau sufisme yang bersumber dari Zat Yang Mahasuci, penuntun, dan penyejuk hati manusia.

Penolakan ini terjadi karena sikap masa bodoh dan manusia modern yang cenderung mengutamakan rasio (akal) dan menyampingkan potensi qalb (hati). Padahal, Islam sendiri memiliki tiga dimensi, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Iman merupakan keyakinan kita kepada Allah. Sedangkan, islam berarti kepatuhan dan ketundukan kepada Allah.Adapun, ihsan adalah hubungan antara manusia dengan Allah. Pada level ihsan inilah peran hati sangat diperlukan.

Advertisements

Karena itu, hati merupakan wilayah kerja tasawuf sebagai jalan menata dan mengendalikan hati dan pikiran. Perilaku dan praktik hidup yang menonjolkan sisi kesufian ini, sebagaimana dijelaskan, sebenarnya telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Di antara pendahulu tersebut adalah Imam Al- Ghazali dan KH Hasyim Asy’ari, sebagai tokoh sufi yang membawa tatanan kehidupan dengan menyeimbangkan aspek-aspek ajaran Islam (akidah, syariat, tasawuf), moral, dan spiritual.

Ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Doktrin tasawuf Al-Ghazali menyelaraskan ajaran tasawuf dan syariat, sehingga nantinya tasawuf Imam Al-Ghazali dikenal dengan “tasawuf sunni” yang dipakai oleh Ahlussunnah wal Jamaah. Pokok ajaran Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan makrifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep tobat, sabar, zuhud, tawakal, dan rida.

Di dalam tasawuf, Imam Al-Ghazali menjelaskan mengenai zuhud sebagai berpalingnya seseorang menjauhi urusan dunia, walaupun ia mampu memperolehnya. Adapun apabila sikap menjauhi kepentingan dunia itu masih disertai keinginan terhadapnya, maka sikap seperti ini, tidak dapat disebut zuhud melainkan ‘ajz (ketidakmampuan). Dengan definisi ini, Al-Ghazali bermaksud untuk memurnikan zuhud.

Berikutnya, ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali yaitu Makhafah (ketakutan). Takut kepada Allah bisa dialami oleh setiap manusia. Ketakutan itu terjadi, menurut Imam Al-Ghazali, bisa karena melihat dan menyaksikan keagungan Allah dan bisa juga karena banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba pada Tuhannya. Dengan demikian, menurut Imam al-Ghazali, orang yang mengaku takut kepada Allah tetapi anggota badannya bergelimang maksiat, tak bisa disebut khawf.

Selain itu, Imam al-Ghazali menolak ketakutan kepada Allah yang mengakibatkan hilangnya akal. Imam al-Ghazali mengutip Sahl yang berkata, “Jagalah akal budimu karena tak ada seorang wali Allah yang kurang akal.” Dengan ini, Imam Ghazali mengimbau bahwa takut kepada Allah harus dalam ukuran wajar, tak boleh melampaui batas. Ia berkata bahwa takut kepada Allah yang melampaui batas adalah perbuatan tercela.

Tasawuf KH Hasyim Asy’ari

Sementara, dalam bertasawuf, Kiai Hasim Asy’ari lebih menekankan pada pemurnian tasawuf itu sendiri. Pemikiran sufi Hasyim Asy’ari bertujuan untuk memperbaiki perilaku umat Islam secara umum, dan dalam banyak hal dipengaruhi oleh pemikiran imam Al-Gazali.

Kiai Hasyim Asy’ari dalam Risālah Jāmiah al-Maqāshid mengatakan, bahwa untuk sampai kepada Allah, seorang manusia harus melalui beberapa tingkatan-tingkatan dasar, dibagi menjadi lima tingkatan. Dari pernyataan ini sangat jelas, bahwa tahapan dasar untuk mencapai rida Allah dibagi menjadi lima bagian.

Pertama adalah takwa. Hakikat dari takwa adalah bersikap wara (menjauhkan diri atau berhati-hati dalam melakukan sesuatu) dan istikamah (tekun dalam menjalankan ibadah kepada Allah).

Kedua adalah mengikuti sunnah Rasul. Hakikat dari mengikuti sunnah rasul yaitu dengan penuh kehati-hatian dan berperilaku dengan akhlak yang baik (seperti akhlak yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad).

Ketiga adalah berpaling dari makhluk. Hakikat berpaling dari makhluk yaitu sabar dan memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah (tawakal).

Keempat adalah rela kepada Allah (pasrah). Hakikat rela kepada Allah yaitu menerima terhadap ketetapan yang diberikan oleh Allah dan berserah diri kepada Allah.

Kelima adalah kembali kepada Allah (tawakal). Hakikat dari kembali kepada Allah yaitu dengan cara bersyukur kepada Allah dalam keadaan senang dan berlindung kepadanya dalam keadaan susah

Dari pemaparan terkait ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali dan Kiai Hasyim Asy’ari tersebut dapat disimpulkan jika Imam Al-Ghazali dan Kiai Hasyim Asy’ari di dalam bertasawuf cenderung kepada ingin memurnikan nilai-nilai tasawuf agar tidak bertentangan dengan syariat islam. Sehingga, tasawuf disejajarkan dengan syariat dan dijalankan secara seimbang tanpa meninggalkan atau menafikan satu sama lain. Sebab, antara syariat dan tasawuf adalah hal yang berhubungan di dalam pemahaman dan pengamalannya.

Pemurnian tasawuf yang digaungkan oleh Imam Al-Ghazali dan Kiai Hasyim Asy’ari juga agar menghindarkan pemahaman dan pengamalan tasawuf dari hal-hal yang bidah, takhayul, dan khurafat. Sebab, semuanya itu bertentangan dengan syariat dan nilai tasawuf itu sendiri. Sehingga ajaran tasawuf dapat dipahami dan diamalkan sesuai dengan apa yang diamalkan oleh salafusshalih, sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Al Ghazali. Selain itu, Kiai Hasyim Asy’ari di dalam bertasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali.

Hal ini disebutkan di dalam kitabnya Risalah Ahlussunah Wal Jamaah, yang berbunyi: “Dalam akidah Ahlussunah mengikuti mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al- Maturidi. Dalam bersyariat (berfikih), Ahlussunnah mengikuti salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan, dalam tasawuf, Ahlussunah mengikuti Imam Al-Ghazali dan Imam Abul Hasan Asy-Syadzili.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan