Kopi, Kitab, dan Kebudayaan

12 views

Banyak pesantren di seluruh pelosok negeri, yang di dalamnya terdapat tiga elemen sulit dipisahkan: kopi, kitab, dan kebudayaan.

Di waktu-waktu selepas subuh atau bakda Isya, suara santri mengaji bersahutan dari serambi masjid hingga pojok asrama, sementara aroma kopi panas menyeruak dari cangkir-cangkir sederhana yang menghangatkan malam.

Advertisements

Kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol keakraban, penanda dimulainya obrolan panjang, bahkan menjadi teman setia para pencari ilmu di pesantren. Kitab kuning pun bukan semata teks tua yang dibaca berulang, tetapi napas keilmuan yang hidup dalam setiap pertanyaan, perdebatan, dan renungan santri.

Di antara keduanya, tumbuh subur sebuah kebudayaan, yaitu budaya berpikir, budaya berdiskusi, budaya menulis, dan budaya merawat tradisi dengan cara yang segar.

Warung kopi bukan cuma tempat membeli minuman. Ia adalah ruang kelas alternatif. Di sanalah santri berdiskusi soal fikih dan filsafat, debat ringan tentang perbedaan mazhab, atau sekadar bertanya, “Kenapa ya, Imam Ghazali bisa nulis sebanyak itu?”

Obrolan yang mengalir dari seruputan demi seruputan kopi kadang lebih tajam dari forum resmi. Kopi membuka pintu-pintu refleksi. Ia membuat suasana lebih santai, tapi tidak kehilangan esensi. Dalam canda, terselip logika. Dalam tawa, tersembunyi hikmah.

Bahkan banyak tulisan besar lahir dari warung kopi. Para penulis muda dari kalangan santri seringkali merangkai ide-ide mereka setelah diskusi larut malam, ditemani denting sendok dan wangi kopi hitam. Maka, kopi tak bisa dianggap remeh. Ia adalah bahan bakar budaya santri.

Kitab adalah bagian paling sentral dalam kehidupan santri. Tidak ada santri yang benar-benar hidup di pesantren tanpa bersentuhan dengan kitab. Dari Taqrib hingga Uqud al-Lujjain, dari Tafsir Jalalain hingga Ihya Ulumuddin, kitab-kitab itu menjadi jendela untuk melihat dunia dari sudut pandang ulama klasik yang sangat mendalam.

Tradisi ngaji kitab juga membentuk etos berpikir santri. Ia tidak hanya melatih hafalan dan pemahaman teks, tapi juga mendorong munculnya daya kritis. Santri dilatih untuk memahami perbedaan pendapat, menerima keragaman fatwa, dan tetap menjaga adab saat berdiskusi.

Dalam suasana seperti itu, kitab bukan hanya alat pendidikan, tapi juga cermin kebudayaan. Ia mencerminkan cara pandang umat Islam terhadap ilmu, kehidupan, dan perubahan zaman.

Santri sebenarnya hidup dalam kebudayaan yang sangat kaya, ada budaya membaca, budaya diskusi, budaya menulis, budaya bertanya, hingga budaya saling menghargai perbedaan. Namun, kebudayaan ini sering tak terlihat dari luar. Ia tersembunyi di balik tembok pondok, di balik kesan sederhana sarung dan peci.

Padahal, jika kebudayaan ini diangkat ke permukaan, Indonesia bisa mendapatkan sebuah model pendidikan dan peradaban yang utuh, yakni religius, toleran, sekaligus kritis dan kreatif. Pesantren menyimpan banyak nilai yang dibutuhkan dunia modern, terutama soal ketahanan berpikir dan kepekaan sosial.

Hari ini, tantangan budaya sangat besar. Gempuran media sosial, budaya instan, dan krisis literasi membuat banyak generasi muda kehilangan arah. Di sinilah santri punya peran penting. Santri bisa menjadi penjaga tradisi, sekaligus penggerak pembaruan. Tapi tentu, ini hanya mungkin kalau kebudayaan santri disadari, dirawat, dan disebarluaskan.

Kopi, kitab, dan kebudayaan adalah tiga serangkai yang tak bisa dipisahkan. Jika ketiganya terus dijaga, maka pesantren tidak hanya akan melahirkan ahli agama, tapi juga pemikir, seniman, dan pemimpin masa depan. Siapa tahu, tulisan-tulisan besar masa depan justru akan lahir dari warung kopi kecil di samping pesantren, ditemani kitab kuning dan hati yang terbuka.

Sumber ilustrasi: ayotegal.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan