Kontekstualisasi Ayat Suci tentang Orang Tua

716 kali dibaca

Tulisan ini terlahir dari sebuah artikel yang ditulis oleh Muhammad Naziful Haq, Alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Tulisat diunggah di laman duniasantri.co dengan judul “Memaknai Ulang Teks Suci Tentang Orang Tua” pada 10 November 2021.

Saya salut dengan keberanian sahabat Naziful dalam membangun narasi “tidak biasa” untuk melahirkan makna-makna ayat suci ke dalam nilai-nilai yang lebih luas. Terlebih lagi ayat suci yang dimaksud adalah pakem keseharian yang telah berakar kuat di tengah masyarakat.

Advertisements

Saya berharap tulisan ini melahirkan diskusi kebenaran (mujadalah hasanah) untuk menentukan poin yang penuh keabsahan. Dalam persepsi saya, menggunakan kata “Memaknai Ulang… ” dalam judul artikel tersebut kurang tepat (bukan salah, apalagi fatal). Sebab, makna adalah sebuah keniscayaan yang konkret dalam realitas teks.

Saya lebih suka menggunakan kata “interpretasi, konteks, atau tafsir” karena kata ini lebih memberikan keluasan logika pemikiran. “Makna” lahir dari sebuah teks, dan itu absolud, sedangkan tafsir (interpretasi-kontekstualisasi) lahir dari sebuah terjemahan teks dengan realitas makna yang ada dan sepadan.

Saya mengerti bahwa tulisan Saudara Muhammad Naziful Haq ini termasuk kategori riskan dan cenderung berimplikasi debat dan pertentangan. Maka, jika saya tidak salah ingat, Nazilul mengungkapkan bahwa tulisan itu tidak untuk melegitimasi tindakan agresif-refresif anak terhadap orang tua. “Tulisan ini sepenuhnya bukan dimaksudkan untuk membolehkan sikap agresif terhadap orang tua, melainkan dimaksudkan untuk mengevaluasi ulang atas kemapanan yang telah berjalan lama.” Bahkan kalimat semakna diulang pada paragraf berikutnya. Hal ini sebagai indikasi bahwa terma tulisan ini memiliki “risiko” perdebatan dan polemik dalam kehidupan.

Naziful berkeinginan bahwa kalimat “Wala taqul lahuma uffin” (QS. Al-Isra’: 23) tidak dijadikan “azimat” legalitas tindakan orang tua untuk menindas seorang anak. Dan itu benar. Akan tetapi perlu dipahami bahwa ayat suci itu tidak memiliki interpretasi kesewenangan terhadap anak. Tidak ada indikasi nyata terkait teks dan konteks bahwa orang tua boleh bertindak represif terhadap buah hati. Bahkan, kewajiban orang tua terhadap anak berupa kasih sayang harus terus ditampakkan.

Jika kemudian timbul kekhawatiran bahwa orang tua berlindung di balik ayat suci, maka sudah ada ayat-ayat tandingan yang akan menjadi asas hukum secara tersendiri. Lebih dari itu, orang tua mempunyai kewajiban terhadap anak dalam berbagai persoalan. Allah swt berfirman, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuannya.” (QS. Al-Baqarah: 233). Salah satu kewajiban orang tua (baca: ibu) adalah memberikan nutrisi kepada buah hatinya. Jika kewajiban ini diabaikan maka orang tua telah melakukan kesalahan atau dosa.

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari kakek Ayub Bin Musa Al Quraisy dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada satu pemberian yang lebih utama yang diberikan ayah kepada anaknya selain pengajaran yang baik.” Orang tua berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang baik (akidah, akhlak, dan lain sebagainya) kepada anaknya. Dan tentu masih ada kewajiban orang tua yang lainnya, yang tidak perlu saya jabarkan di tulisan ini.

Naziful berusaha menjelaskan lebih jauh bahwa tidak jarang orang tua yang berlindung di balik teks (ayat suci) untuk mendiskreditkan anaknya. Apakah benar hingga sedemikian? Mari kita lihat teks dalam paragraf yang ditulis oleh Naziful.

Evaluasi tersebut diperlukan karena selama ini pemaknaan teks suci tentang orang tua lebih dominan dipelihara dimensi imanennya, dibanding dimensi sosio-psikologisnya. Dampaknya, tersedia banyak modus bagi orang tua untuk menyembunyikan otoritarianisme kekuasaannya; arogansinya atas prejudisnya; gengsinya untuk bermuhasabah; hasratnya untuk memaksakan kehendak terhadap anak; dan meremehkan apa yang dirasakan si anak, di bawah atas-nama teks suci.

Mendahulukan yang imanen (kesadaran berpikir) dalam memahami ayat suci merupakan sebuah keniscayaan. Karena pada dasarnya konteks didahului oleh teks. Meskipun pada akhirnya teks dan konteks merupakan dua aspek yang saling mendukung. Sementara, arogansi, otoritas kekuasaan (kesombongan?), memaksakan kehendak, dan gengsi adalah tindakan tersendiri yang dilarang dalam pandangan Islam. Tentu saja kecenderungan tindakan negatif ini tidak boleh dilakukan, bahkan sekalipun berlindung di balik teks Al-Quran.

Jadi yang diinginkan Muhammad Naziful Haq adalah interpretasi komprehensif terhadap sebuah ayat suci, khususnya ayat-ayat Al-Quran terkait dengan eksistensi orang tua. Bukan memaknai ulang, sehingga terjadi tafsir yang ambigu terhadap sebuah ayat suci.

Ketika di dalam ayat suci terdapat kalimat “jangan sekali-kali berkata “uff”” maka kalimat itu bermakna sama hingga akhir zaman. Namun melihat hikmah di balik ayat tersebut dengan interpretasi yang melahirkan kebaikan adalah sebuah keharusan. Karena di balik teks ayat suci ada berlaksa hikmah yang perlu kita gali untuk dibumikan atau aplikasikan.

Saya berharap tulisan ini tidak menjadi polemik atau perdebatan yang tidak bermakna. Karena saya memahami bahwa tujuan dari Muhammad Naziful Haq adalah baik, untuk memberikan pemahaman kepada orang tua agar tidak bersikap sewenang-wenang terhadap anaknya. Bahkan meskipun orang tua diistimewakan dengan ayat suci, hal tersebut jangan dijadikan alibi untuk berbuat semena-mena terhadap si buah hati. Jadi mari kita ambil hikmah dari sebuah diskusi untuk membangun khazanah keilmuan dalam ranah kemanusiaan.

Wallahu A’lam bis-Showab!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan