Konsep Humanisme dalam Pemikiran Gus Dur

1,231 kali dibaca

Problem yang dihadapi bangsa Indonesia begitu kompleks. Mulai dari kasus korupsi, kekerasan seksual, dan kesenjangan sosial-ekonomi. Juga maraknya penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), perilaku intoleransi bernuansa SARA, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga kekerasan atas nama agama yang berujung pada lahirnya gerakan radikalisme-terorisme, serta masalah-masalah lainnya.

Dilansir dari Kompas.com 5/04/2021, hasil riset Setara Institute menunjukkan, jenis pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang paling banyak terjadi pada 2020 adalah tindakan intoleransi.

Advertisements

Ia mencatat 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelanggaran aktivitas ibadah. Juga 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus lagi kekerasan. Ironinya, tindakan ini dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga, individu, ormas keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dalam kemelut yang cukup akut. Juga tantangan kebangsaan ke depan semakin berat. Kendati, tentu saja, Indonesia dikenal sebagai negara plural dan multikultural dengan beragam suku, agama, ras, budaya, dan bahasa, juga menemui ruang dilematis. Alih-alih menjadi power untuk menguatkan keutuhan dan kesatuan yang disertai keharmonisan hidup beragama, perilaku intoleran dan kekerasan bernuansa SARA kian masif dan berseliweran, baik di jagat maya maupun realitas kehidupan.

Adalah suatu keniscayaan untuk segera diselesaikan dengan cepat dan tegas, baik oleh pemerintah atau seluruh elemen bangsa. Sebab, hal ihwal bisa menjadi instrumen kehancuran bangsa Indonesia. Di tengah sosio-kondisi yang memilukan ini, memaksa kita mencari alternatif (paradigma) baru untuk menyelesaikan problem tersebut. Salah satu dimensi yang mencakup secara universal dan mampu meminimalisasi hal tersebut adalah dimensi kemanusiaan atau humanisme.

Karena itu, penulis tertarik membincang kembali buah pemikiran sosok seorang Gus Dur (tanpa menafikan tokoh atau pemikir lain). Mengapa harus Gus Dur? Karena gagasannya relevan dan sesuai dengan konteks bangsa Indonesia, terlepas sebagai masyarakat pribumi asli. Namun dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan pemikiran Gus Dur, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, penulis akan fokus pada tema konsep humanisme dalam pemikiran Gus Dur.

Humanisme Ala Gus Dur

Meski telah meninggalkan kita sejak dua belas tahun silam, tetapi ia tetap fenomenal. Baik di kancah nasional maupun internasional. Gagasan dan pemikirannya yang inklusif dan progresif, menjadikan ia sebagai sosok yang banyak dikagumi oleh banyak pihak. Bukan hanya umat muslim, melainkan juga non-muslim.

Semasa hidup, pernyataannya acapkali mengundang polemik di tengah masyarakat. Tak jarang membuat orang yang (tidak senang) gerah bahkan menghujat dan mencaci-maki.

Dialah KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, sosok intelektual atau cendekiawan muslim yang cukup berpengaruh sampai saat ini. Gagasan-gagasan yang ditawarkan mampu menghipnotis semua kalangan. Bukan hanya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri, melainkan merambah ke seluruh penjuru dunia. Kendati demikian, alih-alih ia diposisikan sebagai intelektual muslim progresif dan kritis, kecaman dan caci maki melekat pada dirinya bahkan dicap kafir karena pemikirannya dianggap kontroversial.

Salah satu ciri pemikiran Gus Dur yang tidak asing lagi di telinga kita adalah keinginannya untuk selalu mengetengahkan nilai-nilai etis sebagai jembatan terhadap pelbagai perbedaan. Misal, wacana pluralisme dan humanisme yang kerap digelorakan dalam setiap kesempatan. Bagi Gus Dur, merawat serta menjaga nilai-nilai humanisme merupakan suatu keniscayaan guna melahirkan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Jika sampai rusak keharmonisan tersebut, akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali.

Yang menarik dari gagasan Gus Dur tentang humanisme adalah ketidaksamaannya dengan humanisme sekuler. Humanisme ini memandang masyarakat berdasarkan rasionalitas. Juga bersifat antroposentris dengan menyatakan bahwa manusia mampu mengatur dan menyelesaikan segala problem yang dihadapi dengan rasionalitas yang melekat dalam dirinya. Bahkan, humanisme sekuler memiliki prinsip, yaitu; berupaya memisahkan agama dari kehidupan sosial, serta menghilangkan nilai-nilai bersifat supranatural dan transenden (nilai-nilai agama beserta ajaran-ajarannya).

Akan tetapi, humanisme ala Gus Dur tetap berpegang pada prinsip-prinsip ajaran Islam (bersifat teosentris) yang diyakini dapat memecahkan segala problem kemanusiaan. Sudah mafhum bahwa Islam menaruh perhatian lebih pada manusia (sangat memuliakan). Ini bisa ditilik dari perlindungan Islam atas hak dasar manusia, yaitu hak hidup, hak beragama, hak kepemilikan, hak profesi, dan hak berkeluarga.

Gus Dur, memaknai humanisme sebagai upaya pemuliaan atas harkat dan martabat manusia setinggi-tingginya di hadapan Tuhan. Gagasan ini bertolak dari pesan-pesan yang dibawa Islam pada umat manusia, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta penghargaannya terhadap kehidupan sosial manusia. Atau, humanisme ala Gus Dur sebagai wacana atau pemikiran yang digunakan untuk memberi rekognisi secara luas terhadap segala hal yang baik bagi manusia, juga memerhatikan akan kesejahteraan setiap individu.

Hal ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, niscaya memelihara dan menjaga hak asasi manusia (HAM) dengan berupaya membangun struktur masyarakat yang adil. Kedua, apabila terjadi ketegangan (ta’arud) antara agama dan kebudayaan, menurut Gus Dur yang harus didahulukan adalah kemanusiaan. Sebab, humanisme adalah perintah utama dari Tuhan. Ketika wujud kemanusiaan (humanisme) termanifestasi ke dalam bentuk perlindungan atas hak-hak dasar manusia, maka implementasi perlindungan tersebut berada pada cara manusia mengagungkan atau meninggikan harkat-martabat manusia.

Dari sini jelas bahwa konsep humanisme yang digagas oleh Gus Dur bukanlah sekuler, melainkan religius. Karena religius, menurut Gus Dur, umat Islam seharusnya tidak khawatir (takut) akan kondisi plural yang ada pada masyarakat modern saat ini. Tetapi, harus merespons positif akan kondisi (plural) tersebut. Gagasan humanisme Gus Dur lebih mengaksentuasikan bentuk pluralisme, baik dalam bertindak maupun berpikir; sebab dapat melahirkan toleransi.

Kendati humanisme versi Gus Dur merupakan humanisme religius dengan berpegang pada prinsip-prinsip ajaran Islam, akan tetapi aktualisasinya bukan sekadar menyentuh bidang keagamaan semata. Namun, merambah terhadap pelbagai bidang lain yang berkaitan dengan problem kemanusiaan, seperti ekonomi, pendidikan, politik, kesenjangan sosial, dan lain sebagainya.

Gus Dur, dengan gagasan humanismenya berupaya menjembatani antara Islam, kemanusiaan, dan kebudayaan di ranah kebangsaan dengan komitmennya atas kesejahteraan rakyat. Dengan humanisme ini pula, Gus Dur meluaskan pemikiran dan perjuangannya dalam proses memanusiakan manusia tanpa melihat perbedaan primordial setiap individu. Sebagaimana ungkapan-ungkapannya yang sudah populer, yakni “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”.

Sementara itu, Gus Dur tidak sekadar menelurkan segudang buah pemikiran. Tetapi juga mempraktikkan dalam laku hidup sehari-harinya. Inilah yang membuat Gus Dur selalu menarik dan memantik generasi setelahnya untuk mengkaji, mendiskusikan, dan mengangkat kembali gagasan-gagasannya ke permukaan. Bukan hanya dalam kancah nasional, melainkan juga internasional.

Tidak berlebihan jika pemikiran Gus Dur dinilai selalu relevan di mana pun dan sampai kapan pun. Membaca Gus Dur, berarti merindukan perdamaian, keadilan, kesejahteraan, dan egalitarianisme dalam kehidupan umat manusia. Kehadirannya sangat dirindukan di tengah kemelut yang melanda umat manusia, terutama di Indonesia. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan