Kisah Musa dan Khidir, Relasi Syariat dan Hakikat

3,596 kali dibaca

Ketika Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir, sudah terlebih dahulu Khidir memastikan bahwa Musa tidak akan dapat bersabar atas tingkah lakunya. Akan tetapi Musa bersikukuh untuk tetap mengikutinya.

Menurut para ahli tafsir, karena di dalam Al-Qur’an hanya disebut dengan “abdan min ibadina ‘atainahu rohmatan min ‘indina wa ‘allamnahu minladunna ilma”, yaitu hamba dari hamba-hambaku, yang kuberi dari sisiku rahmat, dan mengajarkan kepadanya ilmu dari sisiku, Khidir tergolong nabi yang disebut dalam Al-Qur’an tersebut.

Advertisements

Dan memang benar, saat pertama mereka berdua berjalan dan menjumpai sebuah kapal, Khidir melubanginya, sehingga menyebabkan semua penumpang tenggelam. Setelah itu, Khidir membunuh seorang bocah kecil di bibir pantai dengan mencabut kepalanya sampai putus, dan menegakkan sebuah rumah yang sudah hampir rubuh.

Karena kesadaran akal sehat, Musa bertanya perihal alasan Khidir melakukan semua itu. Khidir menjawabnya dengan kalimat singkat, padat, dan jelas: “wama fa’altuhu ‘an amri” (Apa yang telah aku lakukan tadi, bukanlah menurut kehendakku sendiri).

Meskipun demikian, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Nabi Khidir lebih alim, lebih cendekia, lebih luhur derajatnya dibanding Nabi Musa. Nabi Musa adalah simbol dari syariat, yang ketika memutuskan sesuatu, harus dipertimbangkan terlebih dahulu, pun ketika terjadi sesuatu, pastilah ada hukum kausalitas.

Meminjam apa yang didawuhkan oleh guru saya: “Dari kisah antara Musa As dan Khidir, kita melihat bahwa sebagai seorang rasul, Musa As dituntut untuk bersikap secara logika dan akal sehat. Karena bagaimanapun, perbuatan Khidir As tidaklah memenuhi norma-norma kemanusiaan, kalau kita pandang secara hukum yang berlaku, meskipun benar.

Selaras dengan yang dikatakan oleh Imam Ghozali: “Bilamana kamu menemui orang yang banyak karomahnya, bisa terbang, menghilang, nglipet bumi, dan lain-lain, maka fazinuuhu bimizan as-syari’at, pertimbangkanlah orang itu dengan syariatnya.” Artinya, kalau orang tidak salat, meskipun mempunyai banyak karomah, maka tidak lain itu adalah istidroj, yaitu sesuatu nikmat yang seakan-akan mengobsesikan si empunya telah sampai pada tujuan, padahal sebenarnya nol: tidak ada apa-apanya sama sekali.

Namun, hal ini berbeda konteks dengan apa yang ada pada cerita antara Musa dan Khidir. Mereka berdua adalah seorang nabi, ya pastilah Allah akan menjadikan mereka uswah: teladan yang baik. Cerita para nabi, wali, orang-orang saleh, adalah salah satu tentara dari bala tentaranya Allah, bukan? Maka setiap cerita yang ada di zaman dahulu, patutlah untuk diceritakan, supaya menjadi pelajaran di masa kini dan mendatang.

Dari kisah Musa dan Khidir, betapa banyak manusia yang bertindak sebagaimana Khidir bertindak; membunuh orang dengan dalih kemaksiatan dan menyelamatkan mereka agar tidak terus menerus larut dalam jurang kemaksiatan. Namun yang ironis, mereka tidak punya legalitas tindakan itu dari Tuhan secara langsung, seperti yang Khidir katakan pada Musa As: “Wama fa’altuhu ‘an amri.”

Apa yang diucapkan oleh Khidir kepada Musa memang benar adanya, tapi tidak bisa secara semena-mena, ketika melakukan kemaksiatan, kita menuduh Allah Swt sebagai dalang. Apa yang terbesit dibenak kita untuk membunuh musuh, misalnya, bukanlah bagian dari takdir bahwa kita akan membunuh, tetapi bentuk dari bujuk rayu setan agar kita terjerumus dalam kejahatan.

Selamanya, meskipun setinggi apa pun derajat kita saat ini, ingatlah, maqom makrifat tiada dapat dicapai sebelum melewati maqom syariat. Tegasnya, syariat adalah sesuatu yang harus dilakukan menurut tuntutan hukum, tidak boleh semena-mena. Kita bukanlah Nabi Khidir, yang mempunyai “otoritas” untuk memandang masa depan, atau seperti para auliya Allah Swt yang telah dibuka tabir mata hati mereka sehingga mencapai maqom wushul.

Wallahu a’lam bisshowab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan